Riausastra.com – Batik merupakan kekayaan budaya warisan leluhur yang memiliki nilai estetis. Hal ini sejalan dengan ungkapan Wahyuningsih, dkk. (2014:1) bahwa batik adalah warisan adiluhung bagi Bangsa Indonesia yang mendunia dengan adanya perpaduan antara seni dan teknologi bernilai tinggi dari para leluhur. Nilai estetis yang terdapat dalam batik diciptakan dengan melihat berbagai corak alam yang rumit dan halus, lalu dituangkan ke dalam ragam hias dengan menggunakan canting. Akibat keunikan, nilai-nilai simbolis yang dikandungnya, serta cara pembuatannya yang khusus, maka batik diakui secara resmi sebagai World Herritage oleh UNESCO pada tahun 2009 (Wardoyo, 2019:3).
Latar Belakang
Menyingkap sejarah batik pada masa lampau, corak pakaian ini telah dipakai dalam lingkungan keraton. Pada zaman Kerajaan Majapahit, Patih Gajah Mada selalu menggunakan kain batik pada saat berperang dengan motif gringsing menyerupai baju besi (Parmono, 1995:29). Corak yang tergambar di dalam batik merupakan hasil imajinatif dan duplikasi dari alam. Berawal dari Jawa, batik berkembang menjadi pakaian khas Bangsa Indonesia yang banyak diminati oleh masyarakat. Secara umum, media batik adalah pakaian. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, batik telah merambah ke dalam berbagai media, seperti: sampul buku, wallpaper rumah dan kantor, desain arsitekstur, bahkan menjadi ciri khas sebuah maskapai penerbangan, yaitu Batik Air.
Melihat pesatnya perkembangan batik yang didukung dengan minat masyarakat Indonesia dalam menjadikan batik sebagai bagian dari keseharian, maka batik layak dijadikan sebagai simbol kebanggan Indonesia. Hal ini didasarkan pada keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa ini, seperti: agama, suku, bahasa, ras, serta latar belakang kehidupan. Keberagaman menjadi sebuah anugerah ketika disikapi dengan rasa toleransi. Isu keberagaman akan menjadi isu sensitif apabila dijadikan sebagai cara untuk memecah belah persatuan. Oleh karena itu, batik bisa dijadikan sarana untuk menyatukan keberagaman. Dengan memakai batik, maka akan timbul rasa cinta dan rasa memiliki bangsa ini.
Tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan peran batik sebagai sarana pemersatu keberagaman untuk Indonesia maju. Adapun metode penelitian yang dilakukan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi pustaka. Untuk memperkaya tulisan ini beberapa tulisan terdahulu dijadikan sebagai rujukan karena dianggap relevan dengan tulisan ini.
Tulisan berjudul “Bentuk, Makna, dan Fungsi Seni Kerajinan Batik Cirebon” karya Wuri Handayani dan telah terbit dalam Jurnal Atrat volume 6 nomor 1. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang memberikan pengaruh pada penciptaan dan perkembangan batik Cirebon (perubahan bentuk, fungsi, dan makna). Penulisan ini menggunakan pendekatan estetis. Adapun hasil penelitian berupa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan batik Cirebon: (1) faktor internal karena kreativitas perajin; (2) faktor eksternal karena adanya peran pemerintah, lembaga budaya dan pariwisata, masyarakat, teknologi dan informasi; (3) Batik Cirebon sebagai refeksi nilai-nilai budaya, nilai ekonomis, dan nilai sosial.
Tulisan berikutnya yang relevan adalah “Simbolisme Batik Tradisional” karya Karlini Parmono (1995) yang telah terbit dalam Jurnal Filsafat nomor 23. Tujuan penulisan ini untuk mengungkap nilai-nilai keindahan makna yang terkandung di dalam motif-motif batik. Hasil temuan dalam tulisan ini sebagai berikut: (1) motif batik teradisional diciptakan oleh leluhur dengan pesan moral agar hidup selalu berada dalam arah kebaikan dan kesejahteraan sesuai dengan falsafah hidup; (2) fungsi batik tradisional untuk kesehatan, adat, sosial, dan kenegaraan; (3) makna simboliknya merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang tidak lekang oleh panas dan tidak luntur oleh hujan; (4) motif batik mencerminkan adanya tatanan normatif di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, tulisan berjudul “Makna Simbolis Batik pada Masyarakat Jawa Kuna” karya Siti Maziyah, Mahirta, dan Sumijati Atmosudiro (2016) dan telah terbit di Jurnal Paramita volume 26. Nomor 1. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis makna simbolis batik pada masyarakat Jawa Kuna. Metode penelitian dilakukan dengan metode sejarah dengan studi lapangan. Hasil penelitian berupa: adanya makna dalam batik Jawa Kuna untuk sarana komunikasi bagi masyarakat sezaman.
Didasarkan pada latar belakang di atas, maka akan diuraikan beberapa hal berikut untuk mendeskripsikan peran Batik dalam merajut persatuan dalam keberagaman untuk Indonesia maju. Hal-hal yang dimaksud adalah: batik merajut persatuan dalam keberagaman untuk Indonesia maju, batik wujud literasi, dan batik simbol kebanggan Indonesia.
Pembahasan
Batik sebagai pakaian kebanggaan di negeri ini diabadikan dalam sebuah peringatan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober. Peringatan ini didasarkan pada keputusan UNESCO yang menetapkan batik Indonesia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (www.tribunnews.com). Penetapan ini merupakan sebuah upaya untuk menjaga kelestarian batik dan nilai-nilai yang dikandungnya.
Batik Merajut Persatuan dalam Keberagaman untuk Indonesia Maju
Batik memiliki kandungan nilai luhur berupa sarana untuk merajut persatuan di tengah keberagaman yang dimiliki oleh bangsa ini. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian batik telah digunakan di berbagai tempat berupa perkantoraan, lembaga pendidikan, di ruang-ruang perkumpulan, di rumah, di pasar, di lokasi perayaan dan pesta, dan lain-lain. Batik telah menjadi bagian dari kehidupan. Selain bahannya yang nyaman untuk dijadikan sebagai pakaian, coraknya yang indah menambah nilai estetis sehingga menciptakan rasa nyaman dan percaya diri.
Selain itu, batik juga digunakan oleh seluruh kalangan mulai dari ibu rumah tangga, anak sekolah, pegawai, pedagang, pengusaha, hingga pejabat publik. Demikian halnya dengan pengguna batik bisa dari suku, agama, bahkan ras apa saja. Misalnya di sekolah-sekolah internasional, batik sudah dijadikan sebagai seragam sekolah. Satu hal yang unik adalah, setiap daerah memiliki corak atau motif batik masing-masing. Meskipun di setiap tempat terdapat corak yang berbeda-beda, namun konvensi masyarakat sepakat bahwa penamaan terhadap corak tersebut disebut dengan batik.
Dengan demikian, batik telah merambah dan menyentuh seluruh elemen di negeri ini. Meskipun pada awalnya batik merupakan produk masyarakat Jawa, namun seiring berjalannya waktu, berdasarkan konvensi bersama, suku Minang, suku Asmat, Suku Anak Dalam, dan lain-lain, semua bisa menggunakan batik, kapan pun, dan dimana pun. Demikian juga perbedaan agama dan ras di dalam negeri ini telah sepakat menjadikan batik sebagai pakaian yang memberikan simbol kebersamaan, persatuan, dan keharmonisan. Dengan kata lain, batik telah menyatukan perbedaan dalam keberagaman. Setelah terciptanya persatuan, maka akan terwujud Indonesia maju.
Batik Wujud Literasi
Batik memiliki wujud sebagai literasi. Hal ini didasarkan pada keterkaitan yang erat antara batik dengan literasi. Literasi di era industri 4.0 terbagi atas enam, yaitu: literasi baca tulis, literasi numerial, literasi finansial, literasi digital, literasi sains, dan literasi budaya dan kewargaan.
- Batik Sebagai Literasi Baca Tulis
Pada literasi baca tulis, setiap orang yang ingin mengenal batik dan nilai-nilai seni di dalamnya, maka selayaknya harus menguasai baca tulis. untuk mendesain batik, maka terlebih dahulu dibutuhkan kemampuan membaca yang ada di alam, lalu menuliskannya ke dalam media. Dengan baca tulis, segala kebaikan yang terdapat dalam batik bisa dijadikan sebagai bahan bacaan dan tulisan. Dengan tulis baca, informasi yang terdapat dalam batik akan sampai kepada pembaca dan dengan informasi tersebut, pembaca bisa mengambil pesan moral yang dikandungnya. Misalnya batik Jawa Tengah dengan motif pola truntum, gompol, nagasari, gringging, semen nama, pola nitik, cakar ayam, dan lain-lain banyak digunakan dalam kegiatan upacara perkawinan karena motif tersebut menyimbolkan kesuburan bagi pasangan pengantin baru (Wahyuningsih, dkk., 2014:6).
- Batik Sebagai Literasi Numerasi
Literasi numerasi pada batik dapat dilihat pada motif batik dengan menggunakan angka. Motif batik dengan angka delapan telah berhasil didesain oleh seorang siswa SMA Negeri 1Wates, Kulonprogo bernama Ales Candra Wibawa. Remaja ini menjadikan motif batik dengan angka delapan karena angka delapan melambangkan jumlah desa dan kelurahan di Kulonprogo. Selain itu, makanan khas Kulonprogo yang merakyat disebut dengan geblek. Bentuk makanan yang terbuat dari ubi ini menyerupai angka delapan yang bermakna saling bahu membahu (www.inibaru.id). Dengan melihat pengalaman remaja di atas, maka peran numerasi dalam batik sangat penting. Pengalaman remaja ini bisa menjadi contoh yang harus diapresiasi agar ditiru oleh generasi muda lainnya.
- Batik Sebagai Literasi Digital
Literasi digital dalam batik memiliki peran besar dalam upaya memasarkan batik sebagai produk lokal yang memiliki nilai jual, kualitas, bahkan telah dikenal dunia. Untuk menjaga kelestarian batik, maka peran literasi digital sangat penting. Batik yang terbuat dari berbagai motif dan maknanya bisa dipamerkan melalui media sosial. Bahkan, pembaca atau calon pembeli bisa mengetahui spesifikasi batik yang dipamerkan tanpa harus berada di satu tempat yang sama. Selain itu, calon pembeli bisa meninggalkan jejak komentar untuk menggali informasi tentang batik yang dipamerkan di media sosial tersebut. Selain itu, foto-foto para pengguna batik dapat diakses melalui media digital. Keberadaan foto-foto para pengguna batik tersebut bisa sekaligus menjadi sarana untuk tetap mengkampanyekan batik.
- Batik Sebagai Literasi Sains
Literasi sains memiliki peran penting dalam pembuatan batik. Pada masa lampau, perajin batik harus memiliki kemampuan memindahkan corak alam ke media tulis untuk dijadikan sebagai motif batik. Akan tetapi, dengan perkembangan teknologi dan informasi, sains telah banyak memberikan peluang untuk perajin batik agar menggunakan media cetak dan media digital sebagai panduan untuk belajar membuat batik. Dengan melihat contoh-contoh batik yang terdapat di media, maka penggunaan warna dan inspirasi corak baru akan mudah dilakukan. Apalagi di era pandemi seperti sekarang ini, kelas-kelas diskusi tentang batik bisa diikuti secara gratis melalui ruang virtual.
- Batik Sebagai Literasi Finansial
Literasi finansial memegang peranan penting dalam pelestarian batik. Batik telah sampai ke seluruh elemen kehidupan masyarakat Indonesia tanpa mengenal ruang, waktu, dan status sosial. Hal ini menunjukkan bahwa batik bisa dimiliki oleh seluruh kalangan. Harga didasarkan pada kualitas batik. Semakin bagus kualitasnya, maka harganya juga semakin tinggi. Dengan demikian, produk lokal batik bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan masyarakat karena batik digunakan masyarakat dalam berbagai kegiatan dan suasana.
- Batik Sebagai Literasi Budaya dan Kewargaan
Literasi budaya dan kewargaan menjadi simbol yang terdapat di dalam batik. Misalnya batik Tabir yang memiliki corak dan warna khas Melayu Riau. Batik Tabir bertema tumbuhan seperti: cempaka, bunga bintang, sosou, dan kenduduk (Kasih, 2017:6). Di balik motif batik ini tersirat kehidupan sosial budaya dan kewargaan masyarakat Riau yang menjunjung tinggi adat dan agama. Hal ini tercermin dari prinsip hidup masyarakat Melayu Riau bahwa “hidup bersanding syariat, syariat bersanding Kitabullah”.
Batik Simbol Kebanggan Indonesia
Batik menjadi simbol kebanggaan Indonesia. Dari suku manapun, dari agama apapun, dan dari ras serta status sosial apapun, batik menjadi sarana pemersatu bangsa. Dengan memakai batik, seluruh sekat dan batas perbedaan bisa disamarkan. Bahkan, dengan menggunakan batik, setiap orang merasa bahwa ada kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi persatuan untuk terwujudnya Indonesia maju.
Kebanggaan menjadi bagian dari Bangsa Indonesia dapat dilihat dari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dengan memperlihatkan rasa cinta, kesetiaan, dan kepedulian terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dengan memakai batik akan tercermin rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia. Setelah tumbuhnya rasa cinta, maka akan lahir rasa kepedulian yang ditunjukkan dengan sikap untuk tetap menjadikan batik sebagai pakaian kebanggaan. Untuk menjaga kesetiaan terhadap bangsa, maka corak batik yang berasal dari alam Indonesia yang kaya dan subur jangan sampai digantikan dengan corak asing yang bertemakan budaya luar. Jika hal ini terjadi, maka ini merupakan satu ancaman yang serius bagi pelestarian batik sebagai simbol persatuan dalam keberagaman.
Kesimpulan
Batik mengandung nilai estetis yang bisa menjadi sarana untuk menyatukan perbedaan. Perkembangan batik dari masa ke masa menjadi sebuah prestasi bagi bangsa ini untuk tetap mempertahankan khazanah budaya hingga ke kancah dunia. Dengan menggunakan batik, maka perbedaan agama, suku, ras, dan status sosial akan melebur dengan lahirnya perasaan sebangsa, setanah air. Untuk menemukan nilai-nilai estetis di dalam batik, maka ditinjau peran batik untuk merajut persatuan dalam keberagaman demi terwujudnya Indonesia maju. Selanjutnya, batik dan literasi memiliki peranan penting dalam menjaga kelestarian batik agar tetap eksis. Dengan batik, akan tercipta rasa bangga terhadap Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya.
Hal-hal berikut dapat dijadikan sebagai langkah-langkah untuk menjaga eksistensi batik agar tetap menjadi pemersatu keberagaman untuk Indonesia maju, yaitu:
- Menjadikan batik karya anak bangsa sebagai pakaian dinas dalam situasi santai maupun resmi, seperti batik motif Salak di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, juga batik Pakpak motif cicak di Sumatera Utara. Kedua motif batik tersebut mencerminkan keunikan daerahnya masing-masing.
- Membuka sarana literasi gratis di bawah dukungan pemerintah untuk menggali kemampuan masyarakat dalam membuat kerajinan batik, dalam menggambar motif batik, dalam memasarkan batik, serta dalam memanajemen produksi batik.
- Menjadikan batik sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolah, khususnya dalam mata pelajaran muatan lokal agar tumbuh rasa kecintaan dan kebanggaan para siswa terhadap kekayaan budaya lokal. Selain itu, para siswa akan mengetahui pesan-pesan moral yang dikandung oleh motif-motif batik.
Dengan demikian, menjaga kelestarian batik adalah upaya untuk menjaga persatuan, menjaga keberagaman, sehingga tumbuhlah Indonesia maju. Maju dalam bidang ilmu pengetahuan, maju dalam bidang literasi, maju dalam budaya, maju dalam bertindak dan berpikir, serta maju dalam aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain.
Referensi
- “Angka Delapan Jadi Simbol Dalam Motif Batik Geblek Renteng Khas Kulonprogo”. 2020. www.inibaru.id. (Diakses pada 7 Agustus 2021).
- Handayani, Wuri. 2018. “Bentuk, Makna, dan Fungsi Seni Kerajinan Batik Cirebon”. Jurnal Atrat volume 6 nomor 1.
- “Hari Batik Nasional Diperingati Tiap Tanggal 2 Oktober, Berikut Alasan dan Sejarah Batik Indonesia”. 2020. www.tribunnews.com. (Diakses pada 7 Agustus 2021).
- Kasih, Putri Tiara. 2017. “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Terhadap Sektor Kerajinan Batik Melayu Riau Tahun 2014-2015”. Jurnal JOM FISIP Volume 4 nomor 1.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Gerakan Literasi Nasional. Jakarta.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Gerakan Literasi Nasional”. https://gln.kemdikbud.go.id/ (diakses pada 7 Agustus 2021).
- Maziyah, Siti, Mahirta, dan Sumijati Atmosudiro. 2016. “Makna Simbolis Batik pada Masyarakat Jawa Kuna”. Jurnal Paramita volume 26 nomor 1.
- Parmono, Karlini. 1995. “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat no.23.
- Wahyuningsih, Diyah, dkk. 2014. Sejarah Batik Jawa Tengah. Semarang: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah.
- Wardoyo, Sugeng. 2019. Kendaraan Tradisional Khas Yogyakarta Pit Onthel (Sepeda Kayuh) Sebagai Tema Penciptaan Batik Eco Friendly. Yogyakarta: BP ISI.