gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

“Ya Tuhan! Berilah anak hamba peringatan karena telah bersikap durhaka kepada ibunya sendiri.”

Doa ibu Tuaka.

Riausastra.com – Haruskah Zubaidah berdoa demikian pula untuk putranya?

Hati ibu mana yang tidak kecewa jika putra kesayangannya tidak mengakuinya. Begitulah yang tengah dirasakan Zubaidah. Kamal, putranya yang merantau bertahun-tahun akhirnya kembali tetapi bukan untuk pulang sebagai anaknya. Kamal datang sebagai selebritis yang tengah naik daun. Zubaidah mendapatkan kabar kedatangan Kamal dari tetangganya yang datang langsung ke alun-alun kota.

Dengan rasa haru dan rindu yang menggebu Zubaidah bergegas menghampiri Kamal. Namun, harapan untuk memeluk putranya sirna. Kamal mengaku tidak mengenalnya. Hatinya pilu. Wajah berserinya menjadi sendu. Zubaidah pulang ke rumah dengan kekecewaan.

***

“Jagalah kepercayaan Makmu, Mal! Jadilah sukses lalu pulang.” Usman berpesan kepada putranya yang akan merantau.

Sementara itu Zubaidah tengah berusaha menyembunyikan raut sedihnya. Dirinya tidak pernah melarang Kamal merantau tetapi untuk berjauhan dengan putra semata wayangnya tentulah rasanya campur aduk; sedih, khawatir, takut, dan berbagai perasaan lainnya. Zubaidah merestui keinginan Kamal merubah nasib di ibu kota. Karena dia juga tahu putranya tidak akan jadi apa-apa jika bertahan hidup di kampung. Dia dan suaminya tidak punya harta berlimpah. Bisa menyekolahkan Kamal hingga SMA saja sudah luar biasa. Walaupun perjuangannya tidak mudah.

Pernah suatu ketika, Kamal terpaksa tidak ikut ujian karena belum membayar SPP tiga bulan. Zubaidah kerja siang dan malam begitu pula Usman. Zubaidah terus menjajakan kuenya sampai ke kampung-kampung lain. Sementara Usman terus menawarkan tenaganya untuk bekerja apa saja; membersihkan ladang, memanggul belanjaan di pasar, menjadi kenek tukang bangunan, dan masih banyak lagi. Dengan jerih payah mereka, Kamal bisa mengikuti ujian susulan.

Zubaidah dan Usman percaya bahwa jika anaknya berpendidikan akan membawa mereka pada takdir yang lebih baik. Cukuplah mereka yang tidak bersekolah.

“Janganlah Mak bersedih! Kamal ‘kan pergi untuk menjadi sukses. Doakan Kamal yang baik-baik!” ujar Kamal mendekati Zubaidah.

“Mak tak ada pun bersedih, hanya terharu saja. Anak Mak sudah besar. Sudah berani merantau. Jangan pernah tinggalkan salat ya!”

“Pastilah, Mak. Mak pun jaga kesehatan! Harus sehat sampai Kamal pulang!”

Zubaidah lalu memeluk anaknya. Air matanya membasahi kaos Kamal. Mereka berpelukan cukup lama sebab sadar hal itu tidak akan bisa dilakukan lagi setiap hari.

“Sudahlah. Sudah menangisnya. Kamal harus segera berangkat nanti tertinggal bus.” Usman mengingatkan.

Kamal berganti memeluk abahnya, “Abah baik-baik di sini ya! Kamal akan pulang dengan kesuksesan.”

“Ya, abah akan baik-baik di sini.” Usman menepuk lembut pipi putranya.

“Kau pun, setelah sukses jangan menjadi Tuaka. Ingat itu!” pesan Usman.

“Abah… bicaralah yang bagus-bagus. Kamal tak akan menjadi Tuaka.” Zubaidah menimpali.

Hari terus berganti. Tujuh tahun Kamal merantau tanpa kabar. Zubaidah dan Usman tidak tahu bagaimana keadaan putranya. Entah masih hidup atau hanya tinggal nama. Meski begitu, Zubaidah tidak pernah putus mendoakan kebaikan untuk anaknya. Dia terus meminta kepada Sang Pencipta agar Kamal selalu dalam lindungan-Nya.

***

“Ooo Zubaidah… tak kau jumpai Kamal di alun-alun kota? Sudah sukses dia, sudah menjadi orang terkenal rupanya.” Tetangga Zubaidah berteriak dari tepi jalan.

Zubaidah tampak bingung. Selama pergi merantau Kamal tidak pernah memberi kabar apa pun. Bahkan Zubaidah tidak tahu kalau hari itu Kamal sedang berada di alun-alun kota. Dia pun meminta Usman mengantar ke sana.

Sesampainya di alun-alun, Zubaidah melihat Kamal sedang berada di panggung. Entah apa yang sedang dilakukannya. Zubaidah hanya tahu putranya mengenakan pakaian yang elok dan dielu-elukan banyak orang. Dia mengabaikan panggilan Usman dan terus menerobos kerumunan menuju depan panggung.

“Kamal… Mak rindu! Kamal….” teriak Zubaidah.

Sontak semua mata tertuju kepadanya. Keadaan semakin riuh. Orang-orang saling bertanya kebenaran yang diucapkannya. Benarkah dia ibu Kamal?

“Aduh, ada saja ya di mana-mana. Selalu berjumpa penggemar seperti ibu ini,” ucap Kamal dengan mikropon.

Para penggemar Kamal bersorak-sorai.

“Kamal… ini Mak! Apa kau benar-benar tak mengenali?”

“Udah dong, Buk. Obsesi sekali. Mau mengalahkan anak muda pula,” celetuk salah seorang yang mengundang sahutan dari yang lain.

Suasana pun menjadi riuh.

“Sudah sudah… mungkin ibunya mau naik ke panggung. Ayo sini, Bu!”

Zubaidah naik ke panggung dan langsung memeluk Kamal. Orang-orang pun menyorakinya. Bukannya memeluk balik, Kamal malah mendorongnya. Zubaidah tersungkur.

“Kamal… Mengapa kau begini, Nak? Mak rindu!”

“Cukup ya, Buk. Ini keterlaluan. Jangan melampaui batas!”

Orang-orang kembali menyorakinya dan entah siapa yang memulai, Zubaidah dilempari gelas plastik air mineral. Suasana semakin kacau. Kamal lalu turun dari panggung.

“Kamal….”

Usman baru bisa menerobos kerumunan dan langsung naik ke panggung untuk melindungi istrinya, “Astaghfirullah, ayo kita pulang! Percuma kau berteriak, dia tak sudi mendengarnya.”

Sepanjang perjalanan pulang Zubaidah menangis. Sesak dadanya, sakit hatinya.

***

“Kau tahu ‘kan kalau doa seorang ibu mustajab,” ucap Usman.

Zubaidah mengangguk.

“Mengapa tak kau minta pada Tuhan untuk memberi Kamal pelajaran?” Usman emosi melihat dirinya merana sepanjang hari.

Zubaidah yang tengah duduk di kursi bambu hanya tersenyum meratapi nasibnya. Dia pandang rumahnya yang hampir roboh. Bertahun-tahun dia menunggu kepulangan Kamal dengan terus mendoakan kesuksesan putranya. Malang sungguh malang. Hilangnya kabar Kamal  menghilangkan pula rasa sayang pada ibunya.

“Oh Zubaidah, lebih baik kau berdoa. Biarlah Kamal seperti Tuaka yang durhaka, berubah menjadi burung,” ucap Usman lagi.

“Manalah mungkin aku tega. Dia putraku, darah dagingku. Bukankah dia putramu juga,” ujar Zubaidah.

Usman terdiam.

“Doa ibu itu mustajab, maka dari itu baik-baiklah mendoakan anak. Apa Mak Tuaka bahagia setelah Tuhan mengabulkannya? Tak lha. Dia merana. Dia menyesal melihat putra kesayangan telah berubah menjadi seekor burung. Dia sengsara sepanjang hidupnya. Abah mau aku seperti itu?”

Usman tidak lagi menanggapi ucapan Zubaidah. Istrinya benar. Kamal tidak boleh menjadi seperti Tuaka.

Zubaidah kembali menjalani hidupnya dengan terus mendoakan kebaikan untuk Kamal. Tanpa bosan dia memohon agar hati Kamal dilembutkan. Tentu kecewa tetapi dia tidak ingin menjadi seperti ibu Tuaka. Zubaidah percaya Kamal masih menyayanginya dan akan pulang suatu hari nanti.

***

Pagi itu Zubaidah mendapat surat tanpa nama pengirim. Dia membacanya di kamar. Selesai membaca tangisnya pecah. Isaknya didengar Usman yang berada di dapur.

“Ada apa?”

Zubaidah menyerahkan surat yang baru selesai dibaca.

‘…. Maafkan Kamal, Mak. Kamal sudah menyakiti Mak. Kamal anak durhaka. Maafkan Kamal! Sepulang dari berobat di Malaysia, Kamal akan ke rumah. Sampaikan maaf dan salam kepada abah ya, Mak. Kamal rindu!’…

Pekanbaru, 12 Januari 2025

***

بوكن لڬندا باتڠ تواك

“يا توهن! بريله انق همب ڤريڠاتن كارن تله برسيكڤ دورهاك كڤادا إبوڽ سنديري.” دوع إبو تواك

هاروسكه زوبايده بردوع دميكيان ڤولا اونتوق انكڽ؟

هاتي إبو مان يڠ تيدق كچوا جيك ڤوترا كسياڠنڽ تيدق مڠاكويڽ. بڬيتوله يڠ تڠح ديرساكن زوبايده. كامل، ڤوتراڽ يڠ مرنتاو برتاهون-تاهون اخيرڽ كمبالي تتاڤي بوكن اونتوق ڤولڠ سباڬاي انكڽ. كامل داتڠ سباڬاي سلبريتيس يڠ تڠه نايك داون. زوبايده منداڤتكن كابر كدتاڠن كامل داري تتڠڬاڽ يڠ داتڠ لڠسوڠ ك الون-الون كوت

دڠن راس هارو دان ريندو يڠ مڠڬبو زوبايده برڬڬس مڠهمڤيري كامل. نامون، هراڤن اونتوق مملوق ڤوتراڽ سيرن. كامل مڠاكو تيدق مڠنلڽ. هاتيڽ ڤيلو، واجه برسريڽ منجادي سندو. زوبايده ڤولڠ ك رومه دڠن ككچوائن

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini