Fragmen Jamban
Orang-orang mati di jamban
begitu juga yang akan mati di jamban.
Jika kau ingin memilih, banyak pilihan.
Dan apakah hidup hanya sebatas mati
untuk dijadikan akhir. Sebelum itu semua akan bertemu
pada siasat-siasat, riak-riak percobaan, atau dalam sedikit
gertak gigi kepada gelas yang dipaksa hidup. Membayangkannya
saja, ada variabel yang gantung diri di sisi kemungkinan.
Semua menjadi kemungkinan yang jelas-jelas seperti korek api
yang telah menghabiskan batu-batu tergesek. Sebelum pembicaraan
itu usai. Aku dan kau menjelaskan sayap-sayap gabriel, menuntun
keletihan menuju taman eden. Tapi tidak aneh. Semua
menjadi-jadi begitu panjang.
Begitu saja. Percakapan akan berlalu walau
ada yang memberanikan diri menghantam sejuta gedung
dengan dalil, oh itu adalah perjuangan. Mata siapa yang
akan buta? Mata kaki sudah tidak
mengingikan deterjen sosial. Sementara
demokrasi telah membakar asap dengan cara yang paling tidak
masuk akal. Apakah aku berani mengupil di mulut mereka?
Kematian sudah lebih dulu terjadi. Begitu awal mula terjadi
begitu saja dan sebelum perhitungan itu dimulai
dari sini. Angin tak akan berkesiur di batas ingatan
yang prematur, juga deburan-deburan ombak yang merangkul
bokong udang karang. Otak udang,
perundang-undangan melesit masuk dalam kematian.
“Tidak begitu mestinya, sayang,” suara itu tak pernah hilang
di ruang yang tak pernah kubuat.
Selalu seperti rayuan yang memonyetkan otak. Makanan
saja melenting-lenting seperti suapan kematian. Adakah
jamban di sana membuat usahamu merenungkan kekosongan
dari setiap kemaslahatan? Jangan bicarakan
di sini. Penguasa adalah perusahaan tertinggi
di jari-jari demokrasi. Sebisa mungkin, peti mati
atau epitaf nama-nama yang tidak pernah ditemukan.
Sebagai awal permulaan
I
Layar kaca tetap memberitakan
bahwa semua akan baik-baik saja
jika kita membuang ampas-ampas
pikiran di jamban. Ampas itu
merapung mengalahkan ikan-ikan
bandar yang ingin merasakan oksigen tanpa
ada pencemaraan.
Sekilas saja di antara kita perlu membicarakan
tentang kelangsungan hidup alam. Tentang upaya
alam yang ingin menyayatkan pecahan botol anggur
ke urat nadi. Namun
untuk menyadari semua itu ada banyak cerita
yang lepas dari tampuk paha menuju kerampang.
Beruk juga ikut diperkosa.
Kerbau memanjat pedati. Dan paket data
menumbangkan pupuk taik ayam. Setelah itu
dengan ungkapan paling menyesal, kita mengharapkan
taik hujan membasahi jamban untuk meringankan
pernafasan ikan-ikan bandar.
II
Sesuai ucapan para pengobral hukum, super
murah, tiga lima belas ribu saja. Di pasar juga banyak
jamban, asal kau lebih dulu tahu; bahwa awal
peradaban digerakkan oleh jamban yang belum ditemukan.
Bagaimana bisa kita lupa tentang mencoblos
jika kampanya-kampanye hitam selalu
seperti teko ajaib yang digosok tiga kali
mengeluarkan jin sakti bertuah. Aku harus benar-benar
mencari jamban yang paling netral. Demi kata
yang tak pernah ada.
Demi beruk yang bergelantungan di
tiang jalan. Dan demi otak udang pencari
gorengan.
Tak lupa, ikan-ikan bandar yang
menginginkan oksigen menyelam
ke dalam tubuh mereka.
Tentu di atas semua kepentingan itu ada
kata yang tak pernah ada. Seperti kehilangan
pada musim-musim hangat.
Kehilangan tidak menggantikan peti mati
apalagi epitaf. Sudah sedari dulu, mati di
jamban merupakan pilihan
yang tepat. Dan ketepatan pilihan
tergantung bagaimana jamban dapat dimanfaatkan,
“apakah kau lupa tentang peradaban
yang digerakkan oleh jamban?”
III
Boleh aku meminjam uang untuk
naik pada priode berikut?
Setiap persimpangan adalah
tempat yang paling tidak tepat untuk
diri menampilkan pencapaian.
Tempelkan saja di setiap jamban.
Baik umum ataupun pribadi.
Bahkan semua yang dimulai dari jamban
akan berakhir pada kemenangan paling terkenal.
Inilah eksistensi di kehidupan muara
jamban. Jika kita benar-benar menginginkan
otak udang atau beruk yang bergantung-gantung
di tiang jalan, atau badak bercula satu
di pemandian umum atau kata yang bersembunyi di
balik tali kutang itu, maka pilihan yang paling
andal tetap jatuh kepada jamban
di batas-batas kota dan desa.
Padang-Agam, 2021-2022