Riausastra.com – Pada zaman dahulu kebiasaan bersenandung atau yang lebih dikenal dengan baghandu oleh masyarakat Kampar merupakan hal yang biasa. Baghandu merupakan kesenian lisan masyarakat Kampar untuk menidurkan anaknya di dalam buaian (Nurliana et al., 2022). Selain untuk menidurkan anak, tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun ini dianggap sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya untuk membentuk kepribadian dalam diri anak. Tradisi lisan mempunyai konsep yaitu tradisi yang disampaikan dengan media lisan dari generasi ke generasi (Sibarani, 2015; Elmustian, 2023). Hal inilah yang menjadi kelemahan dari tradisi lisan karena disampaikan dengan lisan sehingga memiliki banyak versi dalam masyarakat atau setiap generasi (Duija, 2005).
Keunikan dari baghandu yaitu memiliki banyak versi lirik di setiap daerahnya bahkan istilah penyebutannya. Perbedaan lirik tersebut tergantung dari kreativitas penutur dan dipengaruhi oleh perkembangan zaman (Syukri, 2012; Elmustian, 2023). Meski penutur bebas mengkreasikan lirik baghandu, akan tetapi yang harus diperhatikan ialah lirik baghandu harus memiliki pesan moral yang berisi nilai-nilai agama dan nilai pendidikan (Anggita et al., 2020).
Kini tradisi lisan tidak hanya dianggap sebagai budaya saja melainkan memiliki banyak sekali pengaruh terhadap masyarakat. Fungsi tersebut akan terlaksana apabila kebudayaan ini terus berkembang dan eksis di kalangan masyarakat. Begitu banyak fungsi dari sastra lisan baghandu ini bila masyarakat memberikan perhatian akan eksistensi baghandu ini. Selain sebagai pengantar tidur, baghandu juga berfungsi sebagai sarana komunikasi, hiburan dan pembelajaran bahkan memelihara norma-norma yang hidup di tengah masyarakat. Namun kini keberadaanya mulai tergeser karena perkembangan zaman dan semakin berkurangnya minat generasi muda dengan tradisi lisan yang mereka anggap monoton (Marlina, 2018), bahkan kebudayaannya sendiri terkadang dianggap sebagai tradisi kampungan dan tidak bernilai karena generasi muda lebih condong kepada kebudayaan asing.
Kurangnya edukasi dari orang tua kepada anaknya, akan berakibat semakin hilangnya tradisi lisan seperti baghandu ini. Bahkan para orang tua sudah meninggalkan kebiasaan ini dengan alasan karena kesibukan dan tidak punya waktu untuk menghandukan anaknya. mereka lebih memilih memberikan anak mereka gawai untuk menemani proses pertumbuhan anak mereka daripada mendekatkan diri dengan anak mereka menggunakan tradisi lisan baghandu yang penuh dengan nilai-nilai religius. Pada penelitian ini, peneliti membahas bagian-bagian baghandu, eksistensi dari baghandu mulai dari teks, penutur, khalayak, dan pertunjukan.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan pada penulisan ini, sumber data yaitu informan yang ada di Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar dan Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara, rekaman, dan dilanjutkan dokumentasi. Peneliti menggunakan teknik penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data. Langkah yang peneliti lakukan dalam penelitian lapangan yaitu wawancara, rekaman dan dokumentasi. Sedangkan penelitian kepustakaan yaitu mencari referensi dari penelitian terdahulu terkait judul penelitian dan teori pendukung untuk mengembangkan penulisan penelitian ini.
Teknik wawancara merupakan langkah yang ditempuh dalam penelitian lapangan untuk mendapatkan data dari daftar pertanyaan yang diberikan peneliti kepada narasumber. Tulisan ini bersumber dari Rahimah atau lebih dikenal dengan nama Nek Mandak, berusia 80 tahun, bersuku Sialang, berasal dari Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kemudian data juga disokong oleh narasumber kedua yaitu Hasan D atau Hasan Domo yang bersuku Domo, usia 72 tahun, dari Desa Kapan, Kecamatan Tambang, Provinsi Riau. Pertanyaan dimulai dari perihal biografi narasumber, dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai informasi nyanyian baghandu berdasarkan pengalaman hidup narasumber, dan diakhiri dengan pelaksanaan atau penuturan nyanyian baghandu oleh narasumber. Teknik rekam adalah bagian penting dalam pengumpulan data yang hasilnya akan diolah untuk dijadikan bahan penelitian. Peneliti menggunakan kamera ponsel untuk merekam data yang diperoleh. Selanjutnya teknik dokumentasi adalah langkah yang dilakukan peneliti untk menghimpun keseluruhan data yang dipeproleh dari teknik wawancara dan hasil rekaman sebagai bukti telah terlaksananya penelitian sehingga peneliti dapat mengolah dan menyajikan hasil penelitian ke dalam bentuk tulisan.
Teks Baghandu
Peneliti tidak menemukan teks tertulis sebab menurut kedua penutur kesenian baghandu ini memiliki peminat yang sedikit dan tidak tahu siapa pencipta teks baghandu yang sebenarnya. Mereka hanya meneruskan tradisi yang di lisankan secara turun-temurun. Belum ada ketetapan khusus mengenai teks baghandu ini. Karena menurut penutur, siapa saja bisa mengubah lirik pada baghandu ini asal setiap kata yang dinyanyikan mengandung pesan atau nasihat berlandaskan ajaran agama. Fakta menarik yang peneliti temukan adalah adanya perbedaan antara lirik nanyian baghandu yang dikenal luas masyarakat sekarang dengan lirik asli nyanyian baghandu orang zaman dahulu.
Dari informasi yang peneliti dapatkan, kedua informan tidak setuju dengan lirik “kutang barendo” di awal nyanyian. Karena sungguh tidak mencerminkan nilai-nilai baghandu sebagai sarana pembentukan karakter anak. Dengan kata lain lirik tersebut adalah penistaan terhadap baghandu. Padahal sesungguhnya, baghandu adalah nyanyian yang dimulai dengan pujian terhadap Pencipta kemudian dilanjutkan dengan nasihat atau harapan orang tua untuk masa depan anaknya. Jika orang tua ingin anaknya mengamalkan nasihat yang diberikan maka ucapkanlah perkataan yang baik. Karena sejatinya anak terlahir suci dan didikan orang tua adalah kunci utama pembentukan kepribadian sang anak. Selain itu penutur berpendapat bahwa hal inilah yang kemudian mengubah adat karena adab sudah hilang.
“Ek lola kutang barendo” yang sekarang dikenal luas, dahulunya adalah kalimat pembuka yaitu “dengan bismillah amak mulakan”. Atau kalimat tauhid “laailaahaillallah” agar sang anak selalu mengingat Sang Pencipta di mana pun berada. Orang yang tidak memahami mungkin tidak memiliki masalah. Tetapi perbedaan kalimat tersebut memiliki makna yang berbeda pula. Betapa pentingnya mengajarkan ilmu agama kepada anak untuk mengisi langkah sang anak menuju masa depannya.
Menurut informan dari Desa Kuapan, sebenarnya baghandu bukanlah pantun. Hanya saja orang zaman dahulu memiliki jiwa seni yang sangat tinggi dalam bertutur sehingga nyanyin baghandu jika dituliskan akan terlihat seperti pantun yang memiliki empat baris dalam satu baitnya. Di sinilah letak kreativitas penutur, penutur bebas mengubah atau membuat lirik baru sesuai dengan pesan yang hendak disampaikan. Dengan catatan penutur harus memperhatikan ungkapan-uangkapan yang dituturkan. Mengkreasikan lirik baghandu dengan berpedoman adat yang berlandaskan ajaran agama. Sehingga tradisi lisan baghandu akan terasa sakral bila dituturkan.
Penutur Baghandu
Baghandu adalah sejenis kesenian bersenandung, merupakan nyanyian pengantar tidur. Biasanya dituturkan oleh seorang ibu yang hendak menidurkan anaknya. Konon pada zaman dahulu para ibu-ibu yang hendak bekerja dan memiliki bayi atau anak kecil akan menidurkan anaknya di dalam buaian agar sang ibu bisa melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Disaat yang bersamaan ibu akan berdialog dengan anaknya dengan cara bersenandung atau baghandu. Lirik yang dinyanyikan pun memiliki pesan dan nilai sakral. Menurut penjelasan kedua informan, tujuan lain selain untuk menidurkan anak adalah untuk membentuk karakter atu kepribadian sang anak. Karena banyak makna tersirat yang ada dalam setiap untaian kata pada nyanyian tersebut.
Penutur dari Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar menyebut baghandu ini dengan sebutan “meandoi budak (anak)” sedangkan penutur dari Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, tetapi menggunakan istilah “baghandu” untuk kesenian bersenandung ini. Perbedaan hanya terletak pada penyebutannya saja. Untuk irama dan sebagian lirik yang dinyanyikan secara keseluruhan sama. Kedua informan mengatakan bahwa yang biasa membawakan atau menyanyikan baghandu ini umumnya ibu-ibu. Karena ibu memiliki waktu yang lebih lama dengan anak dibandingkan ayah. Anak cenderung lebih dekat dengan ibunya baik di rumah atau pun di ladang. Tak mengherankan lagi bahwa penutur baghandu kebanyakan adalah perempuan yang sudah memiliki anak.
Khalayak Baghandu
Pada zaman dahulu kebiasaan bersenandung atau yang lebih dikenal dengan baghandu oleh masyarakat Kampar merupakan hal yang biasa. Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun ini dianggap sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya untuk membentuk kepribadian dalam diri anak. Ada kesan dan pengalaman tersendiri yang dirasakan oleh anak ketika baghandu dituturkan oleh ibunya. Menurut beberapa khalayak, banyak pesan moral yang terdapat dalam baghandu. Nasihat yang disampaikan penutur seolah-olah mengisi jiwa khalayak sehingga saat beranjak dewasa pesan atau nasihat tersebut menjadi pedoman untuk masa depan.
Selain itu, irama baghandu yang khas menjadikan baghandu sebagai seni sehingga bisa dipertunjukan. Umumnya pendengar baghandu ini adalah anak-anak. Namun tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga menikmatinya, karena di Kampar baghandu selalu dibawakan pada acara aqiqah. Disitulah momen di mana khalayak bisa menyaksikan dan mengamati baghandu. Saat baghandu dinyanyikan, suasana harus hening untuk mendengarkan setiap lirik yang penuh nasihat tersebut. Karena merupakan salah satu bagian dari acara sakral, itulah mengapa isi dari baghandu harus mencerminkan kebaikan.
Saat ini begitu sulit menemukan penutur baghandu. Perkembangan zaman yang semakin pesat menyebabkan terjadinya pergeseran budaya di tengah masyarakat yang mempengaruhi eksistensi baghandu. Tidak adanya perhatian khusus untuk kesenian ini, sehingga baghandu semakin ditinggalkan. Tidak ada pembukuan khusus untuk lirik baghandu sehingga membuat pemaknaan baghandu menjadi kontroversi.
Terlepas dari kontroversi antara baghandu dengan kutang barendo, alangkah baiknya generasi muda lebih memberi perhatian penuh kepada tradisi lisan ini agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan adanya pembelajaran serta penelitian mengenai tradisi lisan asli masyarakat di daerah, menjadi salah satu cara melestarikan tradisi lisan tersebut. Hal yang menjadi faktor pendukung utama adalah perhatian serta dukungan masyarakat terhadap tradisi lisan baghandu ini sehingga memberikan peluang dan tempat akan keberadaan tradisi lisan yang lahir di kalangan masyarakat untuk terus berkembang (Purnomo & Subari, 2019).
Cara lain yang dapat dilakukan untuk melestarikan baghandu ini yaitu kemudian mempublikasikannya menjadi salah satu cara agar tradisi lisan ini terus berkembang (Fakhrurozi et al., 2021). Sehingga ketika penutur asli sudah tidak ada, generasi muda dapat melihat bagaimana penuturan baghandu yang benar. Dengan melestarikan tradisi lisan baghandu ini merupakan bentuk pertahanan masyarakat terhadap jati dirinya dan memperkaya kebudayaan bangsa sehingga tidak tergeser oleh kebudayaan luar yang dapat merusak moral anak bangsa (Susanti, 2016).
Pertunjukan Baghandu
Seperti yang sudah dikatakan bahwa baghandu biasa dututurkan oleh ibu untuk menidurkan anaknya dan dituturkan juga saat acara akikah. Bahkan mungkin ada pertunjukan khusus untuk baghandu atau perlombaan kesenian ini. Tetapi baghandu hanya memanfaatkan keindahan suara dan tidak ada alat musik khusus.
Menurut penuturan informan, ketika acara akikah para ibu-ibu akan bersholawat menggunakan rebana. Tetapi saat baghandu dituturkan suasana harus hening dan yang terdengar hanya suara yang menuturkan baghandu. Namun saat ini begitu banyak inovasi penuturan baghandu. Pelestarian baghandu pun dilakukan dengan cara melakukan lomba baghandu dengan peserta dari kalangan muda hingga dewasa dan tidak memandang gender.
Simpulan
Baghandu merupakan salah satu tradisi lisan pengantar tidur oleh orang tua untuk anaknya dalam buaian yang ada di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Terdapat berbagai macam versi lirik baghandu sesuai dengan kreativitas penuturnya namun tetap memperhatikan nilai-nilai adat yang berpedoman pada ajaran agama. Setiap daerahnya memiliki penyebutan tersendiri namun sebagian besar masyarakat Kampar tetap menyebut kesenian pengantar tidur ini dengan sebutan baghandu.
Baghandu dilantunkan oleh ibu-ibu dan tidak ada alat musik khusus saat menyanyikannya. Baghandu hanya mengandalkan suara penutur dengan irama khasnya. Selain ditujukan kepada anak, kadang kala baghandu dinyanyikan dalam beberapa acara atau kegiatan seperti akikah atau perlombaan sehingga khalayak meliputi siapa saja tanpa memandang usia dan gender.
Daftar Pustaka
- Anggita, A., Elmustian, & Syafrial. (2020). Jurnal Tuah. Jurnal Tuah: Pendidikan Dan Pengajaran Bahasa, 2(1), 26–31.
- Duija, I. N. (2005). Tradisi Lisan, Naskah, dan Sejarah. Wacana, 7(2), 111–124.
- Elmustian, 2023. Seni Pertunjukan Sastra yang Digayakan. Pekanbaru: Unri Press.
- Fakhrurozi, J., Pasha, D., Jupriyadi, J., & Anggrenia, I. (2021). Pemertahanan Sastra Lisan Lampung Berbasis Digital di Kabupaten Pesawaran. Journal of Social Sciences and Technology for Community Service (JSSTCS), 2(1), 27–36. https://doi.org/10.33365/jsstcs.v2i1.1068
- GL Koster. Dalam buku Pudetia MPSS (ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
- Marlina, M. (2018). Sosiologi Masyarakat Melayu Riau dalam Syair “Surat Kapal” Karya H. Muhammad Ali Thalib [Sociology of Riau Melayu Community In The Poem “Ship Letter” by Muhammad Ali Thalib]. Totobuang, 6(2), 245–256. https://doi.org/10.26499/ttbng.v6i2.83
- Nurliana, N., Ulya, M., Sukiyat, S., & Nurhasanah, N. (2022). Peran Keluarga Terhadap Pendidikan Anak Perspektif Hukum Islam. Kreatifitas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, 11(1), 22–35. https://doi.org/10.46781/kreatifitas.v11i1.403
- Paul Bouissac dalam buku Pudetia MPSS (ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
- Purnomo, H., & Subari, L. (2019). Manajemen Produksi Pergelaran : Peranan Leadership dalam Komunitas Seni Pertunjukan. Satwika (Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial), 3(2), 111–124.
- Sibarani, R. (2015). Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan. In RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa (Vol. 1, Issue 1). https://doi.org/10.22225/jr.1.1.105.1-17
- Susanti, E. (2016). Nyanyian Bagandu Masyarakat Siak Hulu, Kabupaten Kampar dan Implikasinya Pada Mata Pelajaran IPS SD. Sosial Budaya, 13(1), 101—114. http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/SosialBudaya/article/view/3478/2070
- Syukri, M. (2012). Naskah-Naskah Tradisi Lisan Riau Upaya Penyelamatan Aset Budaya Melayu. Jurnal Sosial Budaya, 9(2), 158–171.
***
باغندو: تكس، ڤنوتور، خلايق، دان ڤرتونجوكن
ڤادا زامن داهولو كبياسائن برسنندوڠ اتاو يڠ لبيه ديكنل دڠن باغندو اوله مشراكت كمڤر مروڤاكن هل يڠ بياس. باغندو مروڤاكن كسنيان ليسن مشراكت كمڤر اونتوك منيدوركن انكڽ د دالم بوايان (نورليان ات ال.، ٢٠٢٢). سلاين اونتوق منيدوركن انق، تراديسي ليسن يڠ ديواريسكن سچارا تورون-تمورون إني دياڠڬڤ سباڬاي ساله ساتو ڤندكاتن يڠ ديلاكوكن اوله اورڠ توا كڤادا انكڽ اونتوق ممبنتوق كڤريباديان دالم ديري انق. تراديسي ليسن ممڤوڽاي كونسڤ يايتو تراديسي يڠ ديسمڤايكن دڠن مديا ليسن داري ڬنراسي ك ڬنراسي (سيبراني، ٢٠١٥؛ الموستيان،٢٠٢٣). هل إنيله يڠ منجادي كلماهن داري تراديسي ليسن كارن ديسمڤايكن دڠن ليسن سهيڠڬ مميليكي باڽق ۋرسي دالم مشراكت اتاو ستياڤ ڬنراسي (دويج،٢٠٥)