sumber ilustrasi asli: bing

Riausastra.com – Kegagalan orang suruhan Mahmud, untuk membunuh Wan Anom. Menjadikan hidup Mahmud, tidak tenang penuh dengan kegelisahan. Menjadikan hari-harinya penuh beban. Ketakutan yang melekat pada setiap helaan nafas. Sesuatu yang mengganggu setiap pergerakan hidupnya. Beban yang sangat berat. Membunuh manusia merupakan, hal yang tidak bisa membuat kita lega dari segala masalah.

“Wan Anom, hidup. Wan Anom hidup,” orang-orang suruhan Mahmud kaget melihat aku. Setelah aku berhenti berkurung di rumah. Selama 10 tahun.

“Wan Anom yang mana?” Kata seseorang.

“Wan Anom pemakan nangka Mahmud,” jawab yang lain.

Orang-orang suruhan Mahmud, berteriak-teriak. Entah berapa jumlah orang-orang yang berkeliaran di jalan setapak itu. Tapi suaranya cukup membuat jantung berdegub-degub. Mereka heran, karena aku telah dianiayanya 10 tahun yang lalu. Kini masih hidup.

Aku sudah direncanakan, untuk dibunuh saat hamil pertama. Rencana itu, terbongkar dari mulut ke mulut. Semua terbongkar dari cerita orang-orang pasar. Untung saja orang-orang pasar sangat menyayangi aku. Karena aku tidak pernah berbuat buruk. Tidak pernah kasar dalam bicara. Maka, mereka memberi tahu aku tentang perencanaan tersebut.

Di antara rumput ilalang yang tumbuh subur. Aku menyusuri jalan setapak. Jalan yang melewati muka rumah Mahmud. Di tepi jalan itu, terdapat pohon yang besar. Pohon itu adalah pohon nangka yang sedang berbuah. Aku melihat Mahmud sedang duduk di depan rumah.

Saat aku lewat, di depan rumah panggung itu. Mahmud lansung menyapa, terlihat wajahnya penuh rasa cemas. Wajahnya terlihat pucat. Menyimpan rasa takut yang sangat lama. Seperti menyimpan masalah bertimbun-timbun.

“Bukankah engkau sudah mati?” Tanya Mahmud kepadaku.

“Dulu aku memang mati. Tapi itu hanya dalam sejarah!” Aku terus berjalan.

“Apakah engkau, kembaran Wan Anom?”

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku terus berjalan dengan langkah kaki cepat. Walau pun perut terasa berat. Umur kandunganku, sudah berjalan 7 bulan. Tinggal 2 bulan lagi akan melahirkan. Jalan itu, jalan yang sudah lama tidak aku tempuh. Selama 10 tahun, aku tidak pernah melewati jalan setapak depan rumah Mahmud. Jalan itu merupakan jalan penuh dendam. Penuh amarah. Penuh amukan. Sebab di jalan itulah aku pernah ditangkap oleh orang suruhan Mahmud. Lalu dibawa ke rumahnya. Dan merencanakan untuk membunuhku, akibat aku memakan buah nangka miliknya. Untung saja aku terselamatkan dari peristiwa itu. Aku pun merasa penuh dengan keajaiban. Karena aku tidak menyangka bisa selamat dari pembunuhan, orang suruhan Mahmud. Padahal kaki, tangan, dan mulut sudah diikat.

Mahmud ingin membalas dendam. Akibat aku memakan buah nangka miliknya. Waktu itu, kebetulan Megat suami aku. Sedang ditugaskan untuk menjaga perbatasan. Untuk mengusir para perampok yang sedang mendekati Kampung Melayu. Perampok itu, sudah meresahkan masyarakat setempat. Mereka ingin menguasai Kampung Melayu. Memaksa rakyat-rakyat kecil untuk meninggalkan kampung itu. Mereka ingin menjadikan Kampung Melayu. Sebagai tempat perkumpulan para perampok dunia.

Mereka ingin menguasai Kampung Melayu. Kampung yang sudah ribuan penduduk yang tinggal di sana. Kampung yang sudah tua. Kampung yang sudah eksis sejak tahun 1720 masa kekuasaan Sulaiman Badrul Alam Syah. Maka Megat memperjuangkan, melawan perampok khianat tersebut.

***

Perasaan Mahmud terus diganggu oleh masa lalunya. Perasaan yang tak bisa ditebak. Baginya perasaan yang buruk. Semuanya yang dikerjakan akan merasa tidak benar. Begitulah perasaan hidup yang dirasakan Mahmud.

“Aku telah menyusun rencana dengan baik. KenapaWan Anom masih hidup,” ujar Mahmud kepada orang suruhannya, yaitu Sribijawangsa.

“Aku tidak tahu Tuan. Padahal saya telah mengikat segala yang bergerak pada tubuhnya.”

“Lalu kenapa engkau tidak membunuhnya waktu itu?”

“Ketika kami ingin menghunuskan pisau ke perutnya. Tiba-tiba ada seseorang datang, lalu membawanya. Dalam sekelip mata ia lansung hilang.”

“Ia tak hilang. Setelah 10 tahun kejadian itu. Tadi pagi ia lewat depan rumah.” Sedikit meninggikan suaranya kepada Sribijawangsa.

Sribijawangsa hanya diam. Ia merasa bersalah. Gagal dalam menjalankan perintah Mahmud. Merasa dirinya tidak berguna. Sebab tidak berhasil membunuh seorang perempuan yang lemah. Padahal semua kejadian itu, berasal dari hasutannya kepada Mahmud. Mengfitnah Wan Anom. Sehingga Mahmud, berniat untuk membunuhnya. Karena bagi Mahmud, Wan Anom telah memberikan sisa kepadanya.

Waktu itu, Madi membawa nangka milik Mahmud di depan rumah Wan Anom. Lalu Wan Anom meminta nangka yang dibawa Madi. Sedangkan nangka itu milik Mahmud. Lalu tanpa pikir panjang Madi tetap memberikan nangka itu. Dengan melobangi nangka itu, sekecil mungkin. Agar tidak terlihat oleh Mahmud. Dan ada rasa kasian Madi dalam hatinya. Rasa kasian, membuat semua orang akan lembut kepada siapa pun. Termasuk kepada Wan Anom yang memang sedang mengidam buah nangka itu.

Kejadian itulah, membuat Mahmud marah besar. Sampai-sampai berniat untuk membunuh Wan Anom. Tanpa memikirkan Megat yang telah berjuang di perbatasan Kampung Melayu. Atas perintah Mahmud dan demi kenyamanan rakyat Kampung Melayu.

Padahal Mahmud telah dianggap sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Maka ia dipilih rakyat untuk menjadi pemimpin. Namun hanya karena memakan buah nangka. Mahmud berubah menjadi pembunuh rakyatnya sendiri. Merubah pikiranya, merubah kebaikannya menjadi kekejaman.

“Apakah Megat sudah pulang dari perbatasan?” Ujar Mahmud.

“Menurut iformasinya, malam ini ia akan pulang Tuan,” jawab Sribijawangsa.

“Kalau Megat pulang, apakah kita akan dibunuhnya?” Mahmud resah. Hatinya penuh dengan ketakutan. Sebab, kalau Megat yang mengamuk di kampung itu. Tak ada satu pun yang berani menghentikannya.

“Ia sering pulang Tuan. Kalau Megat ingin membunuh kita. Tentu, sudah lama datang ke sini. Sejak istrinya kita tangkap,” Sribijawangsa, menjawab dengan tenang. Tidak ada beban, untuk menjawab pertanyaan dari Mahmud yang sedang panik.

“Aku kira, selama ini Wan Anom sudah mati. Makanya Megat mau menjaga perbatasan. Sebagai cara untuk menghilangkan rasa gundahnya. Rupanya, tidak!”

“Kalau Wan Anom mati waktu itu, tentu Megat akan menghuru-harakan kampung ini Tuan. Akan mencari semua penyebabnya. Sampai ke akar-akar.”

“Berarti Wan Anom belum menceritakan kejadiannya waktu itu?”

“Belum Tuan. Mungkin Wan Anom menunggu waktu yang tepat. Sebab Megat terlalu sibuk. Dan rasanya tidak mungkin Wan Anom ingat dengan kejadian yang sudah 10 tahun berlalu.”

Sribijawangsa menenangkan Mahmud yang sedang panik. Memberi alasan-alasan yang masuk akal. Sehingga Mahmud tidak merasa resah dan gelisah. Sribijawangsa merupakan orang yang paling pandai berbicara. Perkataannya selalu didengar oleh Mahmud. Sribijawangsa mempunyai akal yang cerdas dan licik. Ia menjadi pendamping Mahmud, sejak Mahmud diangkat menjadi pemimpin Kampung Melayu.  Mahmud berubah menjadi kejam, juga akibat hasutan Sribijawangsa. Sribijawangsa juga terkenal pandai bersilat lidah.

***

Aku mencoba, merayu Sribijawangsa yang sedang duduk di ujung pelabuhan. Sambil melihat gelombang laut. Ia seperti mengawasi Megat. Sebab ia takut, kalau Megat pulang. Takut kalau aku akan menceritakan kejadian 10 tahun lalu.

Ketika aku belum menikah dengan Megat. Ia pernah menaruh hati padaku. Itu salah satu ia menghasut Mahmud untuk menugaskan Megat di perbatasan. Agar ia bisa membalas dendamnya kepadaku waktu itu. Tapi kali ini, aku mencoba merayunya, agar bisa membunuhnya.

“Masih hidup dan masih tetap cantik,” Sribijawangsa ketawa kecil.

“Masih, tapi aku kesepian, sebab Megat belum pulang dari perbatasan,” jawab Wan Anom.

“Engkau hamil lagi?”

“Iya, setelah ke guguran kemarin. Aku hamil lagi!”

“Kejadian ketika ditangkap orang suruhan Mahmud?” Sribijawangsa memberi pertanyaan. Seakan-akan tidak terlibat dalam msalah penangkap Wan Anom waktu itu.

“Iya, hanya seulas nangka, aku hampir dibunuhnya. Padahal aku sedang mengidam. Tak punya rasa kasihan dalam hatinya. Padahal ia pemimpin yang dipilih masyarakat, yang dianggap baik!”

Aku mendekatinya, sambil mengelus-eluskan perutku. Ia seperti tidak punya kecurigaan terhadap apa yang ingin aku lakukan. Aku lihat laut, gelombangnya cukup besar. Deras air surut sangat laju. Aku pegang bahunya, ia hanya menoleh memberi senyuman. Aku pegang punggungnya, ia memejamkan mata. Aku kumpulkan kekuatan tanganku, dengan sekali dorongan. Sribijawangsa lansung jatuh ke dalam laut.

Pekanbaru, 2023

***

ڤرمڤوا مڠيدم نڠك

كڬڬالن اورڠ سوروهن مهمود، اونتوك ممبونوه ون انوم. منجاديكن هيدوڤ مهمود، تيدق تنڠ ڤنوه دڠن كڬليساهن. منجاديكن هاري-هاريڽ ڤنوه ببن. كتاكوتن يڠ ملكت ڤادا ستياڤ هلائن نافس. سسواتو يڠ مڠڬڠڬو ستياڤ ڤرڬراكن هيدوڤڽ. ببن يڠ ساڠت برت. ممبونوه مانوسيا مروڤاكن هل يڠ تيدق بيس ممبوات كيت لڬ داري سڬالا مساله

“ون انوم، هيدوڤ. ون انوم، هيدوڤ،” اورڠ-اورڠ سوروهن مهمود كاڬت مليهت اكو. ستله اكو برهنتي بركوروڠ د رومه. سلام ١٠ تاهون

“ون انوم يڠ مان؟” كات سسئورڠ

“ون انوم ڤماكن نڠك مهمود،” جاوب يڠ لاين

اورڠ-اورڠ سوروهن مهمود، برترياق-ترياق. انته براڤ جومله اورڠ-اورڠ يڠ بركليارن د جالن ستاڤق إتو. تاڤي سواراڽ چوكوڤ ممبوات جنتوڠ بردڬوب-دڬوب. مرك هرن، كارن اكو تله ديانياياڽ ١٠ تاهون يڠ لالو. كيني ماسيه هيدوڤ

اكو سوده ديرنچناكن، اونتوق ديبونوه سائت هاميل ڤرتام. رنچان إتو، تربوڠكر داري مولوت ك مولوت. سموا تربوڠكر داري چريت اورڠ-اورڠ ڤاسر. اونتوڠ ساج اورڠ-اورڠ ڤاسر ساڠت مڽياڠي اكو. كارن اكو تيدق ڤرنه بربوات بوروق. تيدك ڤرنه كاسر دالم بربيچارا. ماك، مرك ممبري تاهو اكو تنتڠ ڤرنچنائن ترسبوت

د انتارا رومڤوت إلالڠ يڠ تومبوه سومبور. اكو مڽوسوري جالن ستاڤق. جالن يڠ ملواتي موك رومه مهمود. د تڤي جالن إتو، ترداڤت ڤوهون يڠ بسر. ڤوهون إتو اداله ڤوهون نڠك يڠ سدڠ بربواه. اكو مليهت مهمود سدڠ دودوق د دڤن رومه

سائت اكو ليوت، د دڤن رومه ڤڠڬوڠ إتو. مهمود لڠسوڠ مڽاڤ، ترليهت واجهڽ ڤنوه راس چمس. واجهڽ ترليهت ڤوچت. مڽيمڤن راس تاكوت يڠ ساڠت لام. سڤرتي مڽيمڤن مساله برتيمبون-تيمبون

“بوكنكه اڠكاو سوده ماتي؟” تاڽ مهمود كڤداكو

“دولو اكو ممڠ ماتي. تاڤي إتو هاڽ دالم سجاره!” اكو تروس برجالن

“اڤاكه اڠكاو، كمبارن ون انوم؟”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini