sumber ilustrasi asli: bing

Riausastra.com – Menyaksikan orang-orang Papua berpakaian adat menari-nari di depan pagar gedung Mahkamah Agung saat meliput aksi masyarakat adat Papua hari ini membuatku teringat pada tanah kelahiranku sendiri, Riau.

Apa yang baru akan mereka alami adalah masa lalu bagi kampung halamanku. Usaha mereka untuk meminta Mahkamah Agung mencabut izin perusahaan sawit yang akan menjadikan hutan adat mereka menjadi areal perkebunan rasanya akan sia-sia belaka.

Tak berapa lama lagi hutan adat seluas separuh wilayah Jakarta akan diratakan dengan tanah dan digantikan deretan pohon-pohon ajaib berbuah emas itu.

Sebuah kisah perlawanan akan terjadi, sebelum akhirnya para penentang menyerah dan menerimanya sebagai suatu keniscayaan. Ah, seketika aku teringat pada Saidu.

Aku berkenalan dengan Saidu di suatu acara pelatihan menulis novel di taman budaya Surakarta semasa kuliah ketika krisis moneter melanda negeri ini sebelum akhirnya menumbangkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Lelaki berperawakan kurus tinggi, berambut gondrong, berkumis dan berjenggot yang mengenakan kaos oblong serta celana jin biru lusuh itu membuatku teringat sosok Sutardji Calzoum Bachri di masa mudanya.

Saat kukatakan padanya bahwa ia mirip Presiden Penyair Indonesia itu ia hanya tertawa dan kemudian berkata, “Ya, kami memang sama-sama dari Riau.”

“Orang tuaku juga dari Riau, tapi sejak kecil aku sudah meninggalkan Riau dan berpindah-pindah mengikuti tugas ayahku,” beritahuku.

“Ah, berarti kita saudara sekampung yang bertemu di perantauan,” serunya seraya merangkul bahuku erat-erat.  

Aku dan Saidu menjadi akrab dan tak terpisahkan lagi selama dua hari pelatihan itu. Setelah pelatihan berakhir kami pun masih sering bertemu. Kegemaran kami pada dunia mengarang membuat kami selalu memiliki bahan obrolan dan saling bersaing dalam berkarya. Cerpen karya kami berdua berganti-gantian dimuat di koran-koran daerah waktu itu.

“Aku baru mulai menulis sebuah novel,” kata Saidu ketika dia datang ke indekosku pada suatu hari.

“Wah, hebat kau. Tentang apa kisahnya?”

Saidu lalu menceritakan secara garis besar ide novelnya. Kisah tentang seorang pemuda yang menentang pembukaan kebun sawit di kampung halamannya. Kebun karet penduduk desa dan hutan adat diratakan dengan tanah dan berganti dengan bibit-bibit sawit. Aku hanya mendengarkan tanpa berkomentar.

“Alam merupakan sumber pandangan hidup dalam berkarya. Falsafah bagi kita para seniman. Kau tentu pernah mendengar pepatah lama yang menyebutkan alam terkembang jadi guru,” ujarnya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

“Manusia mengubah alam, mengubah sang guru. Tentunya sang guru akan memberi ujian berupa berbagai bencana.”

Aku kembali hanya mengangguk-angguk mencoba mencerna apa yang dikatakan sahabatku itu. Jika alam berubah, apakah falsafah akan berubah pula batinku.

 “Semoga novelmu cepat selesai. Aku sudah tak sabar ingin membacanya.”

“Doakan saja. Kau kan tahu ini ide yang sangat besar. Mungkin akan seperti Gabo yang membutuhkan belasan tahun sebelum memutuskan menulis Seratus Tahun Kesunyian dan satu setengah tahun lagi untuk menuliskannya.”

Aku terdiam mendengar Saidu membandingkan dirinya dengan Gabriel Garcia Marquez, penulis legendaris pemenang hadiah Nobel dari Amerika Latin itu. Namun, harus kuakui ide novelnya benar-benar memukau. Sebuah novel bergenre realisme magis yang berkisah tentang hal-hal tak kasat mata dan meliputi masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, sekaligus pertahanan dan keamanan, yang tentunya dibumbui jalinan asmara tokoh-tokohnya.   

“Nanti akan kuceritakan kisah yang mau kutulis ini padamu. Jadi kau satu-satunya yang akan tahu kisahnya sebelum orang lain membaca novelnya.”

“Wah, seperti Pram mengisahkan secara lisan Tetralogi Pulau Buru yang sudah ada dalam kepala kepada kawan-kawannya selama menjalani hukuman sebagai tahan politik kalau begitu.”

“Ya, dan kisah novel ini tak kalah dengan karya Pram yang membuatnya disebut-sebut masuk nominasi untuk Nobel Sastra itu.”

Saidu menepati apa yang dikatakannya. Setiap kami berjumpa dia selalu menceritakan kisah yang akan ditulisnya menjadi sebuah novel. Aku bagai mengikuti cerita bersambung yang membuatku penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya. Memang kuakui kisah ini akan menjadi sebuah novel yang fenomenal jika nantinya benar-benar terbit.

“Sudah sampai mana kau tulis novelmu itu?” tanyaku suatu ketika. Seingatku waktu kami berdua jalan kaki luntang-lantung tak tentu arah keliling kota di malam hari.

Saidu diam beberapa saat sebelum menjawab, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku.

“Aku sudah menulis semuanya di buku catatanku. Masih berantakan dan belum kupindahkan ke komputer.”

“Jadi bagaimana lanjutan kisahnya? Aku jadi penasaran dibuatnya. Sudah seminggu ini kau menghilang.”

“Memang beberapa hari ini aku agak sibuk. Ada beberapa cerpen yang kutulis di samping memikirkan novelku itu. Terakhir sampai di mana ya? Si tokoh utama hampir ketahuan penyamarannya?”

Aku mengangguk. Saidu pun kembali mendongengkan lanjutan kisahnya sepanjang jalan kami menyelusuri kota yang telah tertidur hingga kami kelelahan dan memutuskan merebahkan diri sampai terlelap di bangku taman kota.

Hingga suatu hari Saidu datang ke indekosku seperti biasa. Tapi kali ini kulihat wajahnya terlihat sedih dan sikapnya pun tak seperti biasa. Dia lebih banyak diam dan tak banyak bicara.

“Ada apa, Kawan?” tanyaku pada Saidu yang berbaring sambil membaca majalah Horison lama yang diambilnya dari rak buku.

Saidu seolah tak mendengar suaraku dan matanya terus terpaku pada kata-kata dalam majalah bekas yang kubeli berdua dengannya di Gladak sebulan yang lalu. Kami berdua memang gemar berburu buku dan majalah bekas di Gladak dan Sriwedari, atau sesekali pergi ke Jogja.

Aku membiarkan Saidu asyik dengan bacaannya dan menyibukkan diriku dengan mengedit naskah cerpen di komputerku sebelum kukirim ke koran. Tanpa ditanya pun nanti dia pasti akan bercerita.

“Aku sepertinya harus meninggalkan kota ini.”

Kata-kata Saidu yang seolah sedang berbicara sendiri itu membuatku tersentak dan mengalihkan perhatianku dari layar komputer.

“Memangnya kau mau ke mana?”

“Aku akan pulang kampung.”

“Ah, kukira mau ke mana.”

“Kali ini sepertinya untuk selamanya. Abahku sakit parah. Mungkin aku akan melanjutkan kuliah di Pekanbaru saja.”

Aku terdiam mendengarnya. Sudah sering kudengar cerita Saidu tentang keluarganya. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dia memiliki tanggungjawab yang besar.

“Tanpa kau aku pasti akan kesepian, Kawan.”

Dia tertawa mendengarnya.

“Sudah saatnya mencari perempuan untuk kau pacari biar tak kesepian,” selorohnya.    

Hari itu kuminta dia menceritakan lanjutan kisah novel yang akan ditulisnya. Sayang kisahnya masih jauh dari kata tamat.

“Biar kau penasaran dan mau membeli bukunya kalau terbit nanti,” kata Saidu ketika meninggalkan kamarku sore itu.

Dua hari kemudian aku mengantar Saidu ke terminal Tirtonadi. Sebelum naik ke dalam bus yang akan membawanya kembali ke kampung halaman untuk selamanya itu kujabat erat tangannya.

“Jangan lupa tetaplah menulis dan selesaikan novelmu itu. Aku penasaran dengan kelanjutan kisahnya.”

“Tenang saja. Kau akan menjadi pembaca pertama novel debutku.”

Kutatap sahabatku itu menyandang ransel biru lusuhnya hingga menghilang dari pandangan. Dua bola mataku terasa hangat dan terasa berkaca-kaca. Aku paling benci yang namanya perpisahan.

Hari-hari yang kulalui mulanya terasa aneh tanpa kehadiran Saidu. Aku merasa kehilangan seorang sahabat dan juga kisah bersambung dari novel yang akan ditulisnya itu. Awalnya kami masih sering saling bertukar kabar melalui surat, namun seiring berlalunya waktu komunikasi antara kami semakin jarang hingga akhirnya terputus begitu saja.

Nama Saidu pun menghilang dari dunia sastra. Tak pernah lagi kutemui namanya tertera di bawah judul cerpen yang dimuat di media massa. Mungkin dia kini terlalu sibuk sebagai kepala keluarga pengganti abahnya yang telah tiada hingga tak punya waktu untuk menulis.

Waktu berlalu, rezim berganti. Aku lulus kuliah dan bekerja sebagai wartawan. Banyak hal yang telah berubah. Namun, kisah dari novel yang akan ditulis Saidu terus teringat olehku. Sayang rasanya jika kisah sebagus itu harus hilang tanpa pernah dituliskan dan dibaca oleh banyak orang.

Akhirnya aku merasa terdorong untuk mengisahkannya berdasarkan apa yang kuingat. Hampir setahun aku menuliskannya hingga kisahku terhenti di bagian akhir yang sempat diceritakannya padaku. Aku tak tahu harus bagaimana melanjutkannya.

Naskah novel setebal tiga ratus halaman lebih itu akhirnya menggantung begitu saja. Untunglah filenya masih kusimpan baik-baik, berpindah-pindah dari komputer ke disket, lalu ke laptop dan diska lepas.  

Suatu ketika dalam sebuah tugas meliput kebakaran hutan di Riau, di sebuah kedai kopi seseorang menepuk bahuku dan menyebut namaku. Dia Saidu. Penampilannya kini sudah jauh berubah. Necis. Tak tersisa lagi sosok seniman bohemian bergaya urakan dua puluhan tahun lalu.

Kami pun mengobrol lama. Membicarakan masa lalu dan menceritakan segala yang terjadi selama kami tak saling mengetahui kabar satu sama lain.

Saidu telah menjadi tauke sawit kini, begitu dia menyebut dirinya. Ketika kutanyakan bagaimana nasib novel yang dulu dikisahkannya kepadaku itu, dia hanya tertawa terbahak-bahak.

“Ah, kau masih ingat saja. Aku malah sudah lupa. Itu kan masa muda dulu. Masa masih mudah merangkai kata. Di usia hampir setengah abad ini menulis satu kalimat pun rasanya sukar,” ujarnya.

Mendengar kata-kata Saidu waktu itu seketika aku tahu bagaimana mengakhiri novel yang kutulis.

Hari ini, di depan gedung Mahkamah Agung ini, aku serasa melihat awal kisah yang kutulis itu. Kisah perjuangan panjang yang akan berakhir serupa. 

***

ڤوهون اجايب بربواه امس

مڽكسيكن اورڠ-اورڠ ڤاڤوا برڤاكايان ادت مناري-ناري د دڤن ڤاڬر ڬدوڠ مهكامه اڬوڠ سائت مليڤوت اكسي مشراكت ادت ڤاڤوا هاري إني ممبواتكو تريڠت ڤادا تانه كلاهيرنكو سنديري، رياو

اڤ يڠ بارو اكن مرك الامي اداله ماس لالو باڬي كمڤوڠ هلامنكو. اوساه مرك اونتوق ممينت مهكامه اڬوڠ منچابوت إزين ڤروسهائن ساويت يڠ اكن منجاديكن هوتن ادت مرك منجادي اريال ڤركبونن رساڽ اكن سيا-سيا بلاك

تق براڤ لام لاڬي هوتن ادت سلواس سڤاروه ويلايه جاكرت اكن ديرتاكن دڠن تانه دان ديڬنتيكن درتن ڤوهون-ڤوهون اجايب بربواه امس إتو

سبواه كيسه ڤرلوانن اكن ترجادي، سبلوم اخيرڽ ڤارا ڤننتڠ مڽره دان منريماڽ سباڬاي سواتو كنيسچيائن. اه، سكتيك اكو تريڠت ڤادا سايدو

اكو بركنالن دڠن سايدو د سواتو اچارا ڤلاتيهن منوليس نوۋل د تامن بوداي سوراكرت سماس كولياه كتيك كريسيس مونتر ملندا نڬري إني سبلوم اخيرڽ منومبڠكن رزيم يڠ تله بركواسا سلام ٣٢ تاهون

للاكي برڤرواكن كوروس تيڠڬي، برمبوت ڬوندروڠ، بركوميس دان برجڠڬوت يڠ مڠناكن كاوس اوبلوڠ سرت چلان جين بيرو لوسوه إتو ممبواتكو تريڠت سوسوق سوترجي چلزووم بخري د ماس موداڽ

سوده كوكتاكن ڤداڽ بهوا إي ميريڤ ڤرسيدن ڤڽائير إندونسيا إتو إي هاڽ ترتاوا دان كموديان بركات، “ي، كامي ممڠ سام-سام داري رياو.”

“اورڠ تواكو جوڬ داري رياو، تاڤ سجق كچيل اكو سوده منيڠڬلكن رياو دان برڤينده-ڤينده مڠيكوتي توڬس ايهكو،” بريتاهوكو

“اه، بررتي كيت ساودارا سكمڤوڠ يڠ برتمو د ڤرنتاوان،” سروڽ سراي مرڠكول باهوكو ارت-ارت

اكو دان سايدو منجادي اكرب دان تق ترڤيسهكن لاڬي سلام دوا هاري ڤلاتيهن إتو. ستله ڤلاتيهن براخير كامي ڤون ماسيه سريڠ برتمو. كڬمارن كامي ڤادا دونيا مڠارڠ ممبوات كامي سلالو مميليكي باهن اوبرولن دان ساليڠ برسايڠ دالم بركاريا. چرڤن كاريا كامي بردوا برڬنتي-ڬنتيان ديموات د كورن-كورن دائره وكتو إتو

“اكو بارو مولاي منوليس نوۋل،” كات سايدو كتيك ديا داتڠ ك إندكوسكو ڤادا سواتو هاري

“وه، هبت كاو. تنتڠ اڤ كيسهڽ؟

سايدو لالو منچريتاكن سچارا ڬاريس بسر إد نوۋلڽ. كيسه تنتڠ سئورڠ ڤمودا يڠ مننتڠ ڤمبوكائن كبون ساويت د كمڤوڠ هلامنڽ. كبون كارت ڤندودوق دس دان هوتن ادت ديرتاكن دڠن تانه دان برڬنتي دڠن بيبيت-بيبيت ساويت. اكو هاڽ مندڠركن تنڤ بركومنتر

“الم مروڤاكن سومبر ڤنداڠن هيدوڤ دالم بركريا. فلسافه باڬي كيت ڤارا سنيمن. كاو تنتو ڤرنه مندڠر ڤڤاته لام يڠ مڽبوتكن الم تركمبڠ جادي ڬورو.” اوجرڽ

اكو هاڽ مڠڠڬوق مڠياكن

“مانوسيا مڠوبه الم، مڠوبه سڠ ڬورو. تنتو سڠ ڬورو اكن ممبري اوجيان بروڤ برباڬاي بنچان.”

اكو كمبالي هاڽ مڠڠڬوق-اڠڬوق منچوب منچرن اڤ يڠ ديكتاكن سهابتكو إتو. جيك الم بروبه، اڤاكه فلسافه اكن بروبه ڤولا باتينكو

“سموڬ نوۋلمو چڤت سلساي. اكو سوده تق سابر إڠين ممبچاڽ.”

“دوعاكن ساج. كاو كن تاهو إني إد يڠ ساڠت بسر. موڠكين اكن سڤرتي ڬابو يڠ ممبوتوهكن بلاسن تاهون سبلوم مموتوسكن منوليس سراتوس تاهون كسوڽيان دان ساتو ستڠه تاهون لاڬي اونتوق منوليسكنڽ.”

اكو ترديام مندڠر سايدو ممبنديڠكن ديريڽ دڠن ڬبريال ڬرچيا مرقواز، ڤنوليس لڬنداريس ڤمنڠ هادياه نوبل داري امريك لاتين إتو. نامون، هاروس كواكوي إد نوۋلڽ بنر-بنر مموكاو. سبواه نوۋل برڬنر رياليسم ماڬيس يڠ بركيسه تنتڠ هل-هل تق كاست مات دان مليڤوتي مساله إديولوڬي، ڤوليتيك، اكونومي، سوسيال بوداي، سكاليڬوس ڤرتهانن دان كئمانن، يڠ تنتوڽ ديبومبوي جالينن اسمارا توكوه-توكوهڽ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini