Riausastra.com – Pepohonan hutan imbo tampak merisik-risik. Angin mengeriap. Udara menggigili sendi-sendi tulang. Di anjungan rumah panggung lipat pandan beratap curam, tangis sesegukan orang-orang kampung memecah keheningan. Pukul dua belas malam terbaring kaku si Atan di atas katil ceruk. Tubuhnya legam bak terbakar kayu arang. Atan, anak semata jolong, Mak Mora. Remaja berusia hampir dua puluh tahun itu terkena racun bunian. Musababnya, ia telah selak, masuk hutan imbo Kampung Betung. Badannya dibuat panas Gerang dan bola matanya mendelik.
“Sedari dulu dah Emak katokan kepada engkau, Tan, jangan masuki hutan itu. Tak jugo engkau tu memantangkan,” Sesal Mak Mora kepada Atan. Menyeka bulir-bulir air yang jatuh di pipi, Atan. Mengalir sepanjang Sungai Betung.
***
Siang telah menumbuh tunas. Sehabis menangkar benih padi pematang yang digulung gelebau angin dan burung-burung gagak mengaok-ngaok, Atan tanpa sengaja mendengar percakapan para petani di persawahan Kampung Betung. Orang-orang itu sibuk berbincang mengenai hutan imbo larangan yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan masyarakat sekampung-kampung. Menurut cerita orang tua-tua, hutan itu dihuni bunian yang dapat menyerupai banyak wujud. Kadang menyerupai manusia dengan paras rupawan, kadang pula dapat mengubah bentuk seperti binatang-binatang penghuni hutan. Nahas, ketika bunian tengah melayap-layap mencari budak-budak kecil untuk dimangsa, ia bakal menyerupai seorang wanita bertubuh jenjang, rambut memanjang, berkain putih berbau anyir yang menutupi bawah pinggang, ketiak lebar yang asam bukan kepalang. Di ketiak lebar dan masam itulah orang-orang bunian kerap menyembunyikan anak-anak culikannya, membuat sang anak jatuh pingsan, kejang-kejang. Tak jarang, nyawa melayang.
“Zul Bogel, budak Wak Entol, ingat tak? Konon, orang bunian di hutan memberinyo pelajaran. Dio lancang memasuki hutan imbo. Alhasil, dah beberapo tahun silam menghilang? kini tak tahu agaknyo entah apo nasib, budak tu.” Cibir salah seorang paruh baya menceritakan dengan mata bergidik-gidik. Seperti takut, tapi muncungnya ingin berbual juga.
“Intinyo masyarakat kampungkito ni, jangan sampai masuk ke hutan imbo tu lagi. Sebab pasal bilo selamat pun tubuh akan teruk babak belur, lamo-lamo bakal mati mengenaskan jugo.” timpal lelaki tua yang memegang cabak, cangkul penggarap sawahnya dengan wajah penuh buliran peluh. Tidak lama kemudian gerimis merinai-rinai, angin terasa kencang, sepasang burung gagak berteduh di reranting pohon kempas, yang kalau berlebah madu disebut pokok madu sialang. Para petani padi sibuk berlari-lari kecil menghindari pukulan hujan. Atan pun tak ketinggalan berlari menyalip diantara orang-orangan sawah.
Sesampai di rumah panggung yang beratap dedaunan sagu itu, Atan berdiri di selasar anak tangga. Ditatapnya tajam ke arah hutan imbo yang hanya berjarak dua ratus depa dari rumahnya. Bukan ketakutan yang menghantui benak, melainkan rasa penasaran dan sedih membuncah di pikirannya. Terngiang ia akan kenangan bersama Zul Bogel, sahabat sepermainannya. Dulu sebelum Zul Bogel menghilang, saban petang mereka gemar bermain cak-cak bur, kocan, lulu cina buta, hompimpa, gasing, hingga bermain meriam letup. Paling tidak, jika jenuh dengan segala permainan, mereka akan melompat ke sungai, memancing, memasang bubu, ataupun mengais telur tembakul. Segala kesibukkan tak habisnya mereka suka-citakan di sekitaran bibir sungai dan bibir hutan imbo kampung itu. Kini hanya tinggal raung kenang sajalah yang membuncah di hati paling dalam.
“Hoi, Atan?” Panggil Mak Mora menepuk pundak, Atan, anaknya. Perempuan paruh baya yang gemar memakai kebaya laboh itu sudah lama menyandang status janda, selepas ditinggal mati oleh suaminya. Sepertinya ia memahami betul apa yang tersirat di benak hati anak semata wayangnya itu, sebab Atan selalu memandangi hutan imbo, penasaran dengan nasib, Zul Bogel. Selain itu, Atan berperangai persis seperti, Abahnya.
“Engkau ingat nasib si Zul, Tan? Ceroboh nian dio melanggar aturan. Sampai berhitung tahun, tak dapat ditemukan. Entah mungkin dah menjadi anak bunian,” Ucap tanya Mak Mora dengan wajah kecemasan. Penuh kekalutan kalau-kalau anaknya itu melakukan hal yang serupa, seperti Zul Bogel.
“Tapi Mak, Atan raso itu bukan kesalahan, Bogel. Dio tak melanggar aturan apopun. Peraturan mengenai hutan imbo tu kan baru muncul saat Bogel menghilang.” Jawab, Atan yang umurnya bisa dibilang menginjak masa dewasa itu. Sementara pandangannya masih tertuju pada hutan di depan rumah sana. Ia masih tak percaya kalau teman kecilnya raib ditelan oleh hutan, padahal setiap sore mereka kecil sekawan-kawan lewat di tepi hutan itu menuju Surau. “Dan pun, Mak, kito tak bolehlah terus-menerus diselimuti takut, hutan tu kan milik masyarakat turun temurun, mengapo pulak kito nak diperbudak oleh orang bunian?” Atan menoleh, menatap mata Emaknya penuh dalam.
“Ehm… dah lah tu. Lekas Engkau siapkan ingke untuk kito makan malam,” jawab emaknya memotong pernyataan si Atan sembari langsung bergegas ke ruang belakang. Mak Mora sudah mengagak-agak jawaban anaknya akan demikian. Di ruang dapur bagian bawah, Mak Mora meniup corong bambu agar api tungku yang digunakan menanak beras tetap menyala. Atan membalikkan badan, memandang tajam hutan larangan dari anak tangga selasar rumahnya, “Ehmmm…,” gumamnya.
Matahari telah merangkak pulang. Malam itu senyap membiang, hanya suara-suara jangkrik menyisir kaki-kaki rumah itu, ‘Krik… krik… krik…teeerrrrtt…,’ meringkik-ringkik selepas hujan. Ngilu dingin semakin terasa.
Setelah memastikan Emaknya masih tertidur pulas di atas katil beralas tikar anyaman daun pandan, Atan beranjak ke penanggah dapur, meraih kojor peninggalan almarhum, Abahnya. Kojor wasiat itu masih disimpan rapi di sebalik selipan papan dapur. Senjata tradisional Melayu yang digenggamnya itu, pernah menembus perut Tuk Rimau yang mengamuk karena habitatnya diganggu.
***
Jerebu tampak membumbung, menyelimuti Kampung Betung. Burung-burung terbang tak tentu arah kesana kemari. Riuh sahut-menyahut suara-jerit dari dalam hutan rimba yang menyala-nyala saga, “Cericit…cit, weerrr…,-Wuk…wuk…wuk, keeek…,-Nguung…ng…,-Rrrraauumm… grrr…,“. Tuk Rimau itu mengaum, menatap tajam ke arah, Batin Andak, si penghulu kampung. Batin Andak bukan main terkejut. Saat hendak memutar tubuhnya yang gempal, Tuk Rimau yang lain lebih dulu menerkamnya. Batin Kampung itu seketika mati bermandikan darah. Kepala dan badannya terpisah. Masyarakat sekampung berbondong-bondong menghalau para penghuni hutan imbo itu. Berserak-serak mereka mencari perlindungan. Ada yang masuk ke pemukiman masyarakat. Ada pula yang menyisir tepian hutan, yang berbatasan langsung dengan bibir sungai.
Atan kecil, belum genap berusia setahun. Merasa hangat dalam dekapan gendong, Emaknya. Di sebelahnya, Ngah Arul, Abahnya. Menenteng rantang perbekalan di tangan kiri, tangan kanannya memegang kojor. Waktu itu senja, sepulang bersampan dari seberang, mereka melihat kobaran api dari dalam hutan. Bersegera mereka mempercepat langkah menuju rumah.
“Pukimak!,” geram betul, Ngah Arul melihat kobaran api di dalam hutan itu. “Percepat jalan. Hutan dah keno bembam, ini petando buruk.” Ngah Arul meminta istrinya supaya bergegas. Tepat di pertengahan jalan, keluarga petani itu bersitatap dengan seekor Tuk Rimau. Ngah Arul perlahan namun sigap mempersiapkan senjatanya, memasang kuda-kuda silat sunting dua belas, beladiri khas Kampung Betung. Sementara Mak Mora muda berlindung di sebalik pohon tepat di belakang suaminya itu. Tuk Rimau menggarang – aum, merasa kalut dengan kobaran api yang membakar rumahnya. Semakin lama, Tuk Rimau mendekati perlahan petani padi itu. Kojornya pun telah berhadapan langsung dengan taring. ‘Sreek… grrr…,’ Tuk Rimau melompat, menerkam Ngah Arul. Cakar mendarat di lehernya. Ngah Arul pun terpental ke dinding pohon, dimana istri dan anaknya bersembunyi. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Ngah Arul berhasil juga menghunuskan mata kojornya ke perut Tuk Rimau. Keduanya saling mengerang. Beberapa saat kemudian, Tuk Rimau menggelejang, mati. Nahas, Ngah Arul juga tewas di pangkuan istrinya. Bulir-bulir menetes ke pipi Atan.
***
Atan dengan berjingkit-jingkit melewati pintu belakang. Memastikan agar Mak Mora tidak terganggu dari tidurnya. Setelah dirasa aman, ia menuruni anak tangga, berjalan perlahan memerhatikan saksama, takut kalau-kalau ada yang melihat.
Tidak berselang lama, hanya beberapa langkah, pemuda belasan tahun yang Abahnya mati diterkam Tuk Rimau itu telah berada di pintu rimba. Atan sempat berhenti memandang deretan pohon-pohon hutan yang rapat dan seperti tidak tertembus cahaya. Antara gairah bertualang dan ingatan terhadap Emaknya berkecamuk kejam di kepala hotaknya. Agak ciut juga ia. “Ah, sudah kepalang,” gumamnya, berbekal pelita semprong dan kojor peninggalan Abahnya, beranjaklah Atan ke hutan imbo. Kakinya menyuruk masuk di antara deretan pohon lebat, udara dingin menyeruak, dan bulu kuduknya bercelak. ‘Krak!’ Atan menginjak reranting akasia kering. Berhenti sejenak, kemudian melangkah lagi. Ia masuk kian dalam hingga bertemu dengan hutan-hutan yang botak. Belasan tahun lalu, si jago merah nyaris melahap hutan itu. Konon, cerita-cerita masyarakat kampung, hutan imbo sengaja di bakar oleh suruhan Batin Kampung Betung. Tetua kampung itu telah bersepakat dengan investor untuk membuka lahan perusahaan. Akibat serangan binatang buas yang membabi buta menyerang orang-orang suruhan toke-toke dan masyarakat sekitar, pembukaan lahan pun diberhentikan. Namun, nahas, penghuni hutan telah terganggu.
‘Srek… srek… Grrr…’ Beberapa kali suara itu berpindah-pindah, memecah riuh suara jangkrik.
“Gel…, Bogel.” Atan menghimbau-imbau, hampir-hampir berbisik. Matanya awas mengikuti suara-suara itu. ‘Srek… srek… Grrr…’ dalam hati Atan semakin berkecamuk. Kojor siap menghunus. Tetapi tak mengetahui apa yang ingin dihunus. Ia mundur perlahan. Menghindari hutan botak. Minyak pelita semprong semakin gerus. Lambat laun semakin redup. “Cericit…cit, weerrr…,-Wuk…wuk…wuk, keeek…,-Nguung…ng…,-Rrrraauumm… grrr…,“ suara-suara itu bersahut-sahutan. Atan kalut. Dadanya terasa sesak tersengal-sengal. ‘Srek… srek… Grrr…’. Pelita semprong tiba-tiba padam. Gelap.
***
Sudah berhitung beberapa hari Atan tak kunjung pulang. Kala subuh pekat, Mak Mora bukan main malang, menggerayangi pematang, dusun, dan ladang. Mengintip sela-sela ilalang, mendongak Sungai Betung, tak nampak batang hidung anak semata wayang. Kampung gempar. Orang-orang tumpah-ruah mencari-cari. Kentong buluh ditabuh, dengan harapan terdengar oleh Atan kalau orang-orang mencarinya.
“Trutung… tung… tung, Atan, oh, Atan,” bermalam-malam suntuk warga sekampung-kampung gelisah mencari-cari. Mak Mora berfirasat kuat, bahwa anaknya masuk hutan imbo itu. Namun, orang-orang kampung melarang, Mak Mora untuk masuk hutan. Tangisnya begitu meronta kehilangan permata hati, intan payung jiwanya.
“Elok kito datangkan Bomo saja, Mak!” Celetuk salah seorang teman sesawahannya mengusulkan. “Sebab, dio lebih jagok menangkal ilmu hitam ni. Bomo tu dah tersohor.” Sambungnya lagi. Warga-warga yang lain pun turut sepaham dengan usulan itu. Mak Mora tak ada pilihan lain. Bomo, si dukun kampung pun diundang.
***
Di belakang rumah yang berjarak beberapa ratus depa dengan hutan imbo,Bomo ligat menyiapkan bahan-bahan ritualnya. Talam yang beralaskan jelilim, kemenyan dan bara api, tiga batang lilin, terdiri dari satu lilin besar dan dua batang lilin kecil, tiga buah gambar yang dibentuk binatang dari tepung; cicak, labi-labi, ular. Dua telur cemani, sebuah tempurung kelapa, tiga kepal nasi kunyit, kemudian ancak lalu tonggak untuk diisi semah yang akan diletakkan mengelilingi pohon.
“Bismillahirrohmaanirrohiim,
lam ta lam tum
tum tum layatallatum…,”
Bomo memulai mantra pucuk segala pucuk orang bunian. Peluh mengucur sebiji jagung dari sekujur tubuhnyayang bersemedi. Mulutnya mengunyah beberapa sirih pinang, rasanya seperti melumat takdir dengan gelisah tiada berkepalang. Ritus awal penerawangan bagi Atan gagal. Mata batin Bomo tak sanggup membaca lebih banyak dari biasanya. Sesak mengganjal di balik dadanya yang renta. Dibukanya kelopak mata yang sedari tadi terpejam. Guratan wajahnya menyiratkan hal yang begitu rumpang.
“Agaknyo, roh bunian dah membawa sukma, budak tu.” Ucap Bomo kepada orang-orang yang menyaksikan. Tak ingin menyerah, Bomo tersohor itu memulai ritualnya lagi. Sirih pinang yang dikunyah kini telah semerah darah, “Kheeekkk… Puah!” keyakinannya pun kembali, “Budak tu membujur di hujung hutan imbo.” Kata Bomo amat yakin.
***
اورڠ-اورڠ بونيان
ڤڤوهونن هوتن إمبو تمڤق مريسيك-ريسيك. اودارا مڠڬيڬيلي سندي-سندي تولڠ. د انجوڠن رومه ڤڠڬوڠ ليڤت ڤندن براتڤ چورم، تاڠيس سسڬوكن اورڠ-اورڠ كمڤوڠ ممچه كهنيڠن. ڤوكول دوا بلس مالم ترباريڠ كاكو س اتن د اتس كاتيل چروق. توبوهڽ لڬم بق ترباكر كايو ارڠ. اتن، انق سمات جولوڠ، مق مورا. رماج بروسيا همڤير دوا ڤولوه تاهون إتو تركن راچون بونيان. موساببڽ، إي تله سلق، ماسوق هوتن إمبو كمڤوڠ بتوڠ. بادنڽ ديبوات ڤانس ڬرڠ دان بولا متاڽ مندليك
“سداري دولو داه امق كاتوكن كڤادا اڠكاو، تن، جاڠن ماسوكي هوتن إتو. تق جوڬو اڠكاو تو ممنتڠكن،” سسل مق مورا كڤادا اتن. مڽك بولير-بولير ائير يڠ جاتوه د ڤيڤي، اتن. مڠالير سڤنجڠ سوڠاي بتوڠ