gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Saya melihat pepohonan seperti saling berkejaran dengan pohon lain dari balik jendela kaca kereta ekonomi yang melaju lurus mulus. Seperti sedang bermain kucing-kucingan.

Sore itu, matahari nampak hangat. Gagah menggantung pada sudut empat puluh lima derajat di langit. Para remaja dan bapak-bapak yang sedang mengasuh anaknya bersenda gurau menghabiskan sore hangat dengan duduk-duduk menghadap rel sambil sesekali anak kecilnya melambaikan tangan ke arah kami para penumpang kereta api.

Sementara saya, menghabiskan banyak waktu perjalanan dengan menatap telepon genggam. Membalas obrolan pesan dengan kakak perempuan saya. Dia menyuruh untuk bergegas pulang ke Purwokerto. Ya, ketika seseorang yang sedang bekerja merantau tiba-tiba mendadak dihubungi oleh keluarga agar segera cepat pulang, ada hal penting masalah keluarga.

Ayah masuk ICU. Kamu pulang sekarang.

Isi pesan kakak perempuan ketika saya sedang bekerja malam tadi, dan paginya saya bergegas ke bandara Hasanuddin. Sekitar pukul sepuluh pagi, saya sudah tiba di Soekarno–Hatta penerbangan sekitar dua jam dari Maros Sulawesi Selatan.

Dari bandara, perjalanan saya sambung bus menuju stasiun. Saya melanjutkan perjalanan dengan kereta api dari Stasiun Pasar Senen mengambil jadwal keberangkatan siang hari.

Kami saling membalas pesan dalam perjalanan. Menanyakan kabar Ayah, berharap kakak membalas perkembangan baik kondisinya walaupun dalam hati kecil saya sepertinya memburuk.

Ayah belum sadar Rel. Kamu sudah sampai mana?

Terakhir isi pesan kakak di telepon genggam, baru terbaca. Belum sempat membalas terpotong petugas kebersihan kereta mengambil sampah yang menggantung penuh dalam kantong plastik di depan saya. Ramah sekali petugas kereta api ini, jadi teringat dulu.

Saya pelanggan setia kereta api dan dulu tidak seperti ini. Bahkan untuk mendapatkan tempat duduk adalah hal yang mustahil. Saya pernah berdiri selama perjalanan dari Pasar Senen ke Purwokerto karena sesak penumpang. Tiket pun dulu jarang membeli, saya langsung bayar lima ribu rupiah pada kondektur yang mengecek penumpang.

Petugas kebersihan? Ada, tetapi para pengamen, mungkin pencopet dengan bermodal sapu ijuk, bertugas menyapu kolong dan lantai kemudian menyodorkan kantong plastik meminta bayaran dengan sedikit memaksa.

Saya melanjutkan membalas pesan kakak di telepon genggam. Mengabari kurang lebih setengah jam lagi saya tiba di stasiun. Menulis pesan padanya akan langsung menuju rumah sakit ketika sampai.

Sudah hampir sepuluh tahun saya tidak melihat Ayah. Terakhir adalah ketika ia menghadiri pernikahan kakak. Menjadi wali nikah. Setelah itu, kami benar-benar hidup sendiri-sendiri. Hanya sesekali bertanya di telepon genggam melalui pesan. Itu pun jika ada hari besar agama, seperti hari raya.

Kakak perempuan pun lebih dekat dengan keluarga dari kakak ipar. Dia lebih beruntung dari saya.

Ibu tidak pernah menjelaskan kepada kami kepergian Ayah ketika itu. Ayah pergi ketika anak-anaknya masih kecil. Masih membutuhkan figur seorang ayah. Itu mengapa kakak perempuan saya sangat membencinya. Ia tidak mendapatkan cinta pertamanya dari Ayah.

Apa yang terjadi dengan ibu dan ayah, ketika saya dan kakak bertanya, tidak pernah dijawab dengan jelas. Hingga saya dan kakak mengasumsikannya sendiri. Hanya mengira-ngira Ayah menikah lagi dengan perempuan lain.

Berbeda dengan kakak perempuan saya yang berasumsi ayah sosok jahat tidak bertanggungjawab terhadap keluarga, meninggalkan kami. Ayah bagi saya seperti sebuah rahasia besar, maksud kepergiannya adalah tujuan takdirnya. Keputusan terbaik sebagai kepala keluarga.

Saya percaya, sesuatu hal tampak terlihat buruk bagi manusia padahal itu belum tentu buruk tetapi adalah pengorbanan diri agar masa depan menjadi lebih baik. Manusia terlalu cepat menyimpulkan pada sesuatu yang tampak di depannya.

Ayah seorang visioner bagi saya. Saya yakin ayah mempunyai maksud baik untuk kami, tapi saya belum menemukan maksud itu. Belum menemukan maksud baik ayah untuk pergi dari kami. Ayah pun tidak pernah menjelaskannya tentang kepergiannya. Penjelasan mungkin hanya menambah runyam, karena ada hal-hal yang sulit dijelaskan. Penjelasannya hanya dengan pembuktian.

Jika ada doa yang dikabulkan, saya ingin satu doa saja. Jika sakit Ayah tidak bisa disembuhkan dan benar-benar pergi jauh yang sebenarnya, saya ingin ayah menjelaskan mengapa ia meninggalkan kami.

Kamar ICU rumah sakit dingin sekali. Saya melihat ayah terbaring dengan banyak selang menempel padanya. Suara monitor pendeteksi tanda vital berbunyi nyaring, bagi saya menambah kengerian kamar itu. 

Tidak terlalu banyak yang berubah dari wajah ayah. Ia tertidur, mulut dan hidungnya tertutup alat bantu pernapasan. Saya langsung duduk di sampingnya, berganti dengan kakak perempuan yang terlihat lelah. Kakak, saya suruh pulang untuk beristirahat.

Dokter menjelaskan kondisi Ayah. Ayah sudah tidak merespon dunia luar dan sekitarnya. Hanya ada sedikit aktifitas di otaknya. Dokter menyuruh saya untuk sering berbisik dekat telinga Ayah. Bercerita apa saja. Dalam hati saya, tidak disuruh pun saya akan selalu berbisik pada Ayah. Saya akan selalu bercerita apapun kenangan yang saya ingat bersama Ayah lalu kemudian hal penting yang akan saya tanyakan adalah alasan apa Ayah pergi dari kami.

Sudah cukup lama saya duduk di sampingnya, sampai saat ini pukul setengah dua malam kondisi Ayah masih sama dan saya pun masih berbicara hal yang sama pada ayah. Suara nafas Ayah terlihat berat, matanya sedikit terbuka melihat langit-langit kamar ICU. Saya ulangi pertanyaan yang sama perihal alasan Ayah pergi.

Saya mencoba beristirahat dengan menyandarkan punggung pada kursi yang saya duduki. Saya melihat ke langit-langi tepat pada arah pandangan Ayah. Barangkali ada sesuatu di sana. Cukup lelah hari ini, saya belum tertidur tetapi tidak bisa melelapkannya.

Saya punya masalah tidak bisa tidur lelap setiap malam dan sudah memeriksakannya pada dokter. Dokter menyuruh saya untuk Psikoterapi sebelum tambah memburuk. Ada indikasi saya terkena Psychotic disorders. Gangguan jiwa yang menyebabkan saya mengalami kesulitan untuk bisa terhubung dengan kenyataan. Lebih tepatnya membuat saya mengalami halusinasi dan delusi dalam melihat suatu peristiwa yang sebenarnya tidak terjadi.

Saya tidak ambil pusing pada apa yang saya alami. Sudah cukup banyak penderitaan yang saya hadapi selama hidup.  Jadi jika ada hal buruk lagi terjadi pada saya, saya yakin bisa melaluinya seperti yang sudah-sudah.

Ketika sedang asik menatap langit-langit kamar ICU rumah sakit dengan mengingat perjumpaan saya dengan dokter dan sarannya, saya mendengar suara Ayah walaupun lirih. Saya kira hanya perasaan saja, hanya ada di kepala saja.

Tidak, saya melihat jari kelingking ayah bergerak lambat. Pandangan saya alihkan pada wajah Ayah,  dan terlihat seperti ada gerakan pada mulutnya. Sontak saya berdiri menekan tombol bantuan untuk memanggil petugas medis tetapi tidak ada satu petugas medis yang menjawab.

Ketika saya beranjak hendak keluar mencari petugas medis, Ayah menatap saya. Memanggil untuk mendekatinya.

Saya mendekati Ayah mengurungkan niat ke luar kamar ICU rumah sakit kemudian mendekatkan telinga saya padanya. Ia berbisik terbata, lalu saya membuka alat bantu pernapasan yang menempel pada mulut dan hidung Ayah.

Baru perkataan Ayah sedikit jelas. Terdengar meminta maaf pada saya, pada kakak perempuan, dan paling besar meminta maaf pada ibu.

Bapak sedikit menceritakan Ibu, ia tidak bisa menemani Ibu ketika meninggal karena Ayah sedang berada di rumah sakit. Ia menanggung sakitnya sendiri.

Ayah menjelaskan bahwa sakit yang dideritanya bisa berbahaya untuk kami. Ia sering mendapat bisikan yang jelas sekali di telinganya. Bisikan-bisikan itu selalu ada dalam kehidupan Ayah. Ayah memutuskan pergi dari kami karena bisikan itu akan membahayakan Ibu dan anak-anaknya. Ketika kami kecil, Ayah mendapat bisikan untuk mencampur makan malam yang disediakan Ibu untuk keluarga dengan racun tikus. Ayah tidak menuruti bisikan itu tetapi bisikan itu justru lebih sering muncul.

Ayah menceritakan kepada kami dulu ketika tiba-tiba berhenti mengendarai mobil yang dinaiki satu keluarga di atas jembatan Sungai Serayu. Ayah mendapat bisikan untuk mengajak Ibu, kakak, dan saya melompat dari atas jembatan ke sungai. Ayah tidak menuruti, hanya menghentikan sejenak mobilnya. Ketika Ibu bertanya mengapa berhenti, Ayah hanya tersenyum lalu melajukan mobilnya kembali. Ayah selalu menolak bisikan itu, maka bisikan itu lebih sering didengar.

Ayah memutuskan pergi dari kami, untuk menyelamatkan kami sekeluarga. Ayah merawat sendiri sakitnya.

Cerita yang sedikit melegakan atas pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab Ayah. Sekaligus menambah kecemasan baru pada saya. Bisa jadi sakit yang saya derita selama ini menurun dari Ayah. Kalau memang seperti itu setidaknya peringatan bagi saya. Lagi pula saya masih hidup sendiri, dan saya akan tanggung sendiri. Tidak ada anak-anak yang perlu khawatir pada rahasia-rahasia yang tidak terjawab.

Pintu kamar ICU rumah sakit terbuka. Dokter dan beberapa perawat masuk melihat kondisi Ayah. Dilihat Ayah yang sudah tidak memakai alat bantu pernapasan. Kondisi ayah masih seperti siang tadi, tidak merespon dunia luar dan sekitarnya. Hanya ada sedikit aktifitas di otaknya.

Dokter bertanya kepada saya mengapa alat bantu pernapasan dilepas. Saya jelaskan, Ayah sudah siuman dan tadi sedikit berbicara walaupun lirih dan harus mendekatkan telinga pada mulut Ayah.

Kemudian dokter melihat catatan yang dipegang oleh perawat lalu kembali memeriksa Ayah. Setelah itu dokter berkata kepada saya.

“Bapak tidak merespon dunia luar dan sekitarnya. Hanya ada sedikit aktifitas di otaknya. Usahakan lebih sering berbisik dekat telinga Bapak. Bercerita apa saja.”

Dokter menepuk pundak saya untuk menguatkan. Saya melihat dokter dan perawat pergi dari kamar ICU rumah sakit sambil memberikan senyum.

***

ايه دان رهاسيا-هاسياڽ

ساي مليهت ڤڤوهونن سڤرتي ساليڠ بركجارن دڠن ڤوهون لاين داري باليك جندلا كاچ كرت اكونومي يڠ ملاجو لوروس مولوس. سڤرتي سدڠ برماين كوچيڠ-كوچيڠن

سور إتو، متهاري تمڤق هاڠت. ڬاڬه مڠڬنتوڠ ڤادا سودوت امڤت ڤولوه ليم دراجت د لاڠيت. ڤارا رماج دان باڤق-باڤق يڠ سدڠ مڠاسوه انككڽ برسندا ڬوراو مڠهابيسكن سور هاڠت دڠن دودوق-دودوق مڠهادڤ رل سمبيل سسكالي انق كچيلڽ ملمبايكن تاڠن ك اره كامي ڤارا ڤنومڤڠ كرت اڤي

سمنتارا ساي، مڠهابيسكن باڽق وكتو ڤرجلانن دڠن مناتڤ تلڤون ڬڠڬم. ممبالس اوبرولن ڤسن دڠن كاكق ڤرمڤوان ساي. ديا مڽوروه اونتوق برڬڬس ڤولڠ ك ڤورووكرتو. ي، كتيك سسئورڠ يڠ سدڠ بكرج مرنتاو تيب-تيب منداداق ديهوبوڠي اوله كلوارڬ اڬر سڬرا چڤت ڤولڠ، ادا هل ڤنتيڠ مساله كلوارڬ

ايه ماسوق رومه ساكيت. كامو ڤولڠ سكارڠ

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini