Riausastra.com – Berhentilah menanyakan sesuatu kepada orang lain yang jawabannya tidak membuatmu hidup lebih baik. Berhentilah memulai keterhubungan komunikasi dengan kerabat, teman, orang lain, bahkan orang asing dengan kalimat tanya “Sudah menikah? Kenapa belum punya anak? kenapa anaknya belum punya adik? kapan naik jabatan? Kenapa belum naik haji?” dan masih banyak lagi kalimat tanya yang tidak lagi berfungsi dengan baik. Kalimat-kalimat tanya yang ujungnya tidak menyehatkan komunikasi, justru menciptakan konflik batin yang panjang bagi orang-orang yang terpaksa menerima pertanyaan itu.
Entah kenapa basa-basi di sekitar kita polanya selalu sama? Selalu saja seperti busur yang menancap. Basa-basi memang bukan hal yang sia-sia. Semacam trik sederhana untuk mendapatkan izin masuk ke rumah seseorang. Ternyata, kehadiran kalimat basa-basi tidak seremeh yang kita kira. Namun mirisnya, kenapa struktur kalimatnya kerap seperti racun yang mematikan daya. Ini adalah cerita lama dari ribuan orang yang kemudian memilih diam lalu terpuruk.
Saya ditakdirkan Tuhan berada di antara ribuan orang yang diam itu. Saya berhasil menunduk rapuh dan mendadak kecewa pada diri sendiri hanya karena sederet kalimat dari seseorang. Bahkan mencapai titik paling kritis, saya meyakini bahwa ruang publik adalah tempat yang angker dan menakutkan. Setiap orang yang kita temui tidak selalu datang dengan niat yang baik. Orang-orang yang datang ke arahmu suatu waktu akan menuduhmu, mencurigaimu bahkan meletakkan harakatmu di tempat paling rendah.
Saya baru saja tiba di rumah kerabat dan menikmati sambutan hangat dari keluarga di sana. Seekor kucing hamil sedang duduk malas di bawah kursi, lalu seseorang membuka obrolan, “Belum hamil? lihat! Kucing itu lebih subur daripada kamu.” Ini kali pertama saya merasakan situasi saat lidah benar-benar kelu namun pikiran memberontak di waktu bersaman. Peristiwa komunikasi itu cukup membekas bagi saya. Saya berhipotesis bahwa obrolan-obrolan masyarakat kita lebih banyak diisi oleh kalimat tanya daripada kalimat harapan atau doa-doa yang baik. Ini menjadi bahan perenungan saya yang cukup panjang setelahnya. Apa yang salah pada bahasa?
Barangkali kita patut berkaca pandang kepada orang-orang Melayu asli, misalnya kelompok penutur bahasa Melayu di Riau. Dari sana, kita bisa menemukan sebuah tradisi perihal cara orang menggunakan, memperlakukan dan hidup bersama bahasa. Sebuah pengalaman ironis begitu menyayat hati saat mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang amat berhati-hati dalam menggunakan bahasa sedangkan di tempat yang lain, ada orang-orang memakai bahasa tanpa aturan dan cenderung liar bahkan memakai bahasa sebagai senjata kriminal.
Perjalanan pendidikan telah menggiring saya bertemu dan berkenalan cukup dekat dengan dua orang Melayu Riau. Meskipun bertemu keduanya di tempat, situasi dan waktu yang berbeda, namun saya bisa merasakan ada beberapa hal yang mereka bawa memiliki ciri khas dan pola yang sama. Mereka memiliki perhatian yang tidak terbagi ketika berkomunikasi dengan orang lain. Keduanya sangat menjaga jalinan komunikasi yang hangat. Mereka menunjukkan pernghargaan terhadap orang di sekitarnya. Salah satu penghargaan disajikan dalam bentuk bahasa yang terasa ingin “memeluk”. Tidak ada obrolan yang ditinggalkan sebelum benar-benar tuntas. Tampak mereka melakukan treat terhadap orang lain dengan sepenuh hati. Kesan ini tidak mungkin muncul jika mereka tidak menghadirkan respek pada orang lain dalam berkomunikasi. Bukankah kata-kata santun yang lahir dari hati yang bersih hanya bisa sampai kepada penerima yang juga menggunakan hati dan kejujurannya. Pengalaman ini menantang pikiran saya untuk mencari tahu lebih jauh. Apa yang telah diwariskan tanah Riau kepada dua kawan saya ini, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang menyenangkan tapi tetap berwibawa?
Riau adalah pengejewantahan jiwa raga Melayu. Padanya kita dapat belajar betapa bahasa itu amat berharga. Bahasa bukan sebatas perkara merangkai kata berpola Ini Ibu Budi atau Ayah Budi berangkat ke kantor. Seperti cara kebanyakan orang meremehkan pembelajaran bahasa Indonesia. Lebih daripada itu, bahasa telah melebur ke dalam kehidupan masyarakat Riau sebagai identitas dan jati diri orang Melayu. Bahasa dianggap sesuatu yang sakral sebab menjadi cermin budi seseorang. Orang-orang Melayu Riau sangat menjunjung tinggi bahasa santun hingga menyatarakan bahasa dengan etika dan budi pekerti. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa tutur kata adalah inti dari bahasa.
Persoalan bahasa tidak hanya sampai pada perihal apa yang ingin disampaikan tetapi juga berlanjut pada cara menyampaikan dan untuk apa disampaikan. Bahasa dapat diumpakan seperti setangkai pohon yang menghasilkan buah martabat bagi seseorang. Raja Ali Haji (1803-1873), seorang tetua dalam bidang bahasa dan sastra Melayu pernah menghimpun tulisan yang berjudul Bustan Al-Katibi (Taman Para Penulis). Beliau menyatakan dalam suatu ungkapan berharga, “… adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan.”
Melayu telah melahirkan banyak sekali ungkapan atau pepatah yang mereka kenal dengan istilah pepatah-petitih yang menjadi pedoman setiap gerak laku dalam berkehidupan, termasuk dalam memakai bahasa. Kita bisa menyimak serangkain pepatah yang apik berikut ini.
Yang disebut adat berbahasa:
Tahu alur dengan patutnya
Tahu memiliki kata mendaki
Tahu memakai kata mendatar
Tahu menyimak kata menurun
Supaya aib tidak tersimbah
Supaya malu tidak berdedah
Apa tanda orang berbangsa
Bercakap tahu berbudi bahasa
Berata arif dalam berbahasa
Bertutur bijak berkata-kata
Kebudayaan Melayu Riau memberi keteladaan tentang sikap tegas namun dibalut kesantunan yang memukai hati. Ketegasan berlaku untuk hal-hal yang prinsipiel. Semua tindak tanduk dalam berbangsa termasuk berbahasa, bercocok tanam, berkeluarga, semua tertuju pada amaliah yang disebutkan sebagai ajaran agama yang murni, dinul Islam. Orang-orang Melayu tidak hanya meletakkan budi bahasa sebagai citraan diri melainkan telah menjadi pakaian hidup sampai mati. Sebuah ungkapan dalam tunjuk ajar Melayu, “Hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa perkara budi baik menjadi keramat dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Tidak hanya sampai di titik itu, nasihat-nasihat tetua juga mengingatkan agar orang Melayu mengutamakan memberi budi baik daripada menerima budi baik. Sebuah ajakan untuk berlomba-lomba menanamkan budi baik kepada sesama. Lebih baik memberi daripada menerima.
“Termakan budi, tetapi bertanam budi.” Begitulah kiranya petuah yang secara berulang-ulang dinyatakan agar tertanam di dalam hati. Orang-orang Melayu dilahirkan dan dirawat melalui syair-syair yang menuntun hati dan menajamkan akal. Mereka tahu cara menempatkan bahasa sesuai fungsi dalam interaksi sosial. Dalam hal ini, orang-orang Melayu dididik menggunakan bahasa dalam tiga strategi yaitu bahasa mendaki, mendatar dan menurun. Bahasa bergerak mengikuti langkah pembicaraan. Orang Melayu mengetahui cara mengembangkan alur percakapan. Bahasa mendaki digunakan oleh orang muda teradap orang yang lebih tua, atau orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya. Sebaliknya, bahasa menurun digunakan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Sementara itu, bahasa mendatar digunakan oleh orang-orang yang memiliki usia sebaya atau kedudukan yang setara.
Sikap afektif orang Melayu tersebut disimpulkan dalam suatu ungkapan bijak, “hormati yang tua, kasihi yang sebaya, sayangi yang muda.” Kita bisa menyaksikan orang-orang Melayu Riau tidak dikendalikan oleh situasi melainkan menjadi pengendali atas situasi yang ada. Orang Melayu telah terlatih untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan membangun jalinan keakraban tanpa menyisihkan yang lain. Sebuah tunjuk ajar telah dituliskan untuk merangkum kebijaksaan tentang pemakaian bahasa oleh suatu bangsa, seperti syair berikut ini.
Tepak emas di dulang suasa
Tekat seraga sri perkasa
Hendaknya mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Tekad seraga sri perkasa
Merak mengigal ragam pusaga
Lihat kepada budi dan bahasa
Rusak bahasa cederalah bangsa
Membaca syair-syair Melayu seperti diajak mengunjungi masa silam ketika bahasa yang bertebaran di nusantara belum dinyatakan sebagai bahasa nasional. Sejarah pun menggenggam bukti bahwa Melayu adalah embrio bahasa Indonesia. Kebudayaan Melayu telah menjadi rahim yang melahirkan bahasa pemersatu bangsa yang plural ini. Menelusurinya, seperti membuka pintu-pintu sejarah panjang berikut fakta-fakta unik nan mengagumkan tentang cikal bakal tumbuhnya bahasa nasional.
Sebagai pembaca yang datang jauh dari tanah Melayu, saya merasa diajak bertamasya di taman yang menakjubkan. Mengunjungi setiap kata-kata yang dirangkai memberi pengalaman yang meskipun tidak benar-benar baru namun berhasil membuat berdecak kagum. Bagaimana tidak? Bahasa yang kita kenal hari ini ternyata buah dari kebijaksanaan nurani seperti yang terungkap dari sastra Melayu. Pertanyaan besar kemudian menancap di kepala. Jika benar bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu lalu kenapa yang sampai kepada kami tidak seperti DNA aslinya? Ada karakter yang tercerabut dari pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Sebagai anak kandung bahasa Melayu, penyebaran bahasa Indonesia juga mestinya mewarisi semangat pemakaian yang berlandaskan etika dan budi pekerti. Apa yang tertera pada kebudayaan Melayu sesungguhnya merupakan karakter asli bahasa Indonesia. Bahasa memiliki marwah yang harus dijaga dan dipertahankan dengan berbagai cara. Suatu strategi untuk menjamin agar generasi mampu mengembangkan peradaban namun tidak melupakan asalnya. Salah satu pewarisan sifat asli yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa ini adalah kesantunan dan budi pekerti yang murni. Jika ibu kandung bisa mempertahankan marwah bahasa penuh wibawa, mengapa generasi-generasi berikutnya tidak bisa melakukannya?
Rujukan:
Jamil, Taufik Ikram dkk. 2018. Pedidikan Budaya Melayu Riau: Buku Sumber Pegangan Guru. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau.
***
سسترا ملاايو: مڽيبق د.ن.ا اسلي بهاس إندونسيا
برهنتيله منڽاكن سسواتو كڤادا اورڠ لاين يڠ جوابنڽ تيدق ممبواتمو هيدوڤ لبيه بايك. برهنتيله ممولاي كترهوبوڠن كومونيكاسي دڠن كرابت، تمن اورڠ لاين، بهكن اورڠ اسيڠ دڠن كاليمت تاڽ “سوده منيكه؟ كاڤن ڤوڽ انق؟ كناڤ انكڽ بلوم ڤوڽ اديك؟ كاڤن نايك جباتن؟ كناڤ بلوم نايك هاجي؟” دان ماسيه باوق لاڬي كاليمت تاڽ يڠ تيدق لاڬي برفوڠسي دڠن بايك. كاليمت-كاليمت تاڽ يڠ اوجوڠڽ تيدق مڽهتكن كومونيكاسي، جوسترو منچيڤتاكن كونفليك باتين يڠ ڤنجڠ باڬي اورڠ-اورڠ يڠ ترڤكس منريم ڤرتڽائن إتو
انته كناڤ باس-باسي د سكيتر كيت ڤولاڽ سلالو سام؟ سلالو ساج سڤرتي بوسور يڠ مننچڤ. باس-باسي ممڠ بوكن هل يڠ سيا-سيا. سماچم تريك سدرهان اونتوق منداڤتكن إزيب ماسوق ك رومه اورڠ. ترڽات، كهاديرن كاليمت باس-باسي تيدق سرمه يڠ كيت كيرا. نامون ميريسڽ، كناڤ ستروكتور كاليمتڽ كرڤ سڤرتي راچون يڠ مماتيكن داي. إني اداله چريت لام داري ريبوان اورڠ يڠ كموديان مميليه ديام لالو ترڤوروق
ساي ديتكديركن توهن برادا ديانتارا ريبوان اورڠ يڠ ديام إتو. ساي برهاسيل منوندوق راڤوه دان منداداق كچوا ڤادا ديري سنديري هاڽ كارن سدرت كاليمت داري سسئورڠ. بهكن منچاڤاي تيتيك ڤاليڠ كريتيس، ساي مياكيني بهوا رواڠ ڤوبليك اداله تمڤت يڠ اڠكر دان مناكوتكن. ستياڤ اورڠ يڠ كيت تموي تيدق سلالو داتڠ دڠن نيات يڠ بايك. اورڠ-اورڠ يڠ داتڠ ك ارهمو سواتو وكتو اكن منودوهمو، منچوريڬايمو بهكن ملتككن هراكتمو د تمڤت ڤاليڠ رنده.
ساي بارو ساج تيب د رومه كرابت دان منيكماتي سمبوتن هاڠت داري كلوارڬ د سان. سئكور كوچيڠ هاميل سدڠ دودوق مالس د باوه كورسي، لالو سسئورڠ ممبوك اوبرولن، “بلوم هاميل؟ لينت! كوچيڠ إتو لبيه سوبور دريڤادا كامو.” إني كالي ڤرتام ساي مرساكن سيتواسي سائت ليده بنر-بنر كلو نامون ڤيكيرن ممبرونتق د وكتو برسمائن. ڤريستيوا كومونيكاسي إتو چوكوڤ ممبكس باڬي ساي. ساي برهيڤوتسيس بهوا اوبرولن-اوبرولن مشراكت كيت لبيه باڽق ديئيسي اوله كاليمت تاڽ دريڤادا كاليمت هراڤن اتاو دوع-دوع يڠ بايك. إني منجادي باهن ڤرنوڠن ساي يڠ چوكوڤ ڤنجڠ ستلهڽ. اڤ يڠ ساله ڤادا بهاس؟