Riausastra.com – “Dingin kalilah, wei,” ucap Kak Jogina sambil berusaha memeras roknya yang basah kuyup.
“Tondi! Udah lengkapnya Dek semua terevakuasi?” tanya Kak Nauli sambil mendiamkan anaknya yang rewel sejak tadi. Perut anak itu mules, diare. Sudah beberapa kali buang air. Ketersediaan diapersnya juga sudah menipis.
Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang dipanggil dengan Tondi itu masih sibuk dengan kertas di tangannya. Ia fokus mencentang beberapa daftar nama yang ada dalam catatan yang mulai basah itu. Seluruh bajunya ikut basah. Rambutnya tidak karuan lagi. Begitu juga dengan irama nafasnya, sangat tidak beraturan.
“Tondi, tolonglah anak abang, Dek. Belum sempat abang seberangkan dia tadi. Duluan abang bawa mamak abang ke sini. Tolong ya, Dek.” Seorang lelaki berusia separuh baya yang berprofesi sebagai ketua RT mendekati Tondi sambil terengah-engah menggendong ibunya yang sudah pikun.
“Siapa namanya, Bang? Umurnya berapa?” tanya Tondi sambil menggigit tutup pena.
“Parlaungan Napitupulu, umur lima taon. Rumah yang bertingkat itu ya, Dek. Keliatan kan dari sini?” lanjut lelaki bertubuh kekar itu.
“Wi baya, di mana dia Pak RT tarok? Air sudah makin tinggi lho. Mogaplah (tenggelamlah) nanti si Laung baya,” ujar Kak Jogina penuh kekhawatiran.
“Naik ke dinding pagar depan dia tadi kubikin, Tondi. Kalau air makin naik, naik ke atap, kubilang tadi,” jawab Bang Napitupulu setengah panik dan setengah berteriak.
“Ada lagi yang masih terjebak banjir di dalam? Biar sekalian kubawa pake perahu karet.” tanya Tondi sambil berteriak lantang.
“Nggak ada lagi. Si Laung lah selamatkan dulu, Dek. Kasian baya,” ucap Kak Nauli hampir tersedu.
Tondi menyeret perlahan-lahan perahu karet menuju titik banjir di kawasan Perumahan Suka Becek. Hujan masih mengguyur kawasan kota. Seluruh warga dari Perumahan Suka Becek segera mengungsi dan berupaya menyelamatkan diri dan anggota keluarga masing-masing. Tanpa sedikit pun harta benda yang bisa diselamatkan.
“Hei, Ucok!” Seseorang tiba-tiba meneriaki Tondi yang sudah mulai menuju lokasi untuk menjemput Parlaungan Napitupulu.
Tondi segera menoleh karena terkejut dengan teriakan itu. Tondi menghentikan langkahnya.
“Sini kau dulu! Sini!” Seorang berbaju safari memanggil Tondi dengan nada cukup tinggi. Wajah lelaki bertubuh subur itu merah membara.
Tondi berbalik arah dan langsung berenang menuju kompleks perumahan tanpa memperdulikan lelaki yang meneriakinya itu. Lelaki berbaju safari semakin panas.
“Hei, berani-beraninya kau pergi begitu aja ya?” teriaknya kesal.
“Maaf, Pak. Ada apa ya, Pak?” Bang Napitupulu menghampiri lelaki berbaju safari setelah mengamankan ibunya di tempat pengungsian.
“Nggak sopan kali kutengok lelaki itu! Aku ngomong nggak dihiraukan sama dia!” ucap lelaki itu sambil marah-marah.
Bang Napitupulu berbalik arah membelakangi lelaki yang marah-marah tersebut. Dia menggerakkan tangannya sambil menunjuk ke arah kanan untuk memberi isyarat kepada Tondi dari jauh. Sepertinya Tondi butuh petunjuk arah untuk segera menemukan keberadaan Laung. Tidak butuh waktu lama, Tondi sudah menemukan rumah Bang Napitupulu. Semua warga yang menyaksikan proses evakuasi anak Bang Napitupulu bersorak untuk memberi semangat agar Tondi dan Laung selamat sampai tujuan.
Lelaki berbaju safari kaget setelah dicueki untuk yang kedua kalinya. Emosinya semakin meninggi. Lelaki itu mengepalkan jemarinya pertanda kesal.
“Dimana-mana, pejabat itu dihormati, disanjung, bahkan banyak juga yang ‘menjilat’ agar bisa merasakan rembesan-rembesan uang proyek. Baru kali ini aku diperlakukan begini,” bisik batin lelaki berbaju safari.”
“Tuhan, selamatkanlah anakku,” ucap Bang Napitupulu sambil memicingkan matanya dan kedua tangannya menekan rambut lurusnya.
Warga merasa deg-degan menunggu kehadiran Tondi dan Parlaungan. Dari sisi sebuah rumah, akhirnya terlihat tubuh Tondi yang berenang sambil menarik perahu karet. Di atas perahu itu ada anak kecil berusia lima tahunan. Anak itu menangis. Sepertinya ia ketakutan melihat air yang semakin lama semakin tinggi hingga sampai ke atap rumah.
“Alhamdulillah,” teriak Bang Napitulu sambil mengusap wajahnya.
Warga yang menyaksikan kejadian itu ikut mengucap syukur dan berbahagia. Sedangkan bapak berbaju dinas dan para ajudannya terlihat semakin emosi karena kehadiran mereka dianggap seperti air banjir: butek, jorok, dan diharapkan cepat berlalu.
“Terima kasih, Tondi!”
Bang Napitupulu langsung mengangkat anak laki-lakinya yang masih sesenggukan. Bang Napitupulu memeluk Tondi sambil berulang kali mengatakan terima kasih.
“Sama-sama, Bang.”
Tondi sibuk meminggirkan perahu karet berwarna jingga itu. Perahu karet itu milik masjid di sekitar kompleks perumahan.
“Jangan nangis ya hasian ayah. Ayah sudah peluk Laung, kan? Orang Batak itu harus kuat. Gitunya kan, Mang?” Bang Napitupulu masih berusaha menyemangati anaknya.
“Tolong, tolong, berkumpul dulu semua!” ucap seorang ajudan sambil mengajak masyarakat merapat dan menghadap sekelompok orang yang datang dan langsung marah-marah tadi.
“Hei, kau!” ucap lelaki berbaju safari hitam dengan ketus sambil menunjuk-nunjuk Tondi.
“Ya, Pak. Ada masalah?” Tondi tampak menekan amarahnya.
“Kau bukan warga sini, kan?”
“Bukan, Pak.”
“Ngapain kau sok sibuk betol ngurusin warga di sini, hah?”
“Bah, ada yang salah, Pak?”
“Ya, salah lah! Nggak sesuai prosedur kau buat aktivitasmu di sini!”
“Hei, Pak. Nggak usah cerita prosedur kalau sudah mau bermatian orang di dalam itu. Aku memang bukan warga di sini. Tapi, mamak-ku tinggal di perumahan yang banjir itu. Siap kutolong mamak-ku, kutolong pulaklah orang lain. Salah, Pak?”
Emosi Tondi mulai meningkat. Lelaki berbaju safari masih menuduhnya melangkahi prosedur.
“Kau tahu siapa aku, kan? Berani-beraninya kau!” Lelaki berbaju safari naik pitam.
“Paten kali Bapak rasa! Kalau sudah genting begini, tidak usah lagi kita anggar-anggar jabatan. Siapa yang sanggup menolong, tolonglah. Kalau tidak sanggup menolong, jangan menolon. Ini, Bapak uruslah sendiri. Muak kali aku!” Tondi meletakkan catatan nama-nama warga yang sempat didatanya tadi. Setelah itu Tondi langsung beranjak membawa ibunya ke rumahnya. Hatinya penuh kecamuk. Wajahnya bagai api panas yang baru saja padam, merah!
“Maaf, Pak. Lelaki tadi memang bukan warga sini. Tapi Pak, lelaki itu sangat berjasa sudah banyak membantu mengevakuasi warga. Seandainya dia tadi tidak hadir di sini, mungkin sudah mati tenggelam anak-anak dan orang tua kami. Jadi, tidak perlulah marah-marah di sini, Pak. Saya akui, Bapak memang pejabat di daaerah ini. Tapi, kami sudah banyak berhutang budi pada lelaki itu,” Bang Napitupulu mencoba meredakan suasana.
“Siapa RT di sini?” tanya lelaki berbaju safari.
“Saya, Pak Wakil,” jawab Bang Napitupulu tegas.
“Ya udah, ikut Saya ke pengungsian. Sebentar lagi mau laporan,” ucap lelaki berbaju safari dan segera menuju mobil mewahnya.
“Huuuu,” ucap warga serempak menyoraki lelaki berbaju safari itu.
“Gilak kurasa Bapak itu lah. Datang-datang merepet. Sok hebat kali kutengok.,” ucap seorang ibu warga perumahan.
“Ketegoran dia itu. Kalau sehat otaknya, nggak bakal gitu dia itu,” sambung Bang Regar.
“Hahaha, ketegoran,” ucap beberapa warga.
“Betul lah itu, ketegoran. Mobil mewahnya sama jabatannya itulah yang bikin dia ketegoran. Kalau orang ketegoran kan bawaannya nggak sadar diri. Samalah sama horang kayah itu. Udahlah nggak sadar diri ditambah pulak lupa diri. Macam mana mau memimpin rakyat?” ucap Kak Jogina dengan raut wajah kesal.
“Hahaha, betul lah itu,” sambung Kak Nauli.
“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan hadirin, siap-siap kita menuju ke lokasi pengungsian ya. Di sana sudah ada bahan makanan, tenaga kesehatan, pakaian ganti, dan perlengkapan bayi dari Aksi Cepat Tanggap Darurat,” kata Bang Napitupulu memberikan arahan kepada warganya.
Warga berbondong-bondong menuju tenda-tenda pengungsian sambil membawa anggota keluarga masing-masing. Begitu juga Bang Napitupulu, segera ia gendong ibunya menuju tenda darurat, sedangkan si Laung dipegang oleh ibunya.
“Hati-hati, Pak,” ucap seorang tenaga medis laki-laki berparas tampan sambil membantu menurunkan nenek tua dari punggung kekar Bang Napitupulu.
“Sayang, jangan nangis ya. Sebentar dokter periksa dulu eek-nya, ya,” ujar seorang dokter wanita dibantu dua orang rekannya untuk memeriksa anak dari Kak Nauli yang sedang terserang diare.
Beberapa orang relawan sosial menyiapkan makanan dan pakaian untuk para pengungsi. Warga yang tidak ikut terkena banjir turut serta membantu memasak dan menginfakkan pakaian layak pakai dan uang, di saat suasana masih kocar-kacir, tiba-tiba ratusan orang yang berada dalam tenda darurat diminta untuk mengalihkan pandangan ke satu titik. Ternyata ada sedikit pengarahan.
Hanya berkisar tiga menit, pengarahan usai. Ternyata pengarahan singkat yang lebih tepatnya disebut dengan basa-basi disampaikan oleh lelaki berbaju safari. Warga yang masih mengingat tingkah lelaki berbaju safari beberapa jam yang lalu, masih kesal melihat lelaki berbaju safari. Para pengungsi dari Kompleks Perumahan Suka Becek memperlihatkan wajah cemberut tanda tidak suka.
“Acara selanjutnya, masuk ke acara inti ajalah langsung, ya. Foto-foto lah kita dulu. Biar ada laporan ke Pak Wali,” ucap lelaki berbaju safari setelah selesai memberikan pengarahan singkat.
“Cekrek. Cekrek.”
“Ini yang paling penting, ya kan Pak Wakil?” ucap ajudannya selesai memoto lelaki berbaju safari beserta rombongannya.
“Halah, jauh-jauh ke sini cuma mau foto-foto doang. Bukannya empati sama kita. Bukan pulak ngasi bantuan apapun. Kurasa bentar lagi ketegoran hantu air dia itu nanti, baru dia tau rasa,” Kak Nauli berbisik kepada Bang Poltak.
Mendengar cibiran itu, Bang Poltak menahan cekikannya. “Kudoakan. Amin,” ucap Bang Poltak setengah berbisik.
“Jangan lupa Bapak dan Ibu semua, Bapak ini besok akan mencalon jadi Walikota kita. Diingat-ingat wajahnya ya,” pesan salah seorang ajudannya kepada para pengungsi.
Rombongan itu pun segera memasuki mobil mewahnya. Para pengungsi saling mencibir.
“Yang hebatlah itu. Datang-datang cuma modal marah-marah, ujung-ujungnya minta dipilih jadi walikota. Kurasa betul-betul ketegoran orang itu, bah,” celoteh Kak Jogina.
“Hus. Kena cabe nanti bibirmu. Jadi kau pulak yang ketegoran. Hahaha,” sambung Bang Poltak.
“Enak kali ya kan, orang yang berjuang mati-matian, kawan itu pulak yang dapat nama. Nggak ada bantu apapun, tapi seolah-olah semua ini atas usaha dia. Betullah itu memang ketegoran,” ujar Bu Jamilah sambil menghidangkan masakan buat para pengungsi.
“Kemana tadi si Tondi, ya?” tanya Bang Napitupulu.
“Udah pulang dia Pak RT. Dibawanya mamak-nya ke rumahnya,” jawab Mas Tarno.
“Makasi infonya, Mas,” ucap Bang Napitupulu.
“Sama-sama, Pak RT,” jawab Mas Tarno.
***