gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Perkembangan teknologi yang direflesikan dalam infrastruktur pembagunan tersimpan tradisi masyarakat. Ingatan yang masih segar di masyarakat Tebingtinggi dan Desa Alai akan legenda, salah satunya adalah jembatan kayu yang diberi nama “Jembatan Panglima Sampul” dibangun pada tahun 1980-an. Melintas di sepanjang Sungai Perumbi sebelum runtuh oleh derasnya arus sungai tersebut, berakar menjadi sebuah kepercayaan adanya campur tangan kekuatan yang lebih besar–makhluk halus atau penunggu jembatan.

Perspekif masyarakat yang melihat tidak hanya dari segi kegagalan proses pembangunan, berubah dengan mempercayai sebutan penunggu jembatan yang harus diberikan persembahan atau semah, agar direstui proses pembangunan dan Jembatan Panglima Sampul dapat berdiri kokoh dan bertahan lama. Cerita tentang penunggu ini tidak hanya sebatas omong kosong belaka. Keruntuhan jembatan menggambarkan bagaimana kegagalan pembangunan pada masa dahulu yang menuai desas- desus karena disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau penunggu. Dari peristiwa keruntuhan itu, masyarakat mulai mengaitkan hal-hal lain sebagai cara untuk menjelaskan keterbatasan teknologi zaman dahulu untuk pembangunan Jembatan Panglima Sampul.

Awal pembangunan dengan bahan dasar kayu, tentu tidak bisa menjamin kekokohan jembatan ditambah derasnya arus Sungai Perumbi pada saat itu. Masyarakat sekitar, terutama Desa Alai selain dari segi waktu jembatan berdiri, bahan yang dipakai, dan kegagalan teknis, malah dihubungkan dengan mitos—makhluk gaib atau penunggu yang marah akan pembangunan jembatan yang terganggu diarea wilayah  kekuasannnya. Atau dapat dikatakan penunggu itu tidak memberikan perizinan sehingga jembatan kayu tersebut selalu mengalami kerusakan berat dan akhirnya roboh.

Mengusut hal tersebut, timbul lah solusi dari masyarakat yang secara tidak langsung berujung menjadi mitos agar membangun kembali jembatan perlu diberikan persembahan atau semah. Semah adalah sesuatu yang diserahkan sebagai persembahan atau korban untuk mendapatkan keinginan tertentu. Semah bisa berupa benda atau makhluk hidup, seperti kepala kerbau, kambing, sapi, atau bahkan manusia. Konon, awal proses pembangunan yang hanya diberikan semah kepala kerbau yang ditanam di tepi tiang jembatan kayu pada saat air sungai surut dan tenggelam saat air pasang. Karena, semah kepala kerbau yang dianggap tidak cukup untuk memuaskan penunggu tersebut menyebabkan Jembatan Panglima Sampul roboh. 

Jika diperhatikan, pada awal pembangunan jembatan yang berlatar sekitar tahun 1980-an belum didukung oleh teknologi dan pengetahuan tentang kontruksi, tidak secanggih sekarang, Faktor-faktor alam, seperti arus sungai, erosi, banjir mungkin menjadi salah satu penyebab kerusakan jembatan. Selain dari pemikiran masyarakat yang belum terpengaruh iptek, dengan memberikan penjelasan mitos makhluk halus—penunggu lebih mudah dipahami. Keberadaan penunggu pada bangunan juga dipercaya sebagai penjaga keseimbangan alam. Jembatan yang roboh memiliki kemungkinan bahwa manusia telah melakukan hal-hal yang dilanggar. Oleh karena itu, makhluk halus—penunggu memberikan syarat sebanding untuk menebus kesalahan atas apa yang telah dilakukan.

Akan tetapi, konteks kegagalan infrastruktur pembangunan Jembatan Panglima Sampul pada zaman itu sebagai pelesatan mitos makhluk halus—penunggu yang dipercayai oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, secanggih apapun teknologi tidak menutup kemungkinan jika hal-hal yang berbau mistis juga terlibat sekaligus sebagai dalih finishing lebih sempurna. Sebagaimana mestinya, kehidupan yang selalu berdampingan dengan makhluk halus menunjukkan keyakinan yang amat kuat akan kekuatan gaib. Bersandar dari mitos, robohnya jembatan menuai kepercayaan pemberian semah atau persembahan sebagai wujud kerja sama dengan dunia gaib demi keberhasilan pembangunan proyek-proyek besar agar tidak ditemui halangan-halangan melintang.

Perkembangan zaman lantas tidak melunturkan tradisi masyarakat dalam mempercayai mitos penunggu itu, semakin kuat setelah Jembatan Panglima Sampul kembali ambruk di bagian hilir pada bulan Mei silam. Mempertegas akan kegagalan infrastruktur pembangunan jembatan yang memberikan isyarat batas waktu atau umur jembatan sudah habis terhitung semenjak semah kepala kerbau diberikan. Agar jembatan bisa bertahan lama dan tidak akan roboh ketiga kalinya muncul mitos bahwa penunggu meminta timbal balik yang lebih besar—semah manusia. Jika terpenuhi, proses perbaikan akan direstui dan Jembatan Panglima Sampul akan abadi. Sebaliknya, jika tidak terpenuhi baik proses pembangunan maupun perbaikan terus akan mengalami hal yang sama.

Dalam proses pembangunan, kesalahan-kesalahan, masalah, hambatan, dan rintangan merupakan sesuatu hal yang lazim ditemui. Ibaratnya, “apabila kita hendak bertamu, tentu terlebih dahulu kita harus meminta izin kepada tuan rumahnya yang ingin kita kunjungi”. Hal yang terjadi selaras ketika kita akan membangun sebuah jembatan yang notabennya menyangkut alam, tentu kita harus meminta perizinan kepada penunggu tempat tersebut.

Sejatinya, setiap bangunan pasti selalu ada yang namanya makhluk halus—penunggu semacam bentuk penjagaan yaitu perlu dipersembahkan semah. Walaupun kegagalan infrastruktur pembangunan Jembatan Panglima Sampul dari segi teknis mengenai keterbatasan teknologi dijadikan eufemisme mitos penunggu jembatan itu.

Dengan demikian, saat ini, keruntuhan kesekian kali tersebut merajut kembali pemikiran masyarakat Desa Alai kembali hangat dengan kepercayaan makhluk halus—penunggu di Jembatan Panglima Sampul diselingi bersama penyerahan semah yang lebih besar dalam bentuk manusia. Kepercayaan terhadap penunggu Jembatan Panglima Sampul mencerminkan kekayaan tradisi masyarakat tidak terlepas dari spiritual yang terus hidup dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Serta hubungan erat masyarakat dengan hal gaib, meskipun wujud penunggu jembatan itu belum memiliki spesifikasi. Beriringan dengan pesatya iptek di zaman ini, mitos semacam itu masih kuat dipercayai sebagai warisan budaya setempat dan tetap dipakai dalam proses pembangunan. Kepercayaan masyarakat Desa Alai yang masih tradisional memiliki hubungan harmonis antara alam, manusia, dan dunia gaib.

***

ميتوس “ڤنوڠڬو” جمباتن ڤڠليم سمڤول

ڤركمباڠن تكنولوڬي يڠ ديرفلكسيكن دالم إنسفراستروكتور ڤمباڠونن ترسيمڤن تراديسي مشراكت. إڠاتن يڠ ماسيه سڬر د مشراكت تبيڠتيڠڬي دان دس الاي اكن لڬندا، ساله ساتوڽ اداله جمباتن كايو يڠ ديبري نام “جمباتن ڤڠليم سمڤول” ديباڠون تاهون ١٩٨٠-ئن. ملينتس دي سڤنجڠ سوڠاي ڤرومبي سبلوم رونتوه اوله درسڽ اروس سوڠاي ترسبوت، براكر منجادي سبواه كڤرچيائن اداڽ چمڤور تاڠن ككواتن يڠ لبيه بسر -مخلوق هالوس اتاو ڤنوڠڬو جمباتن

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini