sumber foto asli: pixabay

Benarkah orang yang melakukan kebaikan selalu dikatakan orang baik? Benarkah orang yang melakukan kejahatan selalu dikatakan orang jahat? Bagaimana pula halnya dengan orang yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran, tetapi tetap dikatakan sebagai seorang penjahat?

Riausastra.com – Lelaki itu bernama Samseno, akrab disapa Pak Sam. Saat ini menginjak usia tiga puluh dua tahun. Ia seorang aparatur sipil negara yang bekerja sebagai sekretaris daerah di sebuah instansi pemerintahan. Lebih tepatnya disebut mantan ASN karena jabatan itu baru saja ia lepas. Bukan karena mengundurkan diri atau maju mencalonkan diri dalam pilkada usungan partai politik. Tapi pemberhentian sepihak karena dianggap melakukan kejahatan yang sampai saat ini tidak bisa ia pahami.

***

Seorang lelaki muda berpakaian jas hitam sedang duduk di ruang tunggu. Sebuah tas persegi berwarna hitam dan beberapa tumpukan map sudah berada di atas meja. Matanya terlihat sibuk memperhatikan kertas-kertas penuh tulisan, seperti sebuah catatan panjang tentang hukuman seorang manusia. Ketika Pak Sam mendekatinya, lelaki berpakaian jas hitam itu membentulkan letak kaca matanya yang melorot.

“Pak pengacara rupanya.”

“Apa kabar Pak Sam?” pengacara itu menjabat tangan dengan hangat.

Itu hanya basa-basi. Ia pasti bisa membaca penampilanku yang acak-acakan. Bahkan jika ditawarkan, tidak akan ada seorang pun yang mau mendekap di ruang tahanan ini walaupun hanya satu menit, pikir Pak Sam dalam hati.

“Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Pak Sam. Ia menghenyakkan pinggulnya ke kursi panjang. Mereka duduk berhadapan.

“Kita bisa urus naik banding, Pak. Saya beserta tim nanti akan mencari jalan keluarnya agar hukuman bapak bisa diringankan”  katanya mantap.

“Berapa pun akan saya bayar asal bisa keluar dari tempat busuk ini.” Pak Sam mendekatkan wajah ke telinga pengacara itu. Khawatir kalau-kalau suaranya didengar orang sekitar.

“Kami akan berusaha, Pak” katanya sambil tersenyum.

Sedikit rasa lega merongga di dada. Pada situasi seperti ini pengacara sekaligus kuasa hukum adalah dewa penyelamat untukku, desah Pak Sam.

Seorang petugas mendekat, “Maaf, Pak. Waktu kunjungan sudah habis.”

***

“SETAAANN”

“KURANG AJAARR”

Pak Sam berteriak kesetanan sambil menghempas berkas perkara itu ke dinding sekuat tenaga. Berkas yang berisi lembar-lembar kertas itu berserakan tanpa arah di atas lantai. Gigi gemeretuk dan tangan gemetar. Wajahnya merah padam dan tulang rahang mengatup keras. Belum tuntas rupanya luapan itu keluar dari ubun-ubun. Pak Sam menghampiri lembar-lembar kertas itu dengan langkah seribu lalu ia pijak-pijak membabi buta dengan kata-kata sumpah serapah. Tak puas sampai di situ. Dinding bercat putih bersih itu menjadi pelampiasan, ia berhasil melayangkan bogem mentah berkali-kali. “dug dug dug dug”. Spontan saja, darah segar mengalir dari kepalan tangan. Rasa sakit yang menyeruak dalam dada terasa lebih pedih.

“Penambahan Masa Tahanan” itulah kalimat terakhir berkas perkara itu. Hasil naik banding yang diperjuangkan berakhir sia-sia. Dengan pengharapan masa tahanan akan berkurang, tapi hasilnya malah sebaliknya. Pengacara pribadi sekaligus kuasa hukum Pak Sam hanya tertunduk dan terpaku seribu bahasa saat hasil sidang dibacakan. Lengkap sudah, Pak Sam menyandang titel terpidana kasus korupsi dengan masa kurungan sepuluh tahun penjara. 

Sendi-sendi Pak Sam terasa lunglai. Tungkai-tungkai kaki seakan remuk tak kuasa lagi menampung beban derita. Pak Sam terjatuh dan terduduk lemah. Ia menatap kertas-kertas berserakan itu satu per satu. Ia mulai hilang akal. Pandangannya tak mampu lagi menerobos waktu. Nanar. Dada terasa sesak.

Ia mencoba menata hati yang beku. Menyandarkan punggung pada dinding. Mencoba berdamai dengan waktu yang tak lagi mengenal kasih. Kepalan tangan dan jari-jari terasa perih, bahkan beberapa bagian ada yang lebam. Tapi ujung-ujung jari seakan tak peduli malah memilih bersembunyi dibalik ujung kaos yang ia pakai. Seakan tahu tulisan “tahanan” bertengger kokoh di punggungnya. Sengaja ia melipat kedua lututnya. Ia biarkan wajahnya menengadah. Ia berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang ada untuk memejamkan mata. Bukan tidur. Tapi enggan melupakan peristiwa naas itu.

Masih bermain-main dalam ingatan Pak Sam. Ketika itu, Pak Walikota menyuruhnya menandatangani beberapa berkas keuangan yang bernilai triliunan rupiah. Pak Walikota berdalih, keuangan proyek itu masih di bawah pantauan dan pengawasan sekretaris daerah. Pak Sam termasuk orang yang sangat patuh pada pimpinan. Segera saja ia mengiyakan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.

“Toh, aku tidak mendapatkan uang sepersen pun dari proyek itu. Sudah sewajarnya aku membantu semua tugas Pak Walikota. Tapi pada akhir perjalanan, tanda tangan itu berubah menjadi jerat yang siap untuk menangkap leherku. Mengantarkan aku ke ruang pesakitan ini.“ teriaknya pilu. Air mata sudah menggenang di ujung lipatan mata. Ia memukul dinding lagi. Kepalanya tertunduk.

Pak Sam mencoba membuka mata. Bayangan itu masih tergambar jelas bahkan seperti putaran video di langit-langit jeruji. Nama Pak Sam disebut-sebut KPK saat memberikan laporan setelah supervisi. Pak Sam pun diborgol polisi. Sejak saat itu di mata semua orang bahkan di mata dunia Pak Sam adalah seorang koruptor.

Tapi pikiran dan hati Pak Sam tidak bisa menerima kenyataan itu. Karena sejak kecil, ia mendapat didikan dari orangtua agar selalu berlaku jujur. Kata ayah, berkah dari kejujuran adalah salah satu pintu menuju kesuksesan. Bu Elma, guru PPkn di SD juga pernah berpesan bahwa bersikap jujur merupakan pengamalan sila pertama Pancasila yang meyakini bahwa Tuhan melihat setiap perbuatan yang kita lakukan. Tapi hari ini, ia harus menjalani hukuman yang ia sendiri tidak paham dengan kesalahan yang telah ia lakukan.  

Waktu terus berlalu, berjalan terus seperti putaran roda. Hari ini atau esok ruang pengap ini akan terus menyiksa sukma. Pak Sam memberanikan diri untuk mengumpulkan seluruh kekuatan segenap jiwa dan raga dari harapan-harapan yang tersisa. Siang atau malam di luar sana, bahkan tanggal dan nama hari pun ia tidak ingat lagi. Waktu seakan telah pergi meninggalkan dosa-dosa yang tak mampu untuk dieja dengan mata hati.

Berada dalam satu sel penjara bersama dengan empat puluh tahanan lainnya. Sempit. Pengap. Fasilitas seadanya. Jeruji besi yang tinggi dan kokoh seakan menjadi perisai menyesakkan rongga paru-paru sehingga ia sulit bernapas dan beranjak ke tempat lain. Lantai yang dingin tak mampu membekap rindu.

Ia mendesah. Menarik napas panjang. Menatap langit-langit ruang tahanan yang berwarna putih. Bersih memang, tapi tak bisa mendamaikan hati yang gundah. Resah yang teramat sangat membuncah di dalam dada. Di pelupuk mata Pak Sam, berkelebat bayangan wajah si kecil, anak laki-lakinya yang masih berumur empat tahun. Senyumnya yang ceria saat Pak Sam mengajaknya bermain mobil-mobilan sepulang dari kantor. Bayangan Fina, anaknya yang perempuan, saat ini kelas lima SD. Ia akan tertawa lebar saat Pak Sam menggelitik tubuhnya. Bayangan wajah istrinya yang cantik selalu setia menghidangkan masakan terbaik. Semuanya menghantui setiap jengkal pikiran setiap kali ia membuka mata.

Peristiwa itu masih tergambar jelas. Teriakan-teriakan masyarakat yang berkerumun di halaman pengadilan. Suara-suara lantang itu lebih menyakitkan daripada tusukan sebilah pisau.

“Penjahat uang rakyat”

“Jangan beri ampun”

“Koruptor harus digantung”

Pak Sam sangat mengenal wajah-wajah di kerumunan itu. Pimpinan panti asuhan yang setiap bulan ia titipkan sedekah untuk anak-anak yatim. Pimpinan amil zakat yang setiap bulan ia sempatkan berdiskusi mencari solusi untuk kemaslahatan umat. Para pemuka agama yang sering bertemu di masjid. Para tetangga yang ia datangi sekedar mengantar sembako setiap hari Jumat. Tatapan mereka yang dulu lembut telah menguap di udara, berubah bagai mata singa ingin menangkap mangsa. Sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka menjadi pisau yang siap menghujam jantung.

“Jangan beri kami uang haram”

“Tikus berdasi”

Ah, teriakan-teriakan itu masih terus saja menggema, pekik Pak Sam sambil menutup kedua telinganya.

“Ada tamu, Pak Sam” kata seorang petugas. Dengan cekatan ia membuka gembok pintu sel.

Pak Sam segera bangkit lalu merapikan rambutnya yang kusut dengan ujung-ujung jari. Segera ia hapus sisa-sisa air mata yang masih menggenang di sudut mata. Dengan langkah yang agak terburu-buru ia bergegas melangkah menuju ruang tunggu. 

“Ayah….” teriak seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun. Ia menubruk tubuh Pak Sam saat memasuki ruang tunggu. Seorang anak laki-laki berumur empat tahun ikut mengejar dari belakang. Pak Sam memeluk dan merangkul dua kakak beradik itu. Air mata kerinduan mengalir deras di pipinya bagai desakan tombak-tombak hujan menghantam bumi. Air mata itu menyesak dada dan tidak bisa terbendung lagi.  

“Ayah kapan pulang?”

“Ingin main mobilan bersama ayah.”

Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir mungil tak berdosa itu semakin membuat dadanya sesak. Remuk.

“Iya doakan ayah segera pulang ya.” jawab Pak Sam dengan senyum yang dipaksa.

“Iya, ayah. Kami selalu berdoa agar ayah bisa keluar dari tempat ini dan kita bisa berkumpul lagi seperti dulu.” kata-kata sejuk muncul dari seorang wanita anggun yang dari tadi memperhatikan. Ia mengambil jari-jari tangan Pak Sam lalu ditempelkan di keningnya dengan takzim.

“Bagaimana keadaanmu, sayang?” Pak Sam menatap mata wanita itu. Butiran-butiran luka juga menyesak di dalamnya.

“Kami baik-baik saja, sayang.” Wanita itu berusaha untuk tersenyum.

Pak Sam sangat mengenal karakter wanita yang telah dinikahinya itu. Wanita yang sangat pandai menyimpan perasaan. Ia tahu wanita itu berbohong. Rasa bersalah membuat Pak Sam tidak kuasa lagi membendung air mata yang dari tadi menyesak. Ia merangkul punggung anak-anak dan istrinya itu. Isak tangis keluarga itu berkumpul menjadi satu.

“Ayah, teman-teman di sekolah menyebut aku anak koruptor, itu tidak benar kan ayah?”

“Semua teman aku menjauh. Mereka bilang aku makan uang haram. Apa itu benar ayah?”

Fina menatap bola mata Pak Sam, ingin mendapatkan jawaban langsung. Namun Pak Sam hanya menunduk tidak sanggup membalas tatapan polos itu. Aku gagal menjadi seorang ayah yang membanggakan. batinnya.

“Fina. Kita duduk dulu yuk, kasihan ayah tuh. Nanti kaki ayah pegal lama berdiri.” Istrinya berusaha mengambil alih perhatian. Ia tak tega, pertanyaan anak-anak akan semakin membuat Pak Sam semakin terpuruk.

“Bagaimana keadaan ayah ibu, Sayang. Kerabat kita yang lain mana? Mengapa mereka tidak datang membesuk?” Pak Sam melebarkan mata mencari-cari bayangan.

“Untuk sementara ayah dan ibu, kerabat kita yang lain tidak bisa dihubungi, sayang. Aku sudah datang ke rumah mereka. Tapi katanya malu bertemu kita. Kita dianggap sudah mencoreng nama baik keluarga. Tidak mengapa sayang, kita jalani ujian ini sebagai takdir dari Tuhan.” Sebuah senyuman tabah keluar dari bibirnya yang merah. Ia mengelus lembut pundak Pak Sam.

Pak Sam menggigit bibir, wajahnya semakin tertunduk. Ia merasa sangat hina dan tidak berarti di mata keluarga dan masyarakat. Seakan sampah busuk yang harus dibuang jauh-jauh.

***

“Tolong..!, Tolong..! ada orang gantung diri.” teriak seorang narapidana.

“Siapa? Siapa?”

 “Koruptor uang rakyat itu.”

Seluruh penghuni lapas gempar.

Bau anyir menusuk hidung. Sebuah pesan berwarna darah membentang di langit-langit ruang tahanan. “AKU BUKAN PENJAHAT”

6 KOMENTAR

  1. Karya yang luar biasa Bu Tina, terkadang orang-orang yang jujur hanya dijadikan kambing hitam. Teruntuk orang- orang jujur jangan putus asa Allah tidak tidur biar buruk Dimata manusia tapi Anda mulia dihadapan Allah!

Tinggalkan Balasan ke Tina Harianti Batal membalas

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini