Riausastra.com – Subuh yang begitu indah membuat pikiran dan hati tenang. Tidak ada lagi kekacauan atau amukan dari garangnya ombak yang menerjang. Malam itu menjadi saksi atas purnama yang tak lagi bernama. Atas kisah yang tak lagi sama. Atas aku dan kamu yang tak lagi serarah. Atas kita dan kamu yang tak lagi serumah.
Pagi ini dengan ditemani secangkir kopi aku duduk di persimpangan yang tak pasti. Antara berhenti ataukah melanjutkan kembali. Tentang kisah yang sudah usai. Serupa di episode-episode sebelumnya, kali ini tidak ada satupun orang yang bisa dijadikan tempat singgah untuk hati yang sedang gelisah. Hanya secangkir kopi dan puisi yang mampu memahami.
Kembali aku buka pesan dari WhatsApp dan juga instagram siapa tau ada notifikasi event menulis puisi. Mungkin dengan mengkuti event tersebut bisa memberiku waktu untuk bisa menumpahkan segala resahku. Gayung pun bersambut. Ternyata ada event menulis puisi di Riausastra bertema tentang Kota Siak. Sebuah tantangan untukku karena aku bukan asli orang sana. Aku hanya wanita yang menumpang hidup dari segelintir kota yang ada di negeri sebrang.
Untuk bahan menulis puisi, setidaknya harus tau betul tentang sejarah, pariwisata, dan budaya dari kota Siak. Selain mencari informasi dari google aku juga bertanya kepada sahabat penaku, yang kebetulan orang Siak. Dia bilang, kalau destinasi wisata Kota Siak amatlah cocok untuk menenggelamkan segela beban, gundah, dan gelisah. Dengan saran dari sahabatku, aku pun berpelesir ke sana. Berharap, akan ada harapan baru yang tumbuh. Memenuhi altar hidupku.
***
Keesokan harinya, aku pun sampai di Kota Siak. Kota yang terkenal dengan banyak tasik atau danau tersebar di beberapa wilayah kecamatannya. Sesampai disana, Salah satu tempat yang aku kunjungi untuk pertama kalinya adalah Istana Siak Inderapura. Saat kaki mulai menapak, aku sangat terkesima dengan warna putih menyelimuti setiap dindingnya yang kekar, luas, dan megah dengan rumput hijau terhampar bertabur bunga.
Tempat yang kedua yang menjadi sasaranku adalah Tepi Bandar Sungai Jantan dan Taman Air Mancur Mahratu. Tempat yang menjadi icon wisata terpopuler di sosial media. Destinasi wisata yang selalu ramai dikunjungi orang kala lembayung senja memayungi kota Siak. Suasana damai dan harmonis mengawin apik membuat hati semakin tergelitik.
Kala air mancur Mahratu menari memukau mata, aku melihat harapan baru di sana. Ada banyak warna pelangi ikut serta mengiringi di setiap tariannya. Dengan tertegun aku menikmati setiap permainan airnya hingga tak kusadari jika ada seseorang yang memperhatikanku sedari tadi.
“Hai…boleh aku duduk di sini?” Sapa lelaki itu.
“Hai…ternyata kamu, Dion? Kenapa kemarin bilang kalau kamu tidak bisa menemaniku?” Jawabku kaget.
“Hahahaha…surprise. Bagaimana kabarmu beserta keluarga? Sehat semua?”
“Alhamdulillah….baik.” jawabku singkat.
“Kamu bohong, Dita. Aku melihat ada segumpal nanah di hati dan di pangakal ubun-ubunmu. Matamu yang tak lagi biru, menyimpan nanar. Sungguh tak lagi berbinar.”
Sekejap suasana hening, Dita menunduk. Bola matanya meloncat ke pelataran membentuk anak-anak sungai di pipinya. Sementara jantungnya berdegup kencang karena tak sanggup lagi menahan pilu. Daun-daun harapan luruh jatuh bersimpuh di antara kerontangnya hati. “Hhhh…kumbang yang dulu memberiku secawan madu, kini hinggap di kembang yang lain. Kesetiannya digerogoti ranumnya bibir si kembang merah, yang jauh lebih memesona. Kemungkinan dia lapar karena sekujur tubuhku tak lagi menggelegar.” Jawabku sesenggukan.”
“Bagiku kau tetap sama. Dita yang aku kenal sebagai dara cantik dari Negeri seberang. Dengan keadaanmu yang sekarang berekor dua, kamu masih terlihat menawan di mataku dan juga orang-orang. Banyak sekali pawang buaya yang ingin memangsamu. Tapi engkau menampiknya.”
“Itu menurutmu, belum tentu menurutnya.” Jawabku singkat.
“Sudahlah, lupakan masalahmu. Intinya kamu harus kuat karena disini kamu adalah seorang nakhoda dari awak-awak kapal. Awak-awak kapal itu masih membutuhkanmu untuk sampai di pelabuhan biru. Apa kamu tidka ingin, melihat kedua peri kecilmu tumbuh dewasa?”
Seketikan mendung mengepung langit. Hujan turun begitu derasnya. Lampu-lampu taman meredup. Angin malam kian kencang maniup. Hanya sebidang dada yang masih lapang dan tegak yang mampu menopang tubuhku.
“Jangan kau seka. Turunkanlah semua air hujan yang membendung lorong-lorong hatimu. Dada dan pundakku siap menjadi sandaranmu. Bahkan pelabuhan terakhirmu.”
Tanpa sadar, aku menelusupkan kepalaku di tengah dada Dion. Ada ketenangan di sana. Ada rasa debar yang aku temukan. Entah apa ini. Apa hanya terbawa arus suasana ataukah perasaan yang dulu sempat mampir selama tiga bulan lamanya. Yang jelas aku tak tahu, rasa apa ini.
Malam sudah larut, Dion mengantarku ke penginapan dengan menggunakan sepeda motornya. Kita berdua amat menikmati setiap detak detik suasana malam yang indah dengan gemerlap lampu kota.
****
Genggamlah tanganku, bersamaku kau kan menentukan arah, bersama diriku yang kan slalu menjaga dirimu.
Nyanyian itu terus bersenandung sedari tadi. Entah sudah berapa kali dia bernyanyi. Tak ada letihnya. Yang aku dengar hampir sepuluh kali. Namun masih belum aku jawab. Aku masih ingin memanjakan diri dengan lulur susu yang sudah kubeli di pagi tadi. Harum dan lembutnya, aih menentramkan hati. Ditambah lagi dengan lilin-lilin aromaterapi yang sudah disiapkan oleh pelayan hotel.
Pelayanan yang disuguhkan di hotel Grand Mempura memang sangat memuaskan. Mereka semua menyiapkan sedemikian rupa sesuai keinginan dari pelanggan. Sudah satu jam lebih aku menikmati sensasi dari suasana ini. Membuat pikiranku jauh lebih tenang dan rileks. Segera aku bergegas keluar dan mengambil handphone kesayanganku.
Waoooowwww….ada notif 10 panggilan tidak terjawab. 7 pesan dari Dion dan 50 pesan dari teman dan grup WhatsApp. Untuk pertama kali, aku buka pesan dari Dion. Isinya dia ingin mengajakku ke Jembatan Tengku Agung Syaifah Latifah. Katanya dia ingin mengenalkanku seorang wanita yang amat dia cintai sejak setahun lalu. Di tempat itu, dia akan melamarnya untuk menjadi pendampingnya.
Mataku langsung membaca pesan WhatsApp dari Dion. Ada slavia yang sulit aku telan di ujung sana. Ada sekelebat kesedihan yang mendalam di sana. Allah, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak rela begini? Apa semua ini? Apa aku cemburu dengan kebahagiaan, Dion? Pertanyaan demi pertanyan menyembul dari pikiran dan hatiku. “Dion, apa aku salah dengan semua ini? Kamu lelaki yang amat baik di mataku. Selalu ada saat aku senang atau pun sedih. Hhhhhhh….aku tidak boleh begini. Dia sahabatku. Dia pantas bahagia dengan wanita yang dicintainya.”
“Tok tok tok” suara terdengar dari balik pintu.
“Ya, sebentar.” Jawabku sambil berjalan menuju pintu untuk membukanya. “Ya, ada yang bisa saya bantu, mbak?” Tanyaku.
“Tidak, mbak. Saya hanya ingin memberikan ini.” Pelayan itu mengulurkan tangganya dengan membawa sekotak paket berwarna pink.
“Terima kasih, mbak”. Serumpun kata heran mulai mengelilingi benakku. Ini paket dari siapa? Perasaan, aku tidak memesannya. Ahh….usahlah dipikir. Nggak penting juga dari siapa. Mungkin aku dapat undian dari hotel ini. Hahahaha…kataku terkekeh.
Dengan gercepnya aku buka kotak itu, ada sepucuk surat berisi tulisan
Aku tunggu kamu jam 7 malam di Jembatan Tengku Agung Syaifah Latifah. Jangan sampai nggak dateng. Karena aku orangnya nggak sombong dan baik hati, aku belikan gaun khusus untukmu. Sekalian aku juga udah siapin tim make over serta taksi online yang akan mengantarkanmu ke sini.
Haaahhhhhh…sontak aku kaget, jadi ini kelakuan si Dion. Tumben sekali baik banget sama aku. Sampai-sampai dia ngelakuin semua ini. Apa calon Dion anak orang kaya, ya? Hemmmm….maybe.
Tim make over sudah datang, aku yang sedari tadi sudah menunggu H2C, harap-harap cemas karena sedikit terlambat mereka datang. Dalam waktu satu jam, mereka menyulapku bak Cinderella. Lama sekali tidak merias diri seperti ini. Sehari-hari di rumah, hanya pakaian daster yang aku kenakan. Penampilan kucel dengan rambut berantakan dan awut-awutan. Mungkinkah karena kebiasaanku yang seperti ini hingga Ramdhan memilih bunga yang lebih wangi, segar, dan ayu.
“Waahhhh….mbak cantik sekali. Pasti nanti cowoknya langsung terpana melihat kecantikan mbak. Gaunnya juga cocok.” Ucap kedua make over itu.
“Terima kasih, mbak” seulas senyum auto mengembang di bibirku.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 malam. Taksi online pun sudah menunggu di bawah. Aku pun bergegas menuju ke tempat yang sudah dikatakan Dion tadi.
****
“Wauuuuwww….kamu cantik sekali, Dit. Mata mantan suamimu terlalu rabun melihatmu. Wanita secantik dan sesempurna sepertimu, tak pantas disakiti. Namun pantas untuk bestari.” Pujian Dion langsung menyambar telingaku.
“Kamu ini bisa saja. Dimana calonmu? Pasti dia cantik. Ya, kan? Mungkin jauh lebih cantik dariku. Heemm….”
“Mengapa kamu mencarinya? Bukankah cewek itu sudah ada di depan mataku? Dia memakai gaun pendek berwarna pink dengan rambut panjang bergelombang. Dia tidak tinggi, namun mampu memikat hati. Dia cantik, membuat hatiku tergelitik. Dia seorang single mom namun menjadi number one. Dia sahabat penaku yang akan jadi istriku.”
Dengan wajah bingung sedikit kaget, aku tersipu. Urat-utat pipiku merona seketika. Bibirku terkatup. Kawah candradimuka memuntahkan cairan panas dingin. Degup jantung kembang kempis. Allah, rencana apa yang telah Engkau siapkan untukku?
“Dita, mau kah kamu menjadi siang dan malamku? Mengisi detik-detik di setiap perputaran waktu dan melanjutkan apa yang akan berjalan pada alam untuk kehidupan kita mendatang. Merangkailah puzzle kehidupan bersamaku. Aku berjanji, akan meletakkan kebahagiaanku di atas kebahagiaanmu.” Kata Dion sembari memegang tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku.
“Aku mengenalmu baru kemarin subuh lewat setetes embun yang bergelantung di ujung daun. Lalu tiba-tiba kau berambisi menjadi hujan di saat kemarau panjang. Apakah kamu mampu menjadi hujan dan menciptakan pelangi di altar mimpi yang membentang panjang?”
“Tentu. Di Jembatan Tengku Agung Syaifah Latifah ini, aku bersumpah akan menjadi hujan di saat kemarau panjang. Akan menjadi pelangi saat musim hujan dan kemarau datang. Aku akan menjadi jembatan untukmu menyeberang. Untuk bingkai-bingkai di kehidupan kini, esok, dan nanti.”
“Baiklah, aku bentangkan sayap cintaku di Jembatan Agung Syaifah Latifah agar kelak perjalan cinta kita lancar samapai hari H.”
****
Akhirnya cerita cinta mereka terikrar di Jembatan Tengku Agung Syaifah Latifah. Sebuah jembatan masa depan yang akan menghantarkan ke puncak kebahagiaan.