gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra..com – Mereka tidak pernah benar-benar memperdulikan aku. Tapi aku selalu memperhatikan mereka. Aku memang bukan siapa-siapa. Hanya berdiam diri di sini tanpa banyak bicara. Aku berdiri setiap saat, dan kadang-kadang ternyata asyik juga menyimak mereka berbincang dan berlalu-lalang.

Tiap bulan, terdapat dua hari istimewa. Tiap hari istimewa itu tiba, pekarangan di sekitar bangunan utama selalu jadi daya tarik tersendiri. Orang-orang dewasa seringnya mampir sambil mengepit tikar pandan, juga menenteng rantang-rantang beraroma sedap yang sudah pasti dipenuhi dengan makanan yang menggiurkan lidah.

Sejak pagi menuju kumandang zuhur, kain-kain tikar dibentang. Rantang-rantang berisi makanan digelar satu persatu.  Di sanalah aku dapat menyimak perbincangan antara orang tua dan anak, nenek-kakek kepada cucu, kakak kepada adiknya, atau bahkan sebaliknya. Sayangnya tiap keluarga, hanya punya waktu bersua dan melepas rindu satu jam saja. Sebab, pekarangan itu tidak terlalu luas, keluarga-keluarga lain menanti giliran agar dapat kebagian tempat.

Seorang ibu tiba-tiba datang, menggelar tikar kecil, lalu duduk dengan wajah cemas. Tak lama, seorang anak remaja keluar dari asrama dengan mata yang berbinar. “Bu!” teriaknya. Mereka saling berpelukan lama, seakan dunia di sekitar mereka tiba-tiba lesap. Dari tempatku berdiri, dapat kudengar percakapan mereka.

“Gimana, Nak? Betah di sini?” tanya sang ibu sambil membuka rantang. 

“Lumayan, Bu. Kadang kangen rumah, tapi di sini aku belajar banyak.” 

Aku sudah sering mendengar kalimat seperti itu, tapi entah kenapa setiap kali mendengarnya, rasanya tetap berbeda. Mungkin, karena ini bukan semacam obrolan biasa. Ada rindu yang pelan-pelan menyembul dari balik senyum mereka. Ada pula kepasrahan yang enggan diungkapkan.

Di sudut lain, seorang ayah duduk berdua dengan putranya. Suasana mereka lebih sunyi, tapi aku  merasakan hangat yang terpancar dari sana. Si ayah menepuk-nepuk punggung anaknya, tak banyak bicara. “Semangat ya, Le,” katanya singkat. Si anak hanya balas mengangguk.

Aku juga melihat keluarga-keluarga lain: seorang kakak yang datang membawa makanan kesukaan adiknya, nenek yang tak lelah menasihati, dan ayah-ibu yang berbisik-bisik merencanakan masa depan. Tak ada perayaan besar, tapi di bawah sana, semua cerita terasa megah. 

Dari sekian banyaknya keluarga yang berdatangan, favoritku masih saja keluarga Sendanu.

Namun, hari ini sepertinya berbeda dari hari-hari bahagia yang biasa terjadi di  hari pertemuan. Mereka—ibu dan bapak Sendanu datang dengan wajah yang tak biasa—muram, penuh beban. Bapak dan Ibu Sendanu duduk di atas tikar usang yang digelar seadanya. Anak tengah mereka, Sendanu langsung saja berlari dari asrama ketika namanya dipanggil dari alat pengeras suara.  Kini, Sendanu duduk disana, menikmati nasi goreng merah jambu, sebab terdapat campur baur belacan di dalamnya.

Biasanya, obrolan mereka diselingi gelak tawa yang antusias. Namun, kali ini tidak sama sekali, semua terasa sunyi. Pak Sugeng memandangi anaknya perlahan. Sebuah sorot  wajah lelah yang  tidak dapat menyembunyikan rasa bersalah. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan bulan lalu, kedua tangannya yang kasar sebab bekas semen dan sepotong luka kecil belum lagi sempat sembuh. Ia menatap Sendanu dalam. Tengah mengolah kata-kata agar apa yang keluar dari mulutnya tidak menyakiti anaknya.

“Danu,” pangilnya dengan suara serak. “Kamu harus pulang, Nak. Bapak sudah nggak sanggup bayar biaya pondok.” 

Kalimat itu menghantam Sendanu telak,  layaknya palu godam yang muncul dari antah berantah. Bocah itu terpaku, memandangi wajah orang tuanya dengan mata membelalak tak percaya. “Loh? Kenapa, Pak? Danu masih betah disini.”

Bu Narti menepuk bahu anaknya, menguatkan.   Namun, sejatinya raut wanita paruh baya itu sendiri tak mampu menyembunyikan duka. “Bapak sudah coba banyak cara, Nak. Lembur tiap malam sampai-sampai badannya hampir remuk. Sementara gajinya cuma segitu-gitu aja. Biaya pondok naik terus. Belum lagi kakak dan adik kamu, semuanya butuh biaya. Maafkan ibu sama bapak, Danu…” Suara wanita itu pecah di ujung kalimat, tangannya yang semula berada di pundak Sendanu kini bergetar.

Sendanu menunduk, meremas buku-buku jarinya hingga memerah. “Jadi… hidup kita memang cuma segini, ya, Bu? Pak?” lirihnya sarat dengan kepedihan. “Kenapa orang lain bisa sekolah tinggi, bisa dapet pendidikan bagus, sementara Danu tidak? Padahal Danu cuma kepingin hidup lebih baik… salah, ya?”

Pak Sugeng menunduk dalam, tak kuasa menatap mata anaknya. Bu Narti telah terisak di sampingnya. Beberapa menit berselang, Pak Sugeng tetap diam. Ia tahu semua jawaban di dunia ini tak akan mampu meredakan sakit di hati anaknya. Kalimatnya di awal tadi merupakan belati tajam yang mengoyak hati putranya.

“Danu, maafkan Bapak…” bisik Pak Sugeng pada akhirnya, matanya mulai berlinang. “Bapak tidak cukup kuat untuk menjadi bapak yang baik buat kamu.”

Sendanu menggeleng keras, air mata bocah laki-laki itu mulai menganak sungai

 “Pak, kalau Danu pulang sekarang, semuanya sia-sia…”

“Danu  nggak mau pulang, Pak… Danu malu sama teman-teman!”

Pak Sugeng akhirnya tak mampu menahan isaknya sendiri. Di bawah sana, seorang pria yang biasa mengangkat bata dan semen dengan gagah kini menangis seperti anak kecil. Masalahnya, ini bukan perkara fisik, melainkan rasa gagal seorang ayah. Rasa sakit yang mengakar sebab tak mampu memberi masa depan yang lebih baik untuk anaknya. 

Bu Narti mengusap kepala anaknya. “Maafkan Ibuk Danu. Maaf kami tidak punya apa-apa lagi.” Suara wanita itu terdengar parau.

Sendanu memeluk Ayah dan Ibunya erat-erat, air mata mereka bercampur.

Sejak hari itu, seusai tikar-tikar pandan digulung, kantong-kantong plastik bekas makanan dikumpulkan, pelukan terakhir diberikan, dan kata-kata pamit diucapkan—usai pertemuan bulan itu, aku tak pernah lagi melihat Sendanu dan keluarganya.

****

Kini, aku telah kehilangan keluarga Sendanu sebagai tontonan favoritku. Maka, tanpa disadari waktu pun sepertinya beranjak malas-malasan. Pertemuan bulan selanjutnya terasa begitu lama.

 Hari ini, langit berwarna abu-abu muda. Ketika angin membawa aroma lembab dari dedaunan basah, aku melihat seorang bocah berjalan cepat ke arahku, matanya gelisah. Bukan untuk duduk bersama keluarga atau bercengkerama—ini masih jauh dari  jadwal hari penjengukan, melainkan tampak  sesuatu yang berbeda dari anak itu—Sadam, tertulis pada nametag yang melekat di baju seragamnya di bawah namanya tertera pula  kelas; 7 A yang ditulis dalam aksara arab. 

“Capek…” gumamnya pelan, seolah bicara dengan diriku. “Capek banget…”

Sekilas ia menatap pintu gerbang  yang tertutup rapat dari kejauhan. Ada tatapan ragu di matanya, tapi juga ada keinginan kuat untuk melangkah pergi—meninggalkan tempat yang mengekangnya selama berbulan-bulan.

“Bolos aja… ya?” bisiknya padaku, seolah meminta persetujuan.

Sadam menghela napas. Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintik kecil membasahi daun dan tanah di dekat tempat Sadam berdiri.

Aku tahu perasaan semacam itu. Perasaan  terkekang, terjebak pada aturan dan impian, antara tuntutan orang tua juga kehendak hati.

Tiba-tiba, Sadam merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel yang seharusnya tidak boleh ia bawa. Ia memandangi layar sejenak, lalu mengetik cepat.

“Bu, Sadam pulang aja ya. Nggak betah di sini. Tolong jemput…”

Tombol send lekas ia sentuh. Sadam berjongkok, tidak memperdulikan gerimis yang turun makin lebat. Bocah itu menunduk, seraya jarinya yang sibuk menggurat-gurat tanah.

“Apa aku bakal ngecewain mereka ya?” bisiknya, entah bertanya pada diri sendiri atau padaku.

“Tidak apa-apa, Nak. Pulanglah. Tak ada yang salah dengan pulang. Kadang, pulang bukanlah tanda kekalahan, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa jalan ini bukan milikmu,” ujarku menasehati.

Sadam memperhatikan tetes demi tetes air yang tumpah dari langit. Deru angin  mulai menggetarkan daun-daun sawit di tempat ia bernaung.

Dengan satu tarikan napas dalam, Sadam berdiri. Sekali lagi ia menatap gerbang utama, tempat ia merasa terkekang berbulan-bulan. Kini tak ada lagi yang dapat menghentikannya. Ia telah mantap untuk melangkah keluar. Biarlah, apapun yang terjadi nanti ia memilih untuk menemukan jalannya sendiri, menghadapi apapun yang akan datang.

Aku masih berdiri di sini, di bawah langit  temaram, mengawasi Sadam melangkah. Berharap suatu waktu, angin akan membawakan kabar baik dari Sadam di perjalanan barunya.

****

Hari pertemuan datang juga, seperti biasa pekarangan selalu ramai. Orang-orang membawa tikar, rantang-rantang berisi makanan, dan senyum penuh harap. Bau nasi hangat dan lauk-pauk mulai memenuhi udara.

Aku masih berdiri di sini, menyaksikan semuanya—tidak banyak bicara, tapi aku paham apa yang mereka rasakan. Tiap bulan, keluarga-keluarga datang membawa harapan dan kegelisahan.

Hari ini giliran mereka lagi—keluarga kecil yang selalu kulihat berusaha keras menahan perasaan. Di atas tikar pandan itu, Wira tampak membuka bekal plastik yang dibawakan ayahnya dengan antusias. Sejatinya tak ada yang istimewa di dalamnya, hanya nasi dengan tempe goreng dan sambal.

Pak Surya, ayah Wira kelihatan tegang, menyalakan dan mematikan rokok di tangannya tanpa sempat menghisapnya. Ada kata-kata yang tertahan di mulutnya, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

“Jadi begini, Nak…” Pak Surya akhirnya membuka percakapan, suaranya parau. “Bapak… sebentar lagi akan menikah.”

Gerakan Wira terhenti. Ia mendongak pelan, seolah berharap salah dengar. “Menikah? Sama siapa?” tanyanya lirih.

“Bu Wati, tetangga kita,” jawab Pak Surya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan kalimat yang berat itu. “Dia bisa bantu jagain adik-adikmu. Bapak nggak bisa terus sendirian.”

Aku menyaksikan bagaimana ekspresi Wira berubah. Campuran antara keterkejutan, amarah, dan rasa kehilangan. Mendengar bahwa ayahnya akan menikah lagi, seperti menghapus semua kenangan tentang ibunya.

“Kenapa, Pak? Nggak cukup kita berempat  aja?”

Pak Surya menghela napas dalam-dalam. “Bapak cuma mau kita semua baik-baik, Nak. Kamu tahu, bapak nggak bisa terus seperti ini. Adik-adikmu butuh ibu.”

“Dia nggak akan pernah bisa gantiin ibu!”

Aku bisa merasakan amarah Wira, amarah yang muncul bukan hanya karena keputusan ayahnya, tapi juga karena rasa tak berdaya. Ia merasa ditinggalkan, seolah kepergian ibunya kini diikuti dengan kehilangan sosok ayah yang dulu ia kenal.

“Aku nggak mau pulang,” kata Wira akhirnya, suaranya dingin. “Biar aku di sini.”

Aku ingin berbisik kepada mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi batal. Pak Surya sudah bangkit perlahan, menyeka wajahnya yang basah oleh peluh. “Baiklah, Nak. Kalau itu maumu. Tapi ingat, bapak lakukan ini juga buat kamu dan adik-adikmu.”

Hening. Tidak ada lagi percakapan yang menyenangkan.

****

“Besok, sawit ini ditebang ya? Pak Kyai udah setuju,” kata salah seorang. “Biar pekarangan lebih lega. Anak-anak juga bakal lebih mudah bikin acara.”

Sore kelabu itu akhirnya datang. Mesin gergaji meraung. Dan aku tahu, waktuku di sini sudah habis. Esok, aku tidak akan ada lagi di sini. Telah selesai tugasku menjadi saksi dari pertemuan-pertemuan kecil yang penuh cinta.

 Aku tahu mereka tak ingat aku—aku hanya pohon sawit, bagian biasa dari pemandangan sehari-hari. Tapi aku merasa beruntung. Setidaknya, di bawah naunganku, ada begitu banyak momen berharga yang tercipta.  Setidaknya, akulah atap  bagi tawa, tangis, dan doa. Sebab di bawah teduhku, rindu selalu menemukan caranya untuk pulang.

—Selesai

***

اتڤ اونرتوك سڬالا چريت

مرك تيدق ڤرنه بنر-بنر ممڤردوليكنكو. تاڤي اكو سلالو ممڤرهاتيكن مرك. اكو ممڠ بوكن سياڤ-سياڤ. هاڽ برديام ديري د سيني تنڤ باڽق بيچارا. اكو برديري ستياڤ سائت، دان كادڠ-كادڠ ترڽات اشيك جوڬ مڽيمق مرك بربينچڠ دان برلالو لالڠ

تياڤ بولن، ترداڤت دوا هاري إستيموا. تياڤ هاري إستيموا إتو تيب، ڤكرانن د سكيتر باڠونن اوتام سلالو جادي دايا تاريك ترسنديري. اورڠ-اورڠ دواس سريڠڽ ممڤير سمبيل مڠڤيت تيكر ڤندڠ، جوڬ مننتڠ رنتڠ-رنتڠ براروم سدڤ يڠ سوده ڤستي ديڤنوهي دڠن مكانن يڠ مڠڬيوركن ليده

سجق ڤاڬي منوجو كومندڠ زوهور، كاين-كاين تيكر ديبنتڠ. رنتڠ-رنتڠ بإريسي مكانن ديڬلر ساتو ڤرساتو. د سناله اكو داڤت مڽيمق ڤربينچاڠن انتارا اورڠ توا دان انق، ننك ككك كڤادا چوچو، كاكق كڤادا اديكڽ. اتاو بهكن سباليكڽ سايڠڽ تياڤ كلوارڬ، هاڽ ڤوڽ وكتو برسوا دان ملڤس ريندو ساتو جم ساج. سبب، ڤكراڠن إتو تيدق ترلالو لواس، كلوارڬ-كلوارڬ لاين مننتي ڬيليرن اڬر داڤت كباڬيان تمڤت

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini