Riausastra.com – Cerita rakyat bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah cermin kolektif dari kebijaksanaan, kepercayaan, dan imajinasi masyarakat di masa lampau. Di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, petuah hidup, bahkan sejarah kultural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, di tengah derasnya arus informasi digital dan budaya instan yang menjangkiti generasi kini, cerita-cerita rakyat perlahan tergeser ke pinggiran, nyaris lenyap dari ruang ingatan publik.
Riau, yang kaya akan tradisi lisan dan warisan Melayu, menghadapi ancaman serupa: sebuah peradaban naratif yang perlahan memudar, tak lagi akrab di telinga anak-anak zaman gawai. Fenomena ini bukan semata-mata soal malas membaca atau minimnya minat terhadap warisan budaya. Lebih dari itu, ini adalah persoalan sistemik yang melibatkan kurikulum pendidikan, ekosistem literasi, hingga dominasi budaya global yang menjanjikan hiburan instan dan visualisasi hiperaktif.
Cerita rakyat yang dulunya hidup dalam nyanyian, hikayat, dan dongeng kini kalah saing dengan konten berdurasi satu menit di TikTok. Lalu, apakah ini berarti cerita rakyat telah selesai? Tidak juga. Justru di sinilah tantangan sekaligus peluang itu berada: bagaimana kita bisa menghidupkan kembali suara leluhur di tengah lanskap media sosial yang berubah drastis? Kita tidak bisa menafikan bahwa platform seperti TikTok telah menjadi kanal utama konsumsi narasi bagi generasi muda.
Ini bukan soal setuju atau tidak, tapi soal realitas yang harus direspon. Maka, alih-alih mengutuk kegelapan, mengapa tidak menyalakan lilin? Bayangkan jika cerita rakyat seperti kisah Si Lancang yang durhaka, atau legenda Putri Pinang Masak, diangkat kembali dalam bentuk video pendek dengan visual yang menarik, dikisahkan ulang dengan gaya kekinian tanpa menghilangkan nilai moralnya. Ini bukan bentuk komersialisasi budaya, melainkan cara baru untuk bertutur, sebuah strategi pelestarian yang relevan dengan zaman.
Sayangnya, belum banyak inisiatif dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, ataupun komunitas literasi untuk mengambil peran aktif dalam memodernisasi narasi tradisional ini. Padahal, jika ditangani secara serius, cerita rakyat bisa menjadi alat yang ampuh untuk membangun identitas kultural sekaligus memperkuat rasa kebangsaan di kalangan generasi digital. Apalagi Riau memiliki kekayaan cerita rakyat yang luar biasa, yang tersebar dari pesisir hingga pedalaman, namun masih banyak yang belum terdokumentasi secara baik.
Beberapa bahkan hanya tersimpan dalam ingatan para tetua desa yang semakin menua, tanpa ada upaya untuk merekam atau menuliskannya. Dalam konteks ini, para sastrawan, pegiat budaya, dan kreator konten dari Riau memiliki peran penting sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan. Kita perlu pendekatan yang lintas disiplin: dari sastra ke media sosial, dari hikayat ke skenario video pendek, dari lisan ke visual. Tidak harus selalu serius dan sakral; kadang humor, ironi, bahkan gaya absurd pun bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk memperkenalkan cerita rakyat kepada audiens muda.
Yang penting adalah menjaga ruh ceritanya, nilai-nilainya, dan konteks lokalnya. Munculnya gerakan digitalisasi budaya di beberapa daerah sebenarnya memberi harapan. Di Jawa misalnya, ada konten-konten YouTube dan TikTok yang mengangkat kisah wayang dalam format modern. Di Sumatera Barat, kisah Malin Kundang telah dibuat versi komik digital hingga animasi. Pertanyaannya: mengapa Riau belum mengambil langkah serupa secara massif? Bukankah kita punya banyak cerita yang tak kalah menarik, lengkap dengan lanskap budaya yang unik?
Ini bukan sekadar nostalgia, melainkan bentuk investasi kultural yang sangat peting untuk keberlangsungan identitas kita sebagai orang Riau, sebagai bagian dari masyarakat Melayu. Sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai budaya, kita tidak bisa hanya bergantung pada negara. Perlu inisiatif akar rumput yang dimulai dari rumah, sekolah, komunitas, bahkan individu. Orang tua bisa mulai lagi mendongeng untuk anak-anaknya. Guru bisa menyisipkan cerita rakyat dalam pembelajaran, bukan sekadar sebagai bahan bacaan pelengkap, tapi sebagai sumber refleksi moral.
Komunitas sastra bisa menggelar lomba menulis atau mengadaptasi cerita rakyat menjadi bentuk-bentuk sastra kontemporer seperti flash fiction, puisi digital, atau teater mini. Anak muda bisa menciptakan tren baru dengan mengangkat cerita rakyat ke ranah konten digital, membungkusnya dalam estetika visual yang atraktif namun tetap berakar pada nilai lokal. Kita berada di persimpangan zaman, di mana pilihan untuk melestarikan atau melupakan budaya ada di tangan kita sendiri.
Cerita rakyat bukan milik masa lalu, tapi milik masa depan jika kita mampu memaknainya kembali. Ia bukan sekadar hiburan, tapi juga cermin jati diri, panduan moral, dan ekspresi kolektif dari sebuah peradaban yang berakar dan berkembang. Jika hari ini cerita rakyat hanya menjadi barang museum atau bahan lomba 17 Agustusan, maka kita sedang membiarkan generasi mendatang tumbuh tanpa suara leluhurnya.
Maka mari, di era TikTok ini, kita bukan hanya menjadi penonton pasif yang terus terpapar budaya luar. Mari kita jadi pencipta narasi yang mengangkat kekayaan lokal dengan cara yang segar dan kreatif. Mari kita hidupkan kembali cerita rakyat, bukan untuk romantisme masa lalu, tapi untuk menyalakan api kebudayaan yang akan terus menyala, dari satu layar ke layar lainnya, dari satu jiwa ke jiwa lainnya.
***
للوهور دالم ساتو منيت: ميسي مڽلامتكن چريت ركيات رياو
چريت ركيات بوكن سكدر دوڠڠ ڤڠنتر تيدور. إيا اداله چرمين كولكتيف داري كبيجكسنائن، كڤرچيائن، دان إمجيناسي مشراكت د ماس لمڤاو. د دالمڽ تركندوڠ نيلاي-نيلاي مورل، ڤتواه هيدوڤ، بهكن سجاره كولتورل يڠ ديواريسكن داري ساتو ڬنراسي ك دنراسي بريكوتڽ. نامون، د تڠه درسڽ اروس إنفورماسي ديڬيتل دان بوداي إنستن يڠ منجڠكيتي ڬنراسي كيني، چريت-چريت ركيات ڤرلاهن ترڬسر ك ڤيڠڬيرن، ڽاريس لڽڤ داري رواڠ إڠاتن ڤوبليك
رياو، يڠ كاي اكن تراديسي ليسن دان واريسن ملايو، مڠهداڤي انچامن سروڤ: سبواه ڤردابن نراتيف يڠ ڤرلاهن ممودر، تق لاڬي اكرب د تليڠا انق-انق زامن ڬاواي. فنومن إني بوكن سمات-مات سوال مالس ممباچ اتاو مينيمڽ مينت ترهادڤ أاريسن بوداي. لبيه داري إتو، إني اداله ڤرسوالن سيستميك يڠ مليبتكن كوريكولوم ڤنديديكن، اكوسيستم ليتراسي، هيڠڬ دوميناسي بوداي ڬلوبل يڠ منجنجيكن هيبورن إنستن دان ۋيسواليساسي هيڤركتيف