sumber ilustrasi asli: antaranews

Riausastra.com – Semburat jingga dengan sapuan kemerah-merahan melatari sekawanan keluang yang pulang ke pangkuan rimba. Matahari pun semakin merangkak. Tiupan angin bantaran Sungai Apit terasa menyegarkan di pelataran rumah yang dibangun lebih kurang seperempat abad silam. Rumah Ampar Labu beratap daun-daun nipah peninggalan masyarakat Melayu pesisir itu memang telah renta, tiang-tiang pasak anjal penyangganya telah ditumbuhi umbut-umbut jamur dan pakis, terdengar berdenyit-denyit apabila kaki-kaki orang rumah berjalan di punggungnya, ‘Dug…Nyiit…Dug…Nyiit,’ bertingkah-tingkah memainkan irama.

“Ehmm…, seharian ni memang teraso kelat, agham!.” Gumam, Wak Eriman, yang sedari pangkal sore duduk menung bertopang dagu menatap ke seberang sungai. Daun-daun kempas melambai-lambai, di sebelahnya pula dedaunan topaz merisik-risik tatkala terkena gerimis. Hujan memang rajin menyirami batang-pokok itu, belum putus berhari-hari.

Dari anak tangga selasar rumah, asap nampak mengepul-ngepul. Bukan hanya kepulan yang berasal dari dalam hutan seberang sungai yang meliang-liang itu. Bibir Wak Eriman juga rajin merebak jerebu. Lelaki yang mulai merengkuh usia separuh baya itu berulang lenguh datar, tak terasa nafasnya telah membentur sayup-sayup adzan maghrib di musim yang lembab sore itu. ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar….’ Cepat-cepat dijauhkan batang bertabun itu dari bibir hitamnya. Ia beranjak tergesa-gesa. Hentakkan kakinya yang menghujam lantai kayu rumah panggung itu telah mengusik ketenangan, Mak Ema, istrinya.

“Berangkat kito lagi, Bang? Hari dah bertambah gelap dah.” Tanya Mak Ema yang sedari tadi duduk selunjur memandangi punggung suaminya. Telah siap dengan semangkat dan tunam, suluh sabut kelapa.

Kejab. Elok shalatlah kita dahulu.” Jawab Wak Eriman singkat sambil menggulung sarungnya. Berjalan menuju ruang induk, meraih kopiah. Memang tidak biasanya mereka berangkat ke hutan sialang lepas waktu maghrib. Paling tidak, jam-jam segini mereka sudah sampai di tengah hutan.

Mak Ema segera menarik sumbu-sumbu pelita yang telah memendek. Sumbu itu terhubung langsung dengan minyak tanah. Lampu-lampu togok pun mulai dinyalakan. Itulah sebagai penerangan saban tahun masyarakat sekampung-kampung. Di bawah temaram lampu ini pula, budak-budak Melayu jati dahulu berjuang meraih mimpi.

Tampak dari daun jendela, di seberang sana, perumahan staf pabrik kelapa sawit seperti menampar dengan gempita cahaya, mencemeeh, dan memaki-maki Kampung Apit di hadapannya. Kampung terluar yang memendam ari-ari warga sekerabat itu bergerak tak berarti; bagai siput yang celaka. Mak Ema bukan main geram.

“Dah jago budak tu?” Tanya Wak Eriman selepas wudhu. Ia bertanya mengenai putra tertua mereka yang saban petang kerap didapati sedang tertidur.

“Abang seperti gaharu, cendana pula,” Jawab Mak Ema. “Budak satu tu kan memang macam tu. Balek bejojang langsung tidur sampai gering. Terkadang tak pulang. Dio tak kira siang atau petang.” Sambungnya lagi. Tapi kali ini dengan gerutu berpalis ke arah bilik kamar, Alang. Memang sirap hati betul Mak Ema kepada sulungnya itu. Semestinya anaknya itu yang menggantikan beliau menjadi juagan mudo ataupun juru ubo, sebutan untuk seseorang pengepul madu yang bekerja dari bawah. Semenjak putus sekolah dan menganggap pupus cita-citanya, Alang memang jarang pulang. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di tepian Sungai Apit. Menonton pertunjukkan lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut peti kemas dan kayu-kayu balak. Memandangi bumbungan asap-asap tebal yang memayungi kampung akibat pembakaran hutan hak ulayat. Atau hanya sekadar mendengarkan ritme mesin Chainsow deru-menderu dari dalam hutan.

Alang yang berkeinginan mulia, dapat membantu orang-orang di kampungnya pun harus memendam mimpi dalam-dalam, setelah Abah dan Emaknya kehilangan sumber mata pencaharian keluarga. Berjuta depa lahan pertanian rambong penghasil getah karet milik mereka yang berdampingan langsung dengan hutan sialang Kampung Apit, telah diterabas rata serata tanah oleh belgo dan bulldozer milik para pengusaha perusahaan kelapa sawit. Wak Eriman dan istrinya, juga masyarakat sekampung-kampung tak dapat berbuat banyak dan menerima begitu saja ganti rugi yang tidak sepadan nilainya. Pernah suatu ketika, di kampung sebelah terdengar riuh jerit orang-orang, juga hewan-hewan, yang bermaksud memperjuangan haknya. Tunggang langgang mereka mencari tempat berlindung. Suara tembakkan dan berdenting-dentingan senjata muncul dari segala penjuru. Banyak warga kampung itu yang pada akhirnya menjadi korban keganasan orang-orang biadab.

“Biarkan sajalah, budak tu. Esok pepandailah ia mempersiapkan diri.” Jawab Wak Eriman sekonyong-konyong. Memang itulah satu-satunya jawaban yang paling bisa dibenarkan. Kalau dengan jawaban lain, bisa jadi memancing Mak Ema, istrinya itu merepet sepanjang tali beruk.

            ***

Derik-berderik jangkrik pertanda hari telah lepas remang pun semakin renyah. Desir desau angin, riak sungai, dan sesekali sayup-sayup terdengar mesin pompong, kapal kayu milik nelayan tradisional yang tunak berombang ditingkah air sungai menyongsong malam.

“Tak panas lagi badan, Ulung?” Wak Eriman masih memburu jawaban menenangkan dari istrinya yang telah siap dengan segala perbekalan menumbai, “Ehmm…,” Mak Ema menjawab ragu. Ia mendehem-dehem. Bimbang menakar kadar keyakinan sendiri mengenai si bungsu. Sama membimbangkan dengan mengukur apakah malam ini akan selamat demi hutan sialang yang hanya beberapa ratus depa lagi? Kebun sawit yang mulai berbuah pasir milik perusahaan swasta itu berhadapan langsung dengan patok perbatasan hutan, tempat madu-madu sialang bergelanyut. Pihak keamanan di sana, kerap saja menyulitkan kerja-kerja para penumbai madu sialang.

Gerimis masih saja mendesir. Tempiasnya rajin meloncat-loncat menelusup ke serambi. Bilik jendela kamar yang terbuka lebar juga menjadi laluan percikkan itu. Menampar-nampar muka, Alang. Ia pun terjaga dari tidurnya. Menggerutu, “Pukimak!” kemudian bergeser menjauh dari jendela, mendekati ke tubuh adiknya yang membujur tenang tak terusik. Belum lagi kepalanya tiarap di atas tekat tampuk bantal, teriakan Mak Ema berdesing di sela gemuruh dari sebalik dinding-dinding gedek kamar.

“Alang, Emak dan Abah pergi! Tengok-tengok, adikmu. Di dapur ado keledek rebus, makanlah kalau lapar.” Perhatian seorang Ibu memang agak lain. Abah hanya diam, dan itulah laku yang paling benar. “Iya, Mak,” Jawab Alang meyakinkan.

“Angkat lukah di Parit Talang. Abah tak sempat tadi,” kata Wak Eriman pula menimpali. “Iyo!” teriak, Alang  merasa jengkel. Entah bagaimana rasanya, Alang begitu malas turun dari katil hangat itu. Matanya yang masih ditarik-tarik rasa kantuk menatap tak bersemangat bantal golek kapuk empuk itu. Kepalanya masih berkunang-kunang. Sedari lama perutnya tidak terisi nasi. Emaknya tak pernah menanak beras. Hanya keledek atau ubi rebus yang dapat diandalkan untuk menyumbat perut-perut yang lapar di rumah itu. Wak Eriman pun tak habis akal, lukah tua kepunyaannya sering dipasang di parit atau anak sungai. Paling tidak, mereka dapat makan ikan bersama keledek atau pun rebusan ubi.  

Alang pun mengurungkan niat kembali berpetualang di alam mimpi menjadi seorang dokter. Sarung yang membungkus setengah tubuhnya dilepas sekenanya.

  Suara mesin pompong dari bantaran depan rumah telah menggelegak. Wak Eriman melepaskan engkol dengan nafas tersengal-sengal. Badan perahu kayu yang dibeli atas uang ganti rugi perusahaan sawit itu pun bergetar-getar, ‘Drot…dot…dot…dot’, air sungai meriak-riak kecil. Ulung terbangun seketika Abahnya menambah laju gas, mesin dong feng 24 PK buatan China itu bergemuruh hebat memecah kesunyian pangkal malam di perairan Kampung Apit.

“Miko dah tak apo-apo, Lung? Tak meriang lagi ke?” Tanya Alang. Ulung pun mengangguk pelan. Sudah empat hari ini badannya demam tinggi. Tak pula selera mengasup makan. Tak telap ongkos jika memanggil dokter. Paling kuat memanggil kemantan kampung. Sebab itulah, saban tidur ia kerap meracau. Mengigau-igau.

“Miko tunggu di rumah yo, abang nak angkat lukah kejap.” Alang merasa cukup yakin bahwa adiknya itu belum sembuh betul. “Sayo ikut, Bang. Tak nak lah sayo tinggal kat rumah sendiri. Pokoknyo sayo ikut.”

***

//Mbat menghembat ake gadung/ Mbat mai di ate tanggo/ Kalau iyo sialang ni lingkaran tedung dan nago/ Tetaplah juo di banie kayu//.” Sembari mengusap-usapkan tunam ke batang sialang, Wak Eriman, sang juagan tuo pun mulai merapal pantun-pantun magis. Membujuk dan memuji penghuni sialang.

Hujan telah lembut merinai-rinai. Bau-bau tanah menguar dibumbui rempah dedaunan lapuk. Sementara Mak Ema telah siap dengan maumbaian, tali dan bakul pengumpul madu. Tetapi benaknya masih bergasing-gasing tiada henti, tertinggal kepada si sulung yang sedang terbaring sakit di rumah. Belum lagi matanya mesti awas dengan kemungkinan-kemungkinan di dalam hutan rimba itu. Atuk Rimau bisa saja sesekali waktu menerkam mereka. Boleh jadi amuk-amarah lebah, atau kena senapang orang-orang suruhan toke kelapa sawit. Para penumbai madu memang kerap kali beruji nyawa.

//Papat-papat tanah ibul/ Mai papat di tanah tombang/ Nonap-nonap Cik Dayangku tidou/ Juagan Mudo di pangkal sialang//.” Puji-pujian tak putus diajukan, Wak Eriman, agar lebah tetap tidur nyenyak, senyenyak si Alang, putranya yang harus menidurkan mimpi untuk menjadi dokter kampung.

//Popat-popat tanah mayang ibual/ Dipopat tanah tombang/ Nonap-nonap Cik Dayangku tidou/ Konai doa pasung terbang//.” Mak Ema, yang terpaksa berperan sebagai juagan mudo dan juru ubo pun tak kalah merapal mantra. Menghentak-hentak kakinya ke tanah basah. Pacat-pacat rawa bergambut mencoba naik ke betis, menelusup ke sela celana. Sangat akrab dan intim sekali.

Bismillahirrohmaanirrohiim,” Ucap Wak Eriman, memantapkan iman. Ia pun siap memanjat sialang. Mak Ema, istrinya itu masih saja muncungnya berkamit-kamit merapal doa-doa kendati matanya tetap berjaga-jaga dan pikirannya masih was-was. Sungguh perasaan yang tidak menentu, “//Pinjam tukual pinjam landean/ Tompat manukual kalakati/ Pinjam dusun pinjam laman/ Tompat main malam ini//.”

***

Ulung berjingkrak-jingkrak girang di atas batang kayu kelapa yang ditambat menjadi peniti parit. Sementara Alang yang berjalan di depanya, menjadi terguncang melambung-lambung.

“Elok-elok jalan miko tu, Lung,” Sergah Alang kepada adiknya. Ulung tak menjawab sepatah pun. Namun, kakinya sedikit berkurang berjingkraknya dari semula. Ciut juga ia.   

Berbekal penerang lampu togok, sesampainya di tempat yang dipesan Abah, Alang mulai mencari-cari letak lukah yang dipasang. Sementara Ulung menonton khidmat, menelan-nelan rasa penasaran. Tak diberi izin oleh abangnya untuk turun ke parit. Alang meraba-raba semak rerumputan dan reranting kayu, biasanya di sanalah lukah dibenamkan.

‘Bluup…tserrrrr…,’ ikan-ikan menggelepar. Penuh sesak dalam lukah. Ikan-ikan malang telah terperangkap. Mereka mengepak-ngepak, berebut ingin lepas dari jeruji bambu lukah, buah anyaman Wak Eriman, Abah mereka. Ulung tertawa terbatuk-batuk, girang gemirang ia melihat banyak ikan hasil tangkapan. Tiba-tiba kaki kancilnya melesap lompat dalam parit itu, ‘Ssttt…bwarrr…,’ Alang tak bisa membendung, kepala batu adiknya itu terlalu keras untuk diluluhkan.

***

“Aku cakap jugo apo? Demam miko tu bertambah tinggi. Harusnyo miko tu tinggal di rumah,” Berang Alang kepada adiknya yang sepulang dari parit telah mengerang-erang di atas katil tua. Alang semakin khawatir, ada perasaan geram. Bukan hanya karena adiknya itu keras kepala, melainkan geram tak dapat melakukan apapun. Alang memang bercita-cita menjadi dokter, memang itulah maksud dan tujuannya. Berguna untuk keluarga dan orang-orang di kampungnya.

 Panas badan Ulung terus saja meninggi disertai dengan batuk dan muntah-muntah kosong. Muntah tak ada isi, hanya dahak kuning. Sudah lewat waktu Isya’, tapi Wak Eriman dan Mak Ema belum juga kembali. Panik tak dapat berlaku apa-apa lagi, Alang pun memberanikan diri menyusul Abah dan Emaknya ke hutan. Berbekal sampan kolek, berdayung Alang menuju ke seberang. Butuh waktu dua puluh lima menit menyeberangi Sungai Apit menuju hutan pokok-pokok kempas, yang kalau berlebah madu disebut pokok sialang, tempat masyarakat sekampung-kampung menumbai madu.

Sorot lampu senter dari tengah sungai menembak tepat ke wajah, Alang. Ia pun berhenti mengayuh setelah dua belas menit mengarung. Suara mesin sebuah kendaraan air di sana semakin renyah di telinga, Alang. Lampu senter pun bertambah menyilaukan matanya.

“Ado apo, Lang? Miko menyusul kami?” Tanya Wak Eriman heran. Mata senternya terus menyodok muka cemas, Alang.

“Ulung, Bah…, Ulung demam tinggi. Muntah-muntah.” Jawab Alang tersengal-sengal, setelah belasan menit berdayung. Tak menunggu lama, Wak Eriman pun menarik tali kemudi. “Cepat, balek!” bentak Mak Ema. Sepasang suami istri itu bergegas meninggalkan, Alang, anak sulungnya yang gagal jadi dokter.

***

“Uluuung…,” Dunia terasa berputar-putar dan seakan-akan menelan jantung, Mak Ema hidup-hidup. Apa yang dipikir-rasakannya dalam hutan memang sebuah firasat yang bukan hisapan jempol belaka. Ubo yang berisi lilin lebah pun terpelanting begitu saja. Di ruang induk Rumah Ampar Labu, sepasang suami istri penumbai madu itu mendapati anaknya terbujur. Mulutnya penuh muntah kuning dengan mata terbelalak. Mak Ema meraung sejadi-jadinya.

Wak Eriman mengusap dada terisak-isak. Matanya pun tak kuasa berkaca-kaca, riuh semata bulan, berurai beningan embun malam. Ditatapnya jauh Sungai Apit dengan perasaan pilu, hanya suara riak-riak ombak sampan kolek Alang yang menjembatani antara keduanya, sementara Sungai Apit setelah rinai kembali berselimut hujan.

Sungai Apit,   Juli 2024

ڤنومباي مادو

سمبورت جيڠڬ دڠن ساڤوان كمره-مراهن ملتاري سكوانن كلواڠ يڠ ڤولڠ ك ڤڠكوان ريمب. متهاريڤون سماكين مرڠكق. تيوڤن اڠين بنتارن سوڠاي اڤيت تراس مڽڬركن د ڤلتارن رومه يڠ ديباڠون لبيه كورڠ سڤرمڤت ابد سيلم. رومه امڤر لابو براتڤ داون-داون نيڤه ڤنيڠڬالن مشراكت ملايو ڤسيسير إتو ممڠ تله رنت، تياڠ-تياڠ ڤاسق انجل ڤڽڠڬاڽ تله ديتومبوهي اومبوت-اومبوت جامور دان ڤاكيس، تردڠر بردڽيت-دڽيت اڤابيلا كاكي-كاكي اورڠ رومه برجالن د ڤڠڬوڠڽ، “دوڬ..ڽيت…دوڬ…ڽيت،” برتيڠكه-تيڠكه مماينكن إرام

“اهمم…، سهاريان ني ممڠ تراسو كلت، اغم!” ڬومم أق اريمن، يڠ سداري ڤڠكل سور دودوق منوڠ برتوڤڠ داڬو مناتڤ ك سبرڠ سوڠاي. داون-داون كمڤس ملمباي-لمباي، د سبلهڽ ڤولا دداونن توڤز مريسيك-ريسيك تتكالا تركن ڬريميس. هوجن ممڠ راجين مڽيرامي باتڠ ڤوكوق إتو، بلوم ڤوتوس برهاري-هاري

داري انق تڠڬ سلاسر رومه، اسڤ نمڤق مڠڤول-ڠڤول، بوكن هاڽ كڤولن يڠ براسل داري دالم هوتن سبرڠ سوڠاي يڠ ملياڠ-لياڠ إتو. بيبير وق اريمن جوڬ راجين مربق جربو. للاكي يڠ مولاي مرڠكوه اوسيا سڤاروه باي إتو برولڠ لڠوه داتر، تق تراس نافسڽ تله ممبنتور سايوڤ-سايوڤ ازن مغريب د موسيم يڠ لمبب سور إتو. “الله اكبر، الله اكبر…” چڤت-چڤت ديجاوهكن باتڠ برتابون إتو داري بيبير هيتمڽ. إي برنجق ترڬس-ڬس. هنتككن كاكيڽ يڠ مڠهوجم لنتاي كايو رومه ڤڠڬوڠ إتو تله مڠوسيك كتناڠن، مق ام، إستريڽ

“برڠكت كيت لاڬي، بڠ؟ هاري ده برتمبه ڬلڤ ده.” تاڽ مق ام يڠ سداري تادي دودوق سلونجور ممنداڠي ڤوڠڬوڠ سواميڽ. تله سياڤ دڠن سمڠكت دان تونم، سولوه سابوت كلاڤ

“كجب. الوق صلاةله كيت داهولو.” جاوب وق اريمن سيڠكت سمبيل مڠڬولوڠ ساروڠڽ. برجالن منوجو رواڠ إندوق، مرايه كوڤياه. ممڠ تيدق بياساڽ مرك برڠكت ك هوتن سيالڠ لڤس وكتو مغريب. ڤاليڠ تيدق، جم-جم سڬيبي مرك سوده سمڤاي د تڠه هوتن

مق ام سڬرا مناريك سومبو-سومبو ڤليت يڠ تله ممندك. سومبو إتو ترهوبوڠ لڠسوڠ دڠن ميڽق تانه. لمڤو-لمڤو توڬوق ڤون مولاي ديڽلاكن. إتوله سباڬاي ڤنراڠن سابن تاهون مشراكت سكمڤوڠ-كمڤوڠ. د باوه تمارم لمڤو إني ڤول، بودق-بودق ملايو جاتي داهولو برجواڠ مرايه ميمڤي

تمڤق داري داون جندلا، د سبرڠ سان، ڤروماهن ستف ڤبريك كلاڤ ساويت سڤرتي منمڤر دڠن ڬمڤيت چهاي، منچمئه، دان مماكي-ماكي كمڤوڠ اڤيت د هداڤنڽ. كمڤوڠ ترلوار يڠ ممندم اري-اري ورڬ سكرابت إتو برڬرق تق بررتي؛ باڬاي سيڤوت يڠ چلاك. مق ام بوكن ماين ڬرم

Artikel sebelumnyaKomunitas Riau Sastra Gelar Festival Mendongeng Berbahasa Melayu Riau Tingkat SMP se-Provinsi Riau 2024
Artikel berikutnyaPuisi: Lakonan Watak Sekeping Wang Syiling
M. Arif Al Husein
Lahir di Aek Pamingke. Bermastautin di Siak Sri Indrapura. Penggiat Literasi, Seni, dan Sastra. Saat ini aktif sebagai Dewan Kehormatan UKM Batra UR. Menggeluti seni teater, musik, lukis, dan ukir. Puluhan naskah teater telah dipentaskan, diantaranya; Prahara Cik Apung (Jakarta: 2013), Bulang Cahaya (Batam: 2013), Malam Botak (Palu: 2014), Raja Minyak (Banjarmasin: 2015), dan puluhan peran lainnya. Beberapa karya telah dibukukan; Kepompong (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Fragmen Hitam (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Rumah Kita (Antologi Puisi dan Cerpen- Pustaka A2, 2016), Hom Pim Pa (Naskah Teater, bentuk Dummy 2017; pernah dipentaskan di Laman Anjungan Seni Idrus Tintin), Kitalah yang Hidup di Sungai Itu (Juara 2 Cipta Puisi Festival Sastra Sungai Jantan, 2019), Sebuah Kisah Tentang Waktu (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Jendela Sastra Indonesia, 2020), Potret Kehidupan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Tzone Publisher, 2020), Suara yang Lindap dan Malam Senyap (Antologi Puisi Bersama Penyair ASEAN- Salmah Publishing, 2020), Ode Kerinduan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Inong Agam Publishing, 2020), Mimpi dan Puisi (Juara 3 Cipta Puisi Nasional-Mentari Media, 2020), Langkah Bahtera Langka (Antologi Puisi Bersama Alumni UKM Batra UR-Malay Culture Studies, 2020), Puisi Para Pendaki Bisik Langit Pasak Bumi (Antologi Puisi Pendaki- Pendaki Indonesia-Rumah Sunting, 2021), dan beberapa sekumpulan buku lainnya juga beberapa karya yang terbit di media massa. 0813 1044 0782

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini