Riausastra.com – Seekor gagak hitam mengepak perlahan, membelah kabut pagi yang tipis. Matanya yang tajam menatap ke bawah, memperhatikan setiap sudut kampung yang tampak begitu kecil dari ketinggian. Dari atas sana, gagak itu bisa melihat atap-atap rumah kayu yang berjejer rapi, anak-anak yang berlari-lari kecil di jalanan tanah, dan asap yang mengepul dari dapur-dapur sederhana. Desa itu terlihat damai, terapit di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan suara aliran sungai yang mengalir jernih.
Di bagian langit lain, gagak yang berbeda berkaok memecah ketenangan pagi. Suaranya yang serak dan tajam menggema seperti teriakan yang menusuk udara. Begitu kasar, bagai suara pintu tua yang berderit terbuka paksa, mengetarkan udara dengan nada berat yang tak ramah. Begitu angin bersenandung, suara “kraakk…” itu terbawa, melayang-layang di antara pepohonan dan genting-genting rumah yang mulai lembab oleh embun pagi. Setiap pekikan gagak seperti sentakan yang mengingatkan akan sesuatu yang terlupakan, atau mungkin pertanda yang hanya mereka yang bisa mengerti. Kampung itu terasa sedikit lebih gelap, sedikit lebih penuh rahasia, seolah-olah suara gagak telah meninggalkan jejak samar di udara yang tak kasat mata.
Waru, seorang pemuda desa tengah melamun di pinggiran sungai kala itu. Membiarkan ujung kakinya digigiti oleh ikan-ikan kecil. Ia tau gagak-gagak itu memberi pertanda bahwasanya mereka semua harus meninggalkan kampung. Hatinya berkecamuk. Kemarin lusa, para tetua kampung baru saja menerima surat resmi dari pemerintah, memberitahukan bahwa sebagian besar hutan mereka akan dibabat untuk pembangunan ibu kota baru. Proyek ini dijanjikan akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Namun, tetap saja bagi Waru dan orang kampung lainnya, itu berarti kehilangan rumah, dan seluruh nyawa mereka.
“Hutan adalah tubuh, jiwaku ada di dalamnya. Aku percaya aku terlahir dan kembali lagi ke hutan,” ucap seseorang tiba-tiba, suaranya lembut, tenang, dan berwibawa. Secara tak langsung menginterupsi lamunan Waru.
Waru sedikit kaget, ia menoleh dari tatapan kosongnya yang semula berada pada permukaan sungai yang berkilau. Kini, berdiri di sebelahnya, seorang tetua kampung, wajahnya penuh kerut, dengan rambut yang hampir memutih seluruhnya.
“Pak Pram, apa yang harus kita lakukan? Mereka datang dengan uang, kekuasaan, dan surat keputusan dari pemerintah, melawan mereka berarti melawan negara,” keluh Waru putus asa, menatap Pak Pram sambil sedikit menghela.
“Kita harus mempertahankannya sampai titik penghabisan. Hutan ini tidak hanya sekadar lahan dan pohon. Ia bernyawa, ia tengah menjerit meminta tolong kepada kita.” Suara Pak Pram terdengar sedikit lebih menyala. Waru menghela napas perlahan, tidak ada kedamaian lagi sejak surat keputusan pemerintah itu dilayangkan.
****
Besoknya, hujan kecil turun membasahi kampung. Mendung makin lama makin membentang di sepanjang hutan. Aroma humus basah bertebaran di udara. Beberapa aliran air mulai mengalir di sepanjang akar pohon, menuju tanah yang kian berlumpur. Seolah hutan itu sedang menangis, air yang menetes dari ujung-ujung cabang itu membentuk garis-garis tipis layaknya jejak air mata.
Waru berdiri di alun-alun kampung, mengumpulkan warga-warga kampung yang satu persatu berlindungan di bawah payung berbagai rupa. Waru sendiri tidak memperdulikan lagi kepalanya basah dijatuhi rintik-rintik hujan. Ia mulai berteriak, suaranya terdengar bergetar memecah suara rintik air.
“Kita tidak akan mundur! Meski mereka datang dengan uang, kekuasaan, dan kekerasan. Kita harus menyuarakan suara kita. Hanya ada satu kata, lawan!”
Kelompok kecil yang dipimpin oleh Waru kemudian segera berjalan keluar kampung. Para bapak-bapak, pemuda, bahkan ibu-ibu yang dirasa masih kuat, masing-masing membawa spanduk dan poster yang berisikan perlawanan. Mereka mengabaikan hujan yang datang seiringan dengan langkah mereka. Rasa dingin itu segera saja lenyap berganti dengan api kemarahan. Kepada tiap-tiap orang yang lewat, mereka pun membagikan selebaran yang menjelaskan pentingnya hutan itu dan bagaimana dampak lingkungan yang dihasilkan oleh proyek besar tersebut.
Waru berdiri paling depan. Berorasi kepada setiap orang yang lewat “Kami memerlukan dukungan Anda! Hutan ini adalah kehidupan kami!”
Sebuah sorakan setuju menggema di antara barisan. Para ibu, dengan wajah penuh harap, berteriak menyemangati. Anak-anak muda, yang baru mengenal apa itu artinya berjuang, bersemangat mengikuti langkah orang dewasa. Langkah kaki mereka semakin cepat, seirama dengan detak jantung yang memacu kencang.
Kini tibalah mereka di kota Kabupaten. Perjalanan yang cukup panjang itu hanya di tempuh dengan berjalan kaki, hujan yang merembes tadi pagi telah lama lenyap berganti terik yang menyengat. Suasana berubah menjadi hiruk-pikuk. Di depan salah satu kantor pemerintah yang megah, berpagar besi tinggi kokoh mereka menyebarkan diri. Poster-poster yang berisi protes diangkat tinggi-tinggi.
“Hentikan pembabatan hutan! Hutan adalah jiwa kami!”
Orang-orang yang saat itu kebetulan lewat menatap mereka penuh tanya. Beberapa dari mereka asik merekam aksi yang dilakukan oleh Waru dan rombongannya. Di tengah kerumunan yang semakin ramai, seorang jurnalis muda berhenti, tertarik dengan kemarahan menggema yang diteriakkan oleh Waru. Dengan kamera di tangan, ia mendekat, berusaha menangkap momen-momen yang terjadi di hadapannya.
****
Petang menjelang, menerbitkan semilir angin maghrib ke penjuru kota. Suara murotal terdengar dari berbagai tempat. Waru duduk di tepi trotoar, menegak air mineral yang diberikan oleh Damar—jurnalis muda yang tertarik dengan sengketa yang sedang dihadapi penduduk kampung. Warga kampung yang lain duduk di sekelilingnya, beristirahat sebab seharian berusaha keras mengupayakan suaranya terdengar oleh publik. Waru memandang hutan mereka yang jauh di balik horizon, meski lelah, ada kepuasan dalam hatinya. Mereka telah melakukan yang terbaik untuk melindungi apa yang mereka cintai.
“Aku ingin ceritamu tersebar lebih luas,” kata Damar dengan nada penuh simpati. “Kisah ini penting, dan orang-orang harus tahu apa yang kalian hadapi.”
Mata Waru berbinar mendengar kata-kata itu. Ia menceritakan tentang betapa pentingnya hutan bagi warga kampung. Tentang bagaimana hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tetapi juga tempat mereka menggantungkan hidup, tempat yang memberikan mereka makanan, obat-obatan, dan udara segar. “Di sana, ada pohon-pohon langka yang tak bisa ditemukan di tempat lain,” ujar Waru terbuka sepenuhnya kepada Damar.
Damar mencatat dengan teliti, mengangguk-angguk seakan memahami semua yang diceritakan Waru. “Saya akan pastikan orang-orang di luar sana mendengar ini,” katanya dengan senyum yang membuat Waru sedikit merasa lega.
****
Malam itu, Waru dan penduduk desa pulang dengan langkah gontai. Keringat bercucuran, kelelahan setelah seharian berdemo di kota. Semangat yang tadi membara kini mulai meredup, terbawa oleh gelapnya malam yang menyelimuti jalan pulang mereka. Meskipun tubuh mereka lelah, setidaknya harapan untu bertahan masih ada di tiap-tiap hati mereka. Waru menatap warga yang berjalan pelan, beberapa masih memegang sisa-sisa spanduk, sementara yang lain hanya terdiam, mencoba mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan langkah.
Keesokan harinya, fajar belum sepenuhnya merekah ketika mereka akhirnya tiba di kampung. Namun, apa yang mereka lihat membuat kaki mereka terpaku di tanah. Kampung yang seharusnya menyambut mereka dengan hangat dan ramah, kini berubah menjadi lautan tanah kosong yang tak dikenali. Pohon-pohon yang menjulang tinggi kini hanya tinggal tunggul. Rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh kini rata dengan tanah, dihancurkan oleh jejak alat berat yang meninggalkan bekas-bekas roda di mana-mana.
Waru terperangah, nafasnya terhenti sejenak. Ia berjalan pelan, menatap tanah kosong yang seharusnya menjadi kampung halaman mereka. Di setiap sudut, terlihat batang-batang pohon yang tercerabut dari akarnya, kayu-kayu yang berserakan, dan sisa-sisa rumah yang hancur. Tidak ada suara burung berkicau, gagak berkaok seperti lusa, atau gemerisik daun dihembus angin. Hanya ada sunyi yang menyesakkan.
Warga yang baru tiba mulai menangis, suara tangisan mereka pecah mengisi kehampaan. Anak-anak berlari mencari tempat bermain yang sudah hilang, sementara para orang tua terduduk, menatap hancurnya hasil jerih payah mereka selama bertahun-tahun. Waru berlari menuju rumahnya, namun yang ia temui hanya reruntuhan. Ia terduduk, memegang sisa-sisa kayu rumahnya yang dulu, matanya memandang nanar ke arah alat-alat berat yang masih berderet di ujung kampung.
Ketua kampung muncul dari balik reruntuhan, wajahnya pucat dan matanya sayu. Dia mendekati Waru dengan langkah yang berat. Namun, apa yang kini dilihat Waru justru adalah sosok yang hampir tak dikenali lagi. Wajah Pak Pram penuh dengan lebam, mata kirinya hampir tertutup bengkak, darah kering menempel di sudut bibirnya. Pak Pram beranjak begitu lambat dari puing-puing rumahnya yang sudah hancur, napasnya terengah-engah seolah setiap tarikan napas adalah sisa nyawanya sendiri.
Waru berlutut di depannya, mencoba menyentuh tangan Pak Pram yang gemetar. “Pak… siapa yang melakukan ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Waru bergetar, antara marah dan bingung.
Pak Pram mengangkat wajahnya perlahan, mata bengkaknya memandang Waru dengan penuh rasa bersalah. “Aku… aku terpaksa, Waru…” katanya dengan suara parau, seperti ada batu yang menyangkut di tenggorokannya. “Mereka datang waktu itu, ketika kalian semua sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kota. Mereka bilang… kalau aku tidak menyerahkan hutan, mereka akan membunuh kita semua.”
Waru menggelengkan kepala, tidak percaya apa yang didengarnya. “Tapi, Pak… bagaimana bisa mereka—”
“Mereka bukan hanya mengancam, Waru,” Pak Pram memotong dengan suara yang lebih tegas, tapi lemah. “Mereka memukuliku… menendangiku sampai aku tidak bisa berdiri. Mereka bilang, satu kata penolakan lagi, kampung kita akan dibumihanguskan… nyawa kita tak akan selamat. Aku… aku tidak punya pilihan, Waru.”
Seluruh tubuh Waru lemas. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Kenapa tidak bilang kepada kami, Pak? Kenapa harus menanggung semua ini sendiri?”
Pak Pram menunduk, menatap tanah di depannya. “Aku ketua kampung, Waru. Tugas dan tanggung jawabku adalah melindungi kalian, meskipun itu berarti aku harus mengorbankan segalanya. Aku berpikir, lebih baik kampung kita hilang daripada nyawa kalian. Tapi… tapi ternyata, aku gagal. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan rumah kita.”
Pak Pram menatap Waru dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku ingin sekali melawan, Waru. Tapi lihatlah kita sekarang… apa lagi yang bisa kita lakukan? Hutan kita sudah habis, rumah kita rata dengan tanah.”
Waru memandang sisa-sisa reruntuhan kampungnya dengan perasaan hampa. Di setiap sudut, yang tersisa hanyalah bekas puing-puing dan tanah kosong. Tidak ada lagi suara burung berkicau, tidak ada lagi desir angin yang melewati pepohonan. Semuanya telah hilang, lenyap begitu saja dalam semalam. Namun, masih ada satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Sesuatu yang membuat hatinya berdegup cemas dan bibirnya bergetar.
“Pak …” Waru mulai berbicara dengan suara bergetar. “Bagaimana nasib pohon langka di hutan kita? Apa… apa mereka masih ada?”
Pak Pram menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan Waru. Ia menunduk, seolah mencari jawaban di tanah yang dingin dan beku. “Waru…” kata Pak Pram akhirnya, suaranya terdengar patah. “Aku sudah berusaha. Aku sudah mencoba melindungi mereka…”
Waru menahan napas, dadanya terasa sesak. “Apa yang terjadi, Pak? Katakan…”
Pak Pram menatap langsung ke mata Waru, terdapat kehancuran yang begitu dalam disana. “Mereka datang lebih cepat dari yang kukira. Pohon-pohon langka itu… mereka semua sudah hilang. Maafkan aku, Waru.”
Mata Waru melebar, hatinya serasa makin remuk. “Apa maksud Bapak? Siapa yang melakukan ini?”
Pak Pram terdiam sesaat, lalu menggeleng pelan. “Orang asing, Waru. Mereka datang dengan alat-alat berat, membawa kayu-kayu itu pergi seperti barang dagangan. Aku dengar… salah satunya adalah jurnalis.”
Waru tertegun. Ingatannya kembali pada sosok Damar yang pernah ia percayai, orang yang pernah ia ceritakan dengan bangga tentang pohon-pohon langka di hutan mereka. Semua informasi yang ia berikan dengan harapan bisa menyelamatkan hutan, kini berubah menjadi senjata yang menghancurkan.
Air mata Waru mulai mengalir. Semua usahanya, semua perjuangan mereka sia-sia. Setiap tarikan napas terasa berat, rasanya seperti menelan bara api yang menyala-nyala. Waru mengepalkan tangan, merasakan bagaimana kuku-kukunya menancap ke dalam telapak, seolah rasa sakit fisik itu tidak cukup untuk menyalurkan amarah yang menggerogotinya dari dalam. Dadanya bergetar, napasnya tersengal-sengal, dan setiap detak jantungnya menggema dengan satu kata: penghianatan.
Di dalam hatinya, kebencian tumbuh seperti akar pohon yang merambat liar, mencengkeram kuat setiap sudut jiwanya. Ia tahu, kebencian itu tidak akan mengembalikan pohon-pohon yang hilang, tidak akan menghapus jejak alat berat yang merusak tanah kampungnya. Namun, kebencian itu pula yang membuatnya bertahan, yang membuatnya berdiri tegak meski segala sesuatu di sekitarnya runtuh.
“Ini belum berakhir!” pekik Waru memecah sunyi di tengah hutan yang kini hanya tersisa jajaran tunggul itu. Terdapat kemarahan yang menggelegar di balik kata-katanya yang seperti guntur di tengah badai. “Kita akan melawan. Dan kali ini, mereka tidak akan tahu apa yang akan menimpa mereka!” Bagi Waru, kebencian ini adalah menjadi pengingat bahwa ia masih hidup.
***
كتيك ڬاڬق تراخير بركاوق
سئكور ڬاڬق هيتم مڠڤق ڤرلاهن، ممبله كابوت ڤاڬي يڠ تيڤڤيس. متاڽ يڠ تاجم مناتڤ ك باوه، ممڤرهاتيكن سودوت ستياڤ كمڤوڠ يڠ تمڤق بڬيتو كچيل داري كتيڠڬيان. داري اتس سان، ڬاڬق إتو بيس مليهت اتڤ-اتڤ كايو يڠ برججر راڤي، انق-انق برلاري-لاري كچيل د جلانن تانه، دان اسڤ يڠ مڠڤول داري داڤور-داڤور سدرهان. دس إتو ترليهت داماي، تراڤيت د انتارا ڤڤوهونن يڠ منجولڠ تيڠڬي دان سوارا اليرن سوڠاي يڠ مڠالير جرنيه
د باڬيان لاڠيت لاين، ڬاڬق يڠ بربد بركاوق ممچه كتناڠن ڤاڬي. سواراڽ يڠ سرق دان تاجم مڠڬم سڤرتي ترياكن يڠ منوسوق اودارا. بڬيتو كاسر، باڬاي سوارا ڤينتو توا يڠ بردريت تربوك ڤكس، مڠڬتركن اودارا دڠن نادا برت يڠ تق رامه. بڬيتو اڠين برسنندوڠ، سوارا “كراااق” إتو ترباوا، ملايڠ-لايڠ د انتارا ڤڤوهونن دان ڬنتيڠ-ڬنتيڠ رومه يڠ مولاي لمبباوله امبون ڤاڬي. ستياڤ ڤكيكن ڬاڬق سڤرتي سنتاكن يڠ مڠيڠتكن اكن سسواتو يڠ ترلوڤاكن، اتاو موڠكين ڤرتندا يڠ هاڽ مرك يڠ بيس مڠرتي. كمڤوڠ إتو تراس سديكيت ڬلڤ، سديكيت لبيه ڤنوه رهاسيا، سئوله-اوله سوارا ڬاڬق تله منيڠڬلكن ججق سامر د اودارا يڠ تق كاست مات