Riausastra.com – Pariaman merupakan daerah yang kental dengan ajaran agama islam. Banyaknya mushola dengan ukuran besar didirikan, bahkan antara mushola satu dengan mushola yang lain saling berdekatan. Selain itu, banyak acara adat yang menyimbolkan bahwa daerah tersebut betul-betul menjunjung tinggi segala nilai dan bentuk keislaman. Mulud, tabuik, malam lailatul qadar, sepuluh safar, dan masih banyak lagi. Terkait dengan tanggal sepuluh pada bulan safar, mayoritas penduduk pariaman memiliki tradisi islam untuk mengunjungi tiga makam sekaligus pada hari yang sama. Diantara tiga makam itu adalah makam Syekh Burhanudin, makam gobah atau makam Syekh Abdurrahman, dan makam ungku Saliah. Ketiganya bertempat di sekitaran daerah pariaman. Pariaman menyimpan banyak makam keramat. Adanya makam-makam tersebut diakibatkan banyak tokoh-tokoh penting yang mempunyai pengaruh besar bagi tempat tersebut. Sehingga untuk menunjukkan rasa terimakasih dan menghormatinya, maka banyaklah orang mempercayai sebagai suatu kebudayaan.
Kebudayaan ini dipercayai sampai ke luar masyarakat pariaman, serta sudah dilakukan secara turun temurun melalui berbagai generasi. Sebuah kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tertentu merupakan bagian dari folklor. Folklor adalah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Hutomo dalam Danandjaja (1991:5). Folklor juga banyak jenisnya, yakni folklor lisan, setengah lisan, dan bukan lisan. Folklor lisan adalah kepercayaan yang diyakini dan diwariskan secara lisan. Melalui denisi tersebut, maka folklor yang ada di daerah pariaman, khususnya yang ditemukan di kampung tangah, padang pariaman merupakan folklor lisan. Bentuk folklor lisan yang ditemukan adalah mengenai “makam gobah.”
Ada seseorang yang dijuluki sebagai Syekh Abdurrahman yang dimakamkan di makam tersebut. Di sekitar makamnya banyak terkubur pengikut atau pun keluarganya.Setiap tanggal sepuluh bulan safar, masyarakat dari pariaman, atau luar pariaman yang mengikuti ajaran beliau datang untuk berkunjung. Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa sebuah makam dikatakan keramat mempunyai alasannya, yakni kesaktian dari orang yang dimakamkan. Hal ini tercermin dalam diri Syekh Abdurrahman.
Diceritakan bahwa Syekh Abdurrahman mendapat ilmu dari Aceh oleh gurunya. Untuk sampai ke daerah yang dituju sebagai usaha penyebaran agama, maka Ia memakai kapal yang layarnya dibuat dari tikar, hingga pada akhirnya ia sampai di daerah yang disebut pariaman. Beberapa daerah yang dikunjungi sewaktu pertama kali ke pariaman, yakni kampung tangah, medan bayiak, dan lantak mengkudu. Oleh karena itu, ada pepatah urang minang yang berbunyi “adaik manurun, syarak mandaki”. Pepatah tersebut berkaitan dengan yang dilakukan Syekh Abdurrahman. Ia memberi pengajaran mengenai islam (syarak) ke daerah yang berada di dataran rendah dulu, seperti tiga tempat tadi. Setelah itu baru sampai ke daerah yang berada di ketinggian atau perbukitan seperti payakumbuh atau bukittinggi.
Selain jasanya tadi, dirinya pun dianggap sakti. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya yang mengetahui berbagai kemungkinan yang akan terjadi, khususnya pada kondisi alam. Dikisahkan di suatu waktu ketika masyarakat sedang membangun sebuah surau, Ia berseru ke salah satu pekerjanya, yakni “bagian siko jan diagiah ato lu”. Mendengar ucapan tersebut para pekerja terheran dan bertanya mengapa demikian, sedangkan bagian dari atap yang lainnya sudah rampung. Ternyata, tidak lama dari seruan yang diberikannya satu peluru meluncur tepat pada bagian atap yang sengaja dibiarkan bolong.
Akibat kedua hal tersebut, maka kepercayaan itu hadir. Masyarakat yang berkunjung pun biasanya memanjatkan doa-doa dengan tujuan yang beragam. Dipercayai juga bahwa pasir di sekitaran makam tersebut dapat membawa berkah. Beberapa orang mengambilnya dan disimpan ke dalam dompet dengan tujuan menambah reziki. Ada pula yang menggunakannya untuk mengusir segala hama yang dapat menghambat pertumbuhan padi. Caranya adalah dengan menaburkan pasir tersebut ke arah sawah. Ajaibnya, pasir yang sudah diambil itu akan bertambah dengan sendirinya menutupi pasir-pasir yang berkurang karena sudah diambil peziarah tadi. Selain itu, ada juga yang mengambil potongan kayu kecil dari surau yang sudah rapuh untuk dijadikan obat. Caranya adalah dengan merebusnya dengan air putih lalu diminum.
Kekeramatan makam tersebut juga ditunjukkan dengan fenomena yang disebut “mangagah” oleh masyarakat di kampung rimbo. Manggagah diartikan bergetar. Makam tersebut akan manggagah atau bergetar untuk memperingati masyarakat Pariaman khususnya Kampung Tangah dan sekitarnya, termasuk Kampung Rimbo. Menurut kesaksian Juwita (63) getarannya sangat Ia rasakan. Hal tersebut menandakan bahwa akan ada sesuatu yang buruk karena sebelumnya sudah ada pemicu sehingga gobah manggagah. Dikisahkan bahwa dahulu terdapat sekelompok anak muda yang berpakaian tidak sesuai dengan syariat islam melintas di sekitaran makam tersebut. Beberapa lama kemudian gobah tersebut manggagah. Seringnya getaran yang dirasakan masyarakat membuat masyarakat khawatir akan bahaya yang akan terjadi. Puncak getaran ada pada kejadian tsunami yang terjadi di daerah pariaman dan sekitarnya.
Gobah yang manggagah itu semakin lama semakin tidak terasa getarannya lagi. Mungkin karena sudah canggihnya zaman sekarang sehingga kepercayaan seperti itu mengalami pergeseran bahkan dikubur begitu saja. Peziarah juga semakin lama semakin berkurang. Hal ini ada kaitannya dengan hal hal buruk juga yang dilakukan anak cucunya. Jadi, setiap makam memiliki orang-orang yang berkepentingan untuk mengurus makam tersebut, seperti keluarganya. Namun, orang-orang yang harusnya dapat menjalaninya dengan tulus dan ikhlas justru mengambil kesempatan. Setiap peziarah datang, biasanya mereka akan menaruh uang ke dalam sebuah kotak. Uang tersebut akan dimanfaatkan ke hal-hal yang berguna, seperti renovasi surau tempat gobah itu berada, tetapi yang terjadi adalah dana habis sementara surau juga belum direnovasi. Ketamakan yang dilakukan oleh anak cucunya membuat orang jarang mengunjungi makam tersebut.
Di era yang segalanya semakin canggih ini, sudah banyak kepercayaan mengenai hal-hal mistis luntur. Padahal hal tersebut mencerminkan budaya masyarakatnya, tetapi yang terjadi masyarakat lebih acuh tak acuh. Tradisi mengenai kepercayaan yang sudah ada dari dulu bahkan diturunkan dari generasi ke generasi, diabaikan begitu saja dalam hitungan waktu yang singkat. Sama hal nya dengan kepercayaan terhadap kekeramatan makam gobah. Orang-orang mulai semakin sedikit untuk berziarah ke makam tersebut. Ini perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya ciri khas budaya dari suatu masyarakatnya. Sebab masyarakat ada di dalam kebudayaan. Jika masyarakatnya demikian, maka hendak dibawa kemana tradisi kebudayaan yang melimpah begitu banyaknya.
***
ڤرڬسرن كڤرچيائن “ماكم ڬوبه” د كمڤوڠ تاڠه، ڤاريامن
ڤاريامن مروڤاكن دائره يڠ كنتل دڠن اجارن اڬام إسلم. باڽكڽ موصلا دڠن اوكورن بسر ديديريكن، بهكن انتارا موصلا ساتو دڠن موصلا يڠ لاين ساليڠ بردكاتن. سلاين إتو، باڽق اچارا ادت يڠ مڽيمبولكن بهوا دائره ترسبوت بتول-بتول منجونجوڠ تيڠڬي سڬالا نيلاي دان بنتوق كئيسلامن. مولود، تابويك، مالم لايلاتول قادر، سڤولوه سافر، دان ماسيه باڽق لاڬي. تركايت دڠن تڠڬل سڤولوه ڤادا بولن سافر، مايوريتس ڤندودوق ڤاريامن مميليكي تراديسي إسلم اونتوق مڠونجوڠي تيڬ ماكم سكاليڬوس ڤادا هاري يڠ سام. د انتارا تيڬ ماكم إتو اداله ماكم شايخ بورهانودين، ماكم ڬوبه اتاو ماكم شايخ ابدوررهمن، دان ماكم اوڠكو سالياه. كتيڬڽ برتمڤت د سكيتارن دائره ڤاريامن. ڤاريامن مڽيمڤن باڽق ماكم كرامت. اداڽ ماكم-ماكم ترسبوت دياكيبتكن باڽق توكوه-توكوه ڤنتيڠ يڠ ممڤوڽاي ڤڠاروه بسر باڬي تمڤت ترسبوت. سهيڠڬ اونتوق منونجوككن راس تريم كاسيه دان مڠهورماتيڽ، ماك باڽكله اورڠ ممڤرچياي سباڬاي سواتو كبودايائن