Riausastra.com – Ketika berhadapan dengan sebuah karya yang di bagian sampulnya tercetak sebuah nama Sutardji Calzoum Bachri, bayangan yang langsung menggelayut dalam pikiran saya adalah puisi-puisi misterius yang seolah menggoda untuk dinikmati terus-menerus. Harus saya akui, bahwa saya lebih dulu mengenal Sutardji sebagai seorang penulis puisi. Baru selanjutnya saya mengetahui ternyata Sutardji juga cukup rajin menulis esai dan beberapa cerpen, bahkan beberapa cerpen tersebut sudah disatukan menjadi sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul Hujan Menulis Ayam. Di antara sekian cerpen yang ada di dalam buku tersebut, ada satu judul cerpen yang membuat saya tertarik untuk menulis esai ihwal cerpen tersebut. Cerpen itu berjudul singkat (cukup satu kata), yakni Hujan. Cerpen ini menarik karena sangat terasa kemisteriusannya sejak dari judul, namun terasa ada yang ‘kurang’ ketika pembacaannya telah rampung bahkan setelah dibaca berulang.
Simbol Hujan dan Ketiadaan Pengembangan Plot
Membuat judul yang hanya terdiri atas satu kata seolah menjadi jalan kemisteriusan Sutardji dalam karya-karyanya. Hal ini mengingatkan saya pada satu judul puisi karya Sutardji yang menjadi puisi terpendek yang pernah saya baca senada dengan puisi Doa Terakhir Seorang Musafir karya Hamid Jabbar, namun puisi Hamid Jabbar setidaknya memiliki judul yang lebih panjang. Puisi itu berjudul Luka yang hanya berisi ha ha. Setiap judul yang hanya terdiri atas satu kata seolah memiliki kekuatan mistis tersendiri dalam mengejawantahkan maknanya kepada pembaca, apalagi jika judul itu menjadi judul sebuah cerpen. Judul Hujan seolah membawa saya pada sebuah labirin gelap yang disediakan lebih dari satu pintu keluar. Berkali-kali salah jalan dan berkali-kali pula mencoba jalan baru, hingga pada akhirnya tak ada kebenaran absolut dalam menafsiri simbol Hujan Sutardjii.
Agaknya hal inilah yang dimaksud oleh Horace lewat Wellek dan Warren bahwa setiap karya sastra (seni) memang harus selalu mengandung aspek dulce yang berarti indah atau memesona. Seperti inilah gaya estetik Sutardji dalam mengolah imajinasinya untuk selanjutnya dibentuk menjadi sebuah karya utuh yang bernama cerpen. Sutardji di mata saya seperti sedang menyiapkan berbagai kode maupun sandi untuk para pembaca setianya agar tidak sembarang pembaca yang dapat menikmati harta karunnya. Satu di antara sekian banyak kode yang disusun oleh Sutardji dapat diresapi pada kutipan berikut ini,
Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusapi usap mawar, dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah hujan. (halaman 3)
Ada hujan yang meloncat-loncat seolah itu merupakan kode personifikasi, namun ada juga mawar hujan yang seolah sebagai sandi-sandi metafora. Terlepas berhasil atau tidaknya pemecahan kode maupun sandi, Sutardji telah berhasil (senada dengan yang diungkapkan oleh Roland Barthes) menghentikan perannya sebagai pemilik cerpen tersebut. Karena ketika sastra telah berpindah ke mata pembaca, saat itulah mata penyair berakhir. Kini pembaca yang sibuk mengulang-ulang pembacaan guna memecahkan sandi dan berharap dapat menemukan peti harta karun.
Sayangnya di balik kemewahan estetika Sutardji, ada satu hal yang seolah kurang diperhatikan, yaitu dramatisasi konflik. Padahal Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi telah menyebutkan bahwa peristiwa; konflik; dan klimaks merupakan tiga unsur esensial ketika mengembangkan plot cerita dalam penulisan karya fiksi baik cerpen maupun novel. Di dalam cerpen Hujan, agaknya Sutardji hanya berfokus pada keindahan deskripsi tokoh Ayesha hingga mengesampingkan urgensi konflik yang perlu diberikan pada Ayesha. Tokoh Ayesha hanya dideksripsikan dengan sangat memesona lewat cara pandangnya terhadap hujan, bahwa hujan tak sekadar ihwal butir-butir bening basah yang turun dari langit sebab pasti ada hal lain dari hujan yang belum dilihat oleh kebanyakan manusia, tanpa membuatnya ‘naik-turun’ dengan jalinan konflik yang berkelindan pada perkembangan sikap maupun cara pandang tokoh Ayesha. Sisanya Ayesha menari-menari seolah disirami hujan dari langit yang kering kerontang (tentu dengan gaya bahasa yang tetap memikat khas Sutardji) hingga ibunya datang dari super market untuk menghentikan tariannya.
Selesai, cerita berakhir. Sutardji dari kacamata saya seperti sedang menceritakan drama satu babak, sedangkan babak-babak selanjutnya diserahkan kepada para pembaca agar melanjutkan cerita sesuai sudut pandang masing-masing. Lalu saya terdiam sejenak, berkata dalam hati: Saya hendak membuat lanjutan cerita yang seperti apa ya…..