gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Ting!

Riausastra.com – Notifikasi dari Facebook membuatku tak tahan untuk segera mengambil benda pipih itu dari atas meja. Padahal, baru lima detik yang lalu smartphone itu kuletakkan di sana. Beberapa hari ini, aku memang sedang merencanakan untuk mengurangi berselancar di media sosial. Aku ingin kembali seperti dulu ketika media sosial belum memisahkan yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi sok akrab. Akan tetapi, untuk melepas kekangan dari layar ponsel itu sangat sulit. Teman-temanku yang lain pun begitu. Mereka, sih, beruntung bisa menggunakan media sosial untuk meraup penghasilan. Sementara itu, aku hanya menggunakan media sosial sebagai pelarian dari kesepian.

Kubuka ponsel itu dan segera mendapati akunku ditandai salah satu akun Facebook yang tak asing. Astaga! Aku terperanjat. Aku menang give away! Jika diingat-ingat, event give away itu berlangsung satu bulan yang lalu. Aku hampir lupa. Hadiahnya satu set mukena lengkap dengan sajadah dan tasbih kecil dari batu giok.

Tanpa berpikir panjang, aku segera menghubungi salah satu nomor WhatsApp untuk klaim hadiah. Lima hari kemudian, hadiah itu sampai di rumah. Mukena bersulam renda putih yang sangat cantik. Pasti harganya mahal. Ini bukan hadiah give away pertama yang aku dapat. Hampir separuh rak di kamar penuh dengan buku hadiah. Ada juga jaket, t-shirt, dan sandal. Sejenak aku bingung. Untuk siapa mukena ini?

Alangkah lebih baik jika aku dapat hadiah lain seperti uang cash misalnya. Kumasukkan lagi mukena itu ke dalam plastik, kemudian kuletakkan di lemari paling bawah. Sesaat kemudian, aku mendengar suara seseorang tertawa. Ya, Tuhan! Aku merutuk sambil menepuk jidat. Semoga ini bukan sebuah tanda kedurhakaan anak. Aku, kan, masih punya ibu!

Aku beranjak mengendap-endap menuju kamar Ibu. Pintunya tak tertutup rapat. Aku mengintipnya dari celah pintu. Kamarnya gelap. Bau apak menyeruak seketika. Kulihat samar-samar cahaya di atas ranjangnya. Huh! Aku mendengkus. Aku sebenarnya tak tahu apakah Ibu memang benar-benar membutuhkan mukena ini atau tidak.

Aku merasa sangat bersalah kepada Ibu juga kepada diriku sendiri. Seharusnya aku tak mengabulkan permintaannya waktu itu.

“Ini, kan, hari Ibu. Seharusnya, Ibu boleh meminta apa saja, kan?” ucap Ibu.

“Iya, apa saja kecuali smartphone!” gertakku. Bukan karena aku pelit, aku tak punya cukup uang.

Media sosial memang sudah menjamur, bahkan di kalangan ibu-ibu. Aku hanya tak mau melihat ibuku seperti ibu-ibu lain yang sudah keracunan media sosial. Tangannya seolah-olah tak sudi lepas dari benda pipih itu. Dengan pengetahuan minim, mereka tak sadar jadi ikut-ikutan menyebar hoaks, gossip, bahkan mengikuti trend yang tidak bermanfaat. Berselancar di media sosial sampai lupa waktu. Salat dan kajian jadi tertunda. Aku tak mau ibuku seperti itu.

“Ya, ampun anakku! Mana mungkin ibumu seperti itu. Tuh, liat Bu Rodiyah yang pakai smartphone untuk ngaji. Ibu juga pengen seperti itu!”

Ibu merajuk saat kutolak mentah-mentah permintaannya. Aku tak mau menerima apa pun alasannya. Sebelumnya, Ibu tak pernah setempramental ini. Baru setelah ditinggal Ayah, Ibu sering melamun. Ia jarang keluar rumah dan cenderung menutup diri. Aku juga begitu. Aku lebih suka menciptakan duniaku sendiri di dunia maya. Dunia yang memang palsu. Dunia yang hanya sebuah pintu pelarian untuk melerai kesedihan. Dan sekarang, aku ingin membatasi masa perkabungan ini. Aku lelah berpura-pura bahagia dengan orang yang tak kukenal. Aku ingin kembali menyelami dunia nyata.

Pada satu kesempatan, hatiku menjadi luluh. Aku berjanji untuk memberikan sebuah smartphone setelah aku mendapat gaji pertama. Ibu senang bukan main. Sementara aku selalu khawatir. Smartphone mungkin tak seberapa harganya, tapi harga setelahnya lebih mahal seperti pulsa dan kuota. Aku mati-matian mencari kerja paruh waktu untuk menutupi itu.

Saking senangnya, Ibu tak mau lepas dari smartphone. Ketakutan-ketakutan kecilku mulai tampak saat pertama kali Ibu mengenal Facebook. Kadang, ia tak berhenti meracau saat menggosip artis sinetron di grupnya. Kadang, ia bersedih saat mendengar berita-berita pilu tentang manusia-manusia kurang beruntung. Padahal, itu cuma sad fishing. Ibu juga mulai meninggalkan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan. Misalnya, Ibu tak pernah lagi memasak. Ibu jarang menyapu halaman. Baju-baju menumpuk di mesin cuci. Yang lebih membuatku geram adalah Ibu tak lagi mau menghadiri kajian di majlis. Bukan karena aku tak menasehati. Sekarang, apa-apa yang keluar dari mulutku selalu salah. Ini-itu salah. Alhasil, kami jarang berkomunikasi. Jarak semakin renggang. Ibu lebih ceria ketika memegang smartphone-nya daripada bercakap-cakap denganku. Aku semakin kesepian. Rumah ini terasa seperti gua purba zaman palaeolitik. Keretakan hubungan kami hanya gara-gara smartphone. Media sosial seperti tembok penyekat yang memisahkan dua kubu.

Aku tak tahan. Aku ingin kembali seperti dulu. 

Kugenggam erat mukena itu. Kuperhatikan Ibu tengah menatap lekat ke layar ponselnya. Jam menunjukkan pukul dua belas. Aku yakin Ibu belum sarapan. Sepotong roti dan segelas susu belum tersentuh. Kuurungkan niatku untuk melangkah saat kulihat tangan Ibu semakin melekat erat dengan ponselnya layaknya ada akar-akar yang menjalar dan mencengkeram. Bibirnya tak memendarkan warna selain pucat pasi dan matanya … astaga! Matanya merah menyala dengan bulatan kelam seperti black hole.

Aku langsung menyeruak masuk saat Ibu tertawa semakin keras.

“Ibu!”

Ibu tak kunjung menyahut. Kuguncang tubuhnya, tapi Ibu tetap tak merespon. Ia malah tertawa lebih lantang di hadapan ponselnya. Kurebut paksa ponsel itu darinya, Ibu langsung memberontak. Cengkeraman tangan Ibu semakin kencang, tapi aku berhasil merenggutnya.

“Kembalikan hpku!”

Ibu naik pitam. Matanya menyala. Ibu tampak seperti wanita lain yang bukan Ibu.

“Kembalikan!!!”

Diacak-acaknya semua isi kamar. Kursi melayang. Dengan brutalnya isi lemari dikeluarkan, kemudian melemparkannya padaku.

“Tolonglah berhenti! Ibu telah diperbudak dengan hp!”

“Ngomong apa kamu ini! Ibu sedang berbicara dengan pacar Ibu!”

Apa? Pacar?

“Dia calon ayah barumu! Ibu tahu kamu butuh sosok ayah, kan?”

“Tidak! Aku cuma butuh Ibu! Ibu yang dulu. Aku kangen dengan Ibu yang selalu membangunkanku setiap pagi. Aku kangen Ibu yang selalu membuatkan nasi goreng untukku. Aku kangen Ibu yang selalu mengingatkanku untuk salat. Aku kangen semua itu!”

Teriakanku yang lantang membuat Ibu terdiam sejenak. Sejurus kemudian, ia jatuh tersungkur. Badannya terasa dingin.

“Ini parah. Sudah tiga hari tak ada asupan makanan,” jelas dokter.

Aroma obat seketika menguar. Tirai putih menyibak-nyibak ruangan yang di dalamnya terbaring tubuh lemah Ibu. Sudah tiga hari Ibu tak menyantap makanan yang kusuguhkan. Separah itu smartphone mengendalikan Ibu. Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya. Padahal, dulu Ibu meminta smartphone untuk memudahkan diri mencari ilmu.

Kuletakkan mukena di samping tubuhnya.

“Mukena ini untuk Ibu,” ucapku.

Seharusnya, ini lebih bermanfaat daripada benda pipih yang merenggut separuh kebahagiaanku.

“Bu, maafkan aku. Aku enggak pernah melarang Ibu main ponsel, tapi jangan sampai Ibu menjadi sosok lain yang bukan Ibu. Aku tak mau kehilangan lagi.”

Aku yakin Ibu butuh mukena ini karena aku masih dan akan selalu butuh doa Ibu sampai kapan pun.

Ting!

Notifikasi dari Facebook menyeruak keheningan. Ibu mulai menyantap makanannya sedikit demi sedikit saat Facebook mengingatkanku tentang sebuah kenangan.

Aku memeluk Ibu sambil menunjukkan foto kami bertiga, aku, ibu dan, ayah. Foto lima tahun yang lalu saat ayah masih di sini. Kadang media sosial punya sisi baik juga untuk mengingat rindu yang telah lama terpendam. Aku tak mau media sosial merenggut Ibu lagi. Maka setelahnya, smartphone itu kubuang ke tukang loak. Aku tak ingin ada yang mencuri Ibu. Aku ingin memiliki Ibu seutuhnya.

***

موكن اونتوق إبو

تيڠ!

نوتيفيكاسي فچبوق ممبواتكو تق تاهن اونتوق سڬرا مڠمبيل بندا ڤيڤيه إتو داري اتس مج. ڤداهل، بارو ليم دتيك يڠ لالو سمرتڤون إتو كولتككن د سان. ببراڤ هاري إني، اكو ممڠ سدڠ مرنچناكن اونتوق مڠوراڠي برسلنچر د مديا سوسيال. اكو إڠين كمبالي سڤرتي دولو تتاڤي، اونتوق ملڤس ككاڠن داري لاير ڤونسل إتو ساڠت سوليت. تمن-تمنكو يڠ لاين ڤون بڬيتو. مرك، سيه، برونتوڠ بيس مڠڬوناكن مديا سوسيال اونتوق مراوڤ ڤڠهاسيلن. سمنتارا إتو، اكو هاڽ مڠڬوناكن مديا سوسيال سباڬاي ڤلاريان داري كسڤيان

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini