gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Aku mengunci risauku. Kuisyaratkan lewat angin yang menyapa pipiku dengan lembut di pagi itu. Sayangnya, aku mencoba mengabaikan matahari. Pura-pura tak menikmati sinarnya yang cantik merona. Mungkin begini jika hati sedang kemelut. Antara sunyi dan renyahnya suasana kota baru ternyata tak mampu menepis rindu.

Teng..! teng..! teng..!

Sandal yang kukenakan beradu dengan tangga baja pada sebuah jembatan penyeberangan orang yang melintang kokoh di atas sebuah jalan protokol di sisi ibukota sebuah provinsi. Mal yang mematung kokoh, ruang-ruang tongkrongan yang diam membisu, dan bahu-bahu jalan yang dilintasi banyak pejalan kaki. Semua hening dengan isi kepala masing-masing. Jika tak bisa bicara dengan orang-orang yang lalu lalang, seharusnya mal dan tempat-tempat tongkrongan ala kaum borjouis itu bisa bicara, menuangkan isi kepala mereka. Ah, sudahlah.

“Hei, lelaki tua lebih dari separuh baya berbaju lusuh, duduk menghadap jalan raya, menggantungkan kakinya, bertopi hitam, dan menutup sebagian wajahnya dengan masker. Apa yang sedang dia lakukan di sini? Mengisi waktu kah? Merenungi diri kah? Mengenang yang perlu dikenang kah? Atau… Ah, sudahlah!” Aku bicara pada diriku sendiri.

Bukankah semua orang tidak harus sama dengan apa yang aku pikirkan dan rasakan? Aku terlalu peduli. Mungkin, bisa saja cara itu bisa membuat laki-laki itu merasa bahagia. Semua orang pasti punya cara masing-masing untuk membuat dirinya merasa nyaman. Aku tak perlu seingin tahu itu.

Keesokan pagi yang tak jauh berbeda dengan pagi dan pagi sebelumnya. Matahari masih tetap bersikap ramah padaku. Angin juga masih bersikap manis seperti biasanya. Sepeda ontel dengan besi yang mulai karatan bersandar di dekat anak tangga paling dasar. Satu-satu, anak tangga jembatan penyeberangan orang itu kembali kulewati.

Setibanya di atas jembatan itu, pemandangan yang sama kembali kutemui. Lelaki tua berusia lebih dari separuh abad duduk mengayunkan kakinya. Kedua tangannya menggenggam besi-besi pembatas jembatan.

Aku memelankan langkah kakiku. Aku melirik tas tangan di genggaman.

“Bagaimana jika sebungkus nasi kuning ini aku berikan pada lelaki tua itu? Apakah dia akan menerima dengan senang hati? Atau justru menolak pemberian ini? Apakah lelaki itu sedang lapar? Mengapa hampir setiap pagi aku menjumpainya di sini: seorang diri? Dimanakah istri, anak-anak, cucu, atau teman-temannya?”

“Ah, sudahlah!”

Sebungkus nasi kuning itu kembali kusimpan dalam tasku. Aku takut jika pemberianku justru menyakitinya. Atau, pemberianku disalahartikan. Atau….

Hei, betapa randomnya isi kepalaku. Berniat baik saja ternyata tidak cukup tanpa harus melakukannya dengan tepat.

Pelan-pelan, aku melupakan tentang lelaki tua di jembatan itu. Berlalu begitu saja tanpa bertanya dan tanpa berbuat apa-apa, meskipun hatiku merasa kasihan.

Di pagi yang baru, langit sedang menangis. Aku kuyup. Payung yang kupunya ternyata tidak mampu melindungiku dari derasnya hujan.

Setiap anak tangga jembatan itu pun basah total. Ternyata, di sepanjang jembatan itu tidak ada bedanya dengan kondisi di sekitarnya: basah.

“Hei, apakah dalam kondisi hujan deras ini, lelaki tua itu tetap setia di atas jembatan itu?”

Deg…

Ternyata lelaki tua itu tetap ada di jembatan itu. Dia berdiri melipat kedua tangannya ke tubuh kurusnya. Topi dan masker masih setia menutupi wajah dan kepalanya. Tampaknya dia benar-benar kedinginan karena hujan pagi itu seperti sedang bersenandung panjang. Tapi, sayang. Kali ini aku tidak membawa nasi kuning seperti biasa.

“Kasihan lelaki tua itu.”

Pada pagi ini, hujan tak lagi bersenandung. Anehnya, kali ini aku ingin menyampaikan niat baikku untuk memberikan sebungkus nasi kuning kepada bapak tua yang kesendirian itu. Dengan percaya diri, aku lalui anak tangga penyeberangan itu satu persatu.

“Hei, tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Tidak juga lelaki tua bermasker dan bertopi yang duduk sambil memainkan kakinya. Jalanan yang tak pernah sepi, kendaraan yang sibuk ke hilir dan ke hulu. Sungguh, tak seorang pun ada di sana. Begitu juga dengan sepeda ontel yang mematung di dekat anak tangga. Tiada.”

Tetap menjadi sosok yang teramat serius. Lelaki tua di jembatan penyeberangan orang.

—— *** ——

للاكي توا د جمباتن

اكو مڠونچي ريساوكو. كو إشارتكن ليوت اڠين يڠ مڽاڤ ڤيڤيكو دڠن لمبوت د ڤاڬي إتو. سايڠڽ، اكو منچوب مڠابايكن متهاري. ڤورا-ڤورا تق منيكماتي سينرڽ يڠ چنتيك مرون. موڠكين بڬيني جيك هاتي سدڠ كملوت. انتارا سوڽي دان رڽهڽ سواسان كوت بارو ترڽات تق ممڤو منڤيس ريندو

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini