gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Bagas menatap langit sore yang perlahan berubah jingga. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan yang mulai mengering. Dari atas bukit ini, hamparan hijau terbentang luas, menghadap langsung ke langit purba, dengan pemandangan matahari terbenam yang sempurna. Tempat ini memang ideal untuk restoran, persis seperti yang calon kliennya inginkan.

“Pak Bagas, saya yakin restoran di sini akan menarik banyak pengunjung,” ujar pria di sebelahnya, Pak Bima, sang klien.

Bagas mengangguk pelan, tetapi pikirannya terasa jauh. Ia mengamati sekitar, membayangkan restoran yang akan berdiri di tempat ini. Desain modern dengan sentuhan alami, meja-meja kayu menghadap ke lembah, dan tentu saja, sudut terbaik untuk menikmati senja.

Bagas menghela napas. Sore hari selalu mengingatkannya pada seseorang—seseorang yang dulu ingin ia ingin nikahi, perempuan yang hatinya telah terpaut dan dipisahkan kenyataan ia pergi untuk selamanya. Sudah tiga tahun sejak Servia meninggal dunia karena penyakit Lupus, tetapi bayangan perempuan itu masih melekat erat di dalam dirinya.

“Apa ada yang perlu ditambahkan di desain, Pak Bagas?” tanya Bima, sambil mengamati selembar rancang bangunan yang dikerjakan Bagas dan itu membuyarkan lamunannya.

“Ah, tidak Pak Bima. Tempatnya memang bagus.” Bagas berusaha menampilkan ekspresi profesional, meskipun hatinya sedang berperang dengan kenangan.

Sebuah suara mesin mobil terdengar mendekat. Bagas menoleh dan melihat sebuah SUV hijau toska berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. Seorang perempuan keluar dari dalamnya. Langkah kakinya ringan, sedikit ragu, tapi tetap berjalan dengan Langkah mantap.

Dan saat itu juga, Bagas merasa seperti tersambar petir.

Dunia di sekitarnya seakan berhenti.

Perempuan itu…

Wajahnya.

Tingginya.

Caranya berjalan.

Suara samar yang terbawa angin.

Bagaimana bisa semua sama. Persis seperti Servia.

Bagas merasa tubuhnya menegang. Tenggorokannya kering, dadanya bergetar hebat. Apakah ini hanya ilusi? Ia kucek beberapa kali matanya untuk memastikan apa yang dia lihat adalah benar adanya.

“Oh, ini adik saya, Kirana,” kata Bima santai, tanpa menyadari gejolak yang terjadi dalam diri Bagas. Adiknya. Jadi, dia bukan Servia. Tentu saja bukan. Servia telah tiada.

Tetapi bagaimana bisa seseorang begitu mirip dengan orang yang telah tiada?

Kirana tersenyum kecil, mengulurkan tangan. “Pak Bagas, senang bertemu dengan Anda.”

Bagas menatap tangan itu lama sebelum akhirnya menjabatnya. Saat kulit mereka bersentuhan, ada sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak. Kirana menatapnya dengan sorot mata yang tak asing—sorot mata yang dulu selalu diberikan Srvia.

“Senja di sini indah, ya?” Kirana berkata pelan, suaranya begitu mirip dengan suara yang Bagas rindukan selama ini.

Bagas tak segera menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Apakah takdir sedang mempermainkannya saat ini, hatinya semakin berkecamuk.

Mereka bertiga kemudian berjalan menyusuri area tersebut. Bima menjelaskan rencana pembangunan restoran dengan penuh antusiasme, sementara Kirana sesekali menimpali. Tetapi Bagas tidak benar-benar mendengar mereka. Ia lebih banyak mengamati Kirana.

Setiap gerakan, setiap ekspresi, setiap nada suara yang keluar dari bibirnya—semuanya seakan membawa Bagas kembali ke masa lalu.

Tidak, ini bukan Servia. Ini Kirana.

Tetapi gejolak yang semakin kuat kini semakin menjalar dalam dirinya tak bisa diabaikan.

Saat mereka sampai di tepi bukit, Kirana berdiri diam, menatap matahari yang perlahan turun ke ufuk barat. Bagas memperhatikannya dari samping. Angin memainkan rambutnya yang sedikit berantakan, dan untuk sesaat, ia benar-benar terlihat seperti Servia.

“Pak Bagas, apakah ada yang salah?” Kirana tiba-tiba menoleh, menatapnya dengan ekspresi bingung.

Bagas terhenyak. Ia tidak sadar telah menatapnya terlalu lama.

“Tidak… hanya sedikit teringat sesuatu, apa kompor saya sudah saya matikan sebelum berangkat kesini” jawabnya sekenanya dengan lirih.

Kirana mengernyit, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia kembali menatap senja, seolah memahami bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Bagas menunduk, mencoba memahami perasaannya sendiri. Ada puisi yang mengalun dalam benaknya yang penuh tanda tanya.

”Nama dan tubuh yang berbeda
Namun bagaimana rupa yang sama?
Suara; cara berbicara
Cara melihat yang penuh makna

Bagaimana aku lupa?
Langkah kaki yang tak cepat juga tak lambat
Cara berjalan dan pergi berlalu
Semua seperti caramu.”

Bagas menarik napas dalam. Ia sadar, pertemuan ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang harus ia hadapi, sesuatu yang selama ini ia hindari atau lebih tepanya ia takuti untuk melihat kenyataan. Perasaan kehilangan orang yang sangat ia sayang. Senja di hadapannya masih sama indahnya, tetapi kali ini, ia tak yakin apakah ia bisa menikmatinya dengan cara yang sama.

***

بياڠن دوك

باڬس مناتڤ لاڠيت سور يڠ ڤرلاهن بروبه جيڠڬ. اڠين سور برتيوڤ لمبوت، ممباوا اروم تانه دان ددباونن يڠ مولاي مڠريڠ. داري اتس بوكيت إني، همڤارن هيجاو تربنتڠ لواس، مڠهادڤ لڠسوڠ ك لاڠيت ڤورب، دڠن ڤمداڠن متهاري تربنم يڠ سمڤورن. تمڤت إني ممڠ إديال اونتوق رستورن، ڤرسيس سڤرتي يڠ چالون كليان إڠينكن

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini