Riausastra.com – Malam itu hujan menderas. Burung punai mengelilingi cakrawala— mengisyaratkan akan ada petaka. Nik berlari seperti kijang betina dikejar harimau belang. Rimbun batang petalangan bewarna hitam pekat ia lalui dengan badan bergetar. Gadis dengan rambut sepinggang mayang itu tidak memedulikan duri-duri hutan mencucuk kakinya—hingga darah mengalir deras di telapak kaki serta kedua lengannya. di langit yang mulai hitam, Nik berusaha lari sekencang mungkin dari tawanan Balian. Nik bagai mata angin hilang tujuan, sepasang bola matanya yang cokelat dialir sungai kesedihan, kesedihan yang dibaluti rasa kecewa yang mendalam pada pakcik. Laki-laki setengah abad itu tega nian menjual anak kemenakan pada Balian–lelaki hidung belang, bermata keranjang.
Barangkali, jika lampau lalu Nik mengurung niatnya menjadi seorang penari tandak seudati, mungkin ia terselamatkan dari napsu bejat Balian. Sembari berlari kencang di tanah liat yang licin dan basah, langkah gadis berparas rupawan itu harus terhentikan ketika ia melewati rimpang akar, ia terjerambab ke dalam jebakan ayam hutan. Kakinya terkilir, ia merasakan sakit bukan main kepalang. Nik berusaha bangkit, namun terjatuh kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk bersembunyi dalam jebakan ayam hutan. Di hening malam mengiris tubuhnya, ia berdoa berharap seseorang membantunya. Keresak langkah kaki setapak demi setapak sayup terdengar di telinganya. Ketakutan semakin merasuki hati. Nik samar-samar mendengar suara sepatu dari balik daun-daun akasia yang sudah renyah. Ia mengendap diam. Berusaha untuk tidak menciptakan suara apa pun. Tubuhnya kaku bagaikan tongkah di laut berlumpur.
***
Sebagai anak pertama dari Hulu Balang—orang terkaya di Desa Betung, Kecamatan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Balian adalah pemuda kampung yang baru pulang dari merantau. Lebih dari lima belas tahun ia mencari peruntungan nasib ke kota dengan membuka usaha waralaba di Jakarta. Perangainya sudah amat jauh berbeda, yang dulunya santun, kini lebih buas dan arogan. Tepat akhir tahun ini ia pulang ke desa, dikarenakan desakan dari ayahnya untuk menghadiri upacara belian yang diselenggarakan tujuh hari tujuh malam tiap tahunan. Balian, laki-laki berperawakan jangkung itu sebenarnya tidak berniat menyaksikan pergelaran tarian
di kampungnya. Baginya, perempuan desa itu kampungan, norak, tidak tahu berdandan, apalagi tidak bisa memuaskan napsunya di ranjang seperti gadis-gadis kota yang sudah ia cicipi mahkotanya. Namun, pada malam yang diterangi rembulan itu, ketika ia menatap cerlang ke arah Nik, salah satu penari belia bertubuh menawan, berbibir sulam madu, dan tentu, kecantikan serta lenggoknya membuat gejolak hasratnya menggebu.
“Siapo budak betino du?” ia bertanya pada Rajib. Teman sekolah dasar ketika semasa sekolah dulu.
“Nik. Kombang desa. Pakciknyo nelayan di siko” jawab Rajib sekenya.
Balian mengangguk-angguk. Menandakan ada sesuatu hal yang ia rencanakan.
Di Sabtu malam, tepat malam kedua upacara belian dilangsungkan, Nik dan Balian bertemu kembali. Saat itu Balian diundang oleh ninik mamak sebagai saksi adat upacara. Sementara Nik sendiri ditugaskan sebagai penari hiburan. Mata Balian terkesima menyaksikan rentak tarian tandak berjumlah delapan orang pria dan wanita berpasang-pasangan dengan diiringi alat tradisional ambong. Namun, tatapan Balian tidak bisa mengelak dari Nik yang sudah merebut hati. Pada waktu Nik mendatangi para pemangku adat untuk memberi sirih pinang, tanpa berpikir panjang, Balian membalutkan selendang sampur ke leher Nik. Gadis itu ditatap nakal oleh Balian sembari menyentuh lengannya. Nik merasa risih dan pergi berlalu. Malangnya, tatapan kotor itu bukan terakhir dari Balian. Ia mencari akal untuk bisa kembali menemui Nik.
Beberapa hari kemudian, saat Nik bertelanjang kaki menuruni undakan tanah menuju anak sungai tempat di mana pakciknya sedang menjaring ikan, ia tidak menyangka berjumpa lagi dengan Balian—sosok laki-laki bermata parang. Bila ia tahu di tepi sungai ada Balian, mungkin ia tidak akan mengantarkan kopi untuk pakcik. Dan pada saat itu Balian menatap tajam ke arah Nik yang sedang berdiri. Ia memerhatikan lekuk tubuh gadis bertubuh bak salju di gurun sahara itu. Setelah meletakkan segelas kopi, Nik pamit dan pergi melewati jalan setapak yang dikelilingi hutan rimbun. Tanpa berbasa-basi, Balian langsung menyatakan keinginannya kepada pakcikuntuk meminang Nik dengan segala janji dan bual masygulnya. Pakcik bagaikan hendak menangguk ikan tertangguk batang ia langsung mengiyakan kehendak Balian. Tentunya ia sudah membayangkan hidup nikmat bergelimang harta warisan tak habis tujuh turunan. Tak payah menakik getah apalagi menjaring ikan yang tak punya bilik masa depan, pikirnya.
“Bawa ayahmu ke rumah, segera pinang Nik!” mendengar jawaban tersebut, Balian seketika semringah, bak mendapat durian runtuh, ia mengebu-gebu untuk segera mengejar Nik ke rumah panggung berbentuk palapuan itu.
“Nik!” pekik Balian memanggil Nik yang tengah memegang jeriken untuk mengambil air di sungai. Mendengar teriakan itu, ia buru-buru membereskan tugasnya dengan cepat melangkah masuk ke rumah berdinding kayu rumbia. Seolah tertantang, Balian mengejar Nik penuh perkasa.
“Kenapo engkau begitu angkuh sekali?” Nik menampik tangan Balian yang menyentuh pipinya. Balian semakin merajalela, ia mencoba mencengkeram dan berusaha mencumbu Nik di tengah suasana rumah sepi. Nik mengelak dan menendang selangkangan Balian. Laki-laki itu menjerit kesakitan.
Matahari baru tenggelam, deru angin lebih kencang dari biasanya, pohon- pohon palem di seberang sungai bergemuruh, pakcik masuk dari pintu belakang, ia baru pulang dari mengail ikan. Tubuhnya menguarkan aroma keringat. Pakcik berdehem tampak di wajahnya sedang tidak baik-baik saja.
“Kau hanya pandai buat malu saja!” ketus pakcik dengan wajah menyala bagai bara. Nik diam bersandar di dinding rumahnya, pelan sekali ia menyambung bicara. “dia hampir menodaiku, pakcik!” jawab Nik dengan mata berkaca-kaca.
“Kau bohong, tidak mungkin seorang anak hulu balang melakukan perbuatan bejat seperti itu!” sanggah Pakcik. Nik mencoba melanjutkan dengan nada gemetar, “tapi, Pakcik…”
Seketika itu pula pakcik membelakanginya. Ia tidak berkenan mendengar sanggahan apa pun dari mulut Nik. Buru-buru ia menyalakan rokok tembakau. Menatap Nik dengan parau. Lalu berkata, “Ahad pagi kau di rumah saja, keluarga Balian akan tandang ke rumah, meminang kau segera.”
Bagaikan disambar petir, ucapan pakcik membuat tubuh Nik semakin getir. Ia tidak bisa menjawab apa pun selain menangis di sudut pintu ruang tengah— meratapi nasib yang kian memar. Sepeninggalan almarhum apak dan umaknya tujuh tahun silam lalu, Nik hanya tinggal sebatang kara di pondok tua. Lalu pakciknya, saudara laki-laki dari ayahnya merasa hiba hingga mengasuh dan membesarkannya. Bertahun-tahun ia diberi makan dan tempat tinggal, sehingga ia harus menelan pil pahit, ia merasa tak berdaulat atas tubuh dan perasaannya yang
sudah banyak termakan budi—membangkang sama hal membuat laki-laki paruh abad itu tersakiti.
***
Hampir sore bertandang Nik menghilang, sementara di dalam rumah atap
limas potong itu orang-orang sudah berdatangan. Acara merisik akan segera ditunaikan. Tidak ada yang tahu ke mana Nik sejak pagi tadi, ia seakan ditelan bumi. Pemuka adat kampung dan Hulu Balang bertanya-tanya, ke mana Nik? Apa yang terjadi? Namun tidak ada yang mampu menemukan jawaban, sungguh api di kepala pakcik menjahanam.
Hujan menderas. Sebagian orang pulang, sebagian lagi menunggu. Orang- orang yang berada di rumah mengusir bosan dengan menyalakan rokok, asapnya menari di atas udara yang basah. Di lain tempat, Nik menerambas hutan akasia yang lebat nan gelap. Sebagian tubuhnya telah kuyup dengan gigil yang terus mengatup. Ia mempercepat langkah, sementara seorang laki-laki bertubuh tegap ikut mendampinginya. Ia adalah Nirwan, kekasih yang sudah lama dipacari Nik. Mereka saling mencintai hingga memutuskan untuk pergi dari Desa Betung. Meskipun keduanya tahu, malapetaka akan segera merundung. Mereka saling bergenggaman tangan berlari bagaikan kijang. Dalam anggapannya, kalau tidak bergegas, mereka akan nahas. Dan betul, seketika dari arah depan seorang lelaki bertubuh kekar menghantam wajahnya, memukul tengkuk dan pinggang Nirwan. Kepalanya terasa berputar-putar—hanya teriakan Nik yang ia dengar. Tangan dan kaki diikat, pergelangan tangannya dicengkeram oleh dua orang dari kawanan. Matanya memerah, tubuhnya melawan, tetapi tak bisa lepas dari cengkeraman. Nirwan akhirnya pingsan.
Sementara Nik sekuat tenaga melarikan diri. Taring giginya yang tajam mengigit lengan salah satu anak buah Balian hingga ia berhasil lari ke hutan. Namun malang, ketika ia masuk terjerambab ke dalam jebakan ayam hutan. Kakinya terkilir ia menangis sesenggukan merasakan sakit bukan main kepalang, ketika itu juga Nik samar-samar mendengar kresek tapak sepatu, ketika ia mendongak ke arah atas, seorang laki-laki tersenyum licik kepadanya. Tidak disangka secepat itu Balian menemukannya. Ia tersenyum puas melihat Nik ketakutan. Meraba dagu Nik. Dan lalu, pelan-pelan ia membalutkan selendang sampur ke leher Nik bagai seorang bujang membelai kekasihnya. Pelan dan amat pelan hingga gadis berkalung perada itu tercekik dan mendelik.
—
Catatan Kaki: Cerita ini diangkat dari kisah nyata tentang seorang perempuan Suku Melayu Petalangan yang mati mengenaskan di hutan adat Sialang, Desa Betung, Kabupaten Pelalawan. Ihwal cerita arwah gadis itu menjadi mambang yang menakutkan di Kampung Petalangan.
- Belian: sistem ritual atau upacara, yaitu sebagai wujud manusia melakukan aktivitas pembaktian diri kepada Tuhan
- Tarian Tandak Seudati merupakan tarian yang ditarikan oleh pria dan juga wanita. tarian yang dilakukan pada malam hari dengan iringan musik tradisional.
- Palapuan: ruang belakang
- Apak & amak : ibu dan ayah
***
نيك ممبڠ تالڠ
مالم إتو هوجن مندرس. بوروڠ ڤوناي مڠليليڠي چكروالا – مڠيشارتكن اكن ادا ڤتاك. نيك برلاري سڤرتي كيجڠ بتين ديكجر هاريماو بلڠ. ريمبون باتڠ ڤتلاڠن بورن هيتم ڤكت إي لالوي دڠن بادن برڬتر. ڬاديس دڠن رمبوت سڤيڠڬڠ مايڠ إتو تيدق ممدوليكن دوري-دوري هوتن منچوچوق كاكيڽ- هيڠڬ داره مڠالير درس د تلاڤق كاكي سرت كدوا لڠنڽ. د لاڠيت يڠ مولاي هيتم، نيك بروساه لاري سكنچڠ موڠكين داري توانن باليان. نيك باڬاي مات اڠين هيلڠ توجوان، سڤاسڠ بولا متاڽ يڠ چوكلت ديالير سوڠاي كسديهن، كسديهن يڠ ديبالوتي راس كچوا يڠ مندالم ڤادا ڤق چيك. لاكي-لاكي ستڠه ابد إتو تڬ نيان منجوال انق كمناكن ڤادا باليان – للاكي هيدوڠ بلڠ، برمات كرنجڠ
برڠكالي، جيك لمڤاو لالو نيك مڠوروڠ نياتڽ منجادي سئورڠ ڤناري تندق سوداتي، موڠكين إي ترسلامتكن داري نڤسو بجت باليان. سمباري برلاري كنچڠ د تانه ليات يڠ ليچين دان باسه، لڠكه ڬاديس برڤارس روڤاون إتو هاروس ترهنتيكن كتيك إي ملواتي ريمڤڠ اكر، إي ترجرمبب ك دالم جباكن ايم هوتن. د هنيڠ مالم مڠيريس توبوهڽ، إي بردوع برهارڤ سسئورڠ ممبنتوڽ. كرسق لڠكه كاكي ستاڤق دمي ستاڤق سايوڤ تردڠر سوارا سڤاتو داري باليك داون-داون اكاسيا يڠ سوده رڽه. إي مڠندڤ ديام. بروساه اونتوق تيدق منچيڤتاكن سوارا اڤاڤون. توبوهڽ كاكو باڬايكن توڠكه د لاوت برلومڤور