Riausastra.com – Keluarga Meli baru saja pulang dari Plaza Langit, pusat pertokoan mewah yang menjual robot dalam berbagai bentuk. Letaknya sekitar lima belas kilo meter dari rumah mereka. Plaza tersebut berbetuk ‘segitiga kotak’, dibangun di atas tanah seluas dua hektar. Keempat anggota Keluarga Meli membeli satu buah robot. Bentuknya berbeda-beda, namun memiliki fungsi yang sama; menciptakan pikiran baru.
Mereka tampak girang. Ayah Meli, Pak Sudarko memilih robot kadal berwarna hijau dengan bintik-bintik hitam di kulitnya. Sedangkan ibunya, Bu Ratmi lebih menyukai kuda nil. Mungkin karena ada kemiripan dengan dirinya yang gempal. Meli dengan kegirangannya, meminta ayahnya untuk membelikannya robot kelinci berwarna putih dengan ekornya hitam memanjang. Adiknya Meli, Tirta membeli robot humanoid, jenis robot berbentuk seperti manusia.
Dalam budaya rumah tangga, lumrah jika satu sama lain lebih menyukai interaksi secara langsung. Bersemuka sambil bertukar senyum dalam kehidupan nyata mejadi peristiwa penting dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya, keluarga Meli juga senang menyapa dan bercengerama dengan bunga-bunga yang dijejerkan di depan rumahnya dengan posisi yang teratur dan sedap dipandang. Bunga-bunga itu pun juga senang bercakap-cakap dan bertukar cerita tentang kehidupan bunga. Begitu pula sebaliknya, keluarga Meli senang berbagi cerita tentang kehidupan manusia kepada bunga-bunga.
Namun, setelah robot-robot itu dibeli dengan harga yang cukup mahal, sayang jika percakapan mereka dengan robot-robot tersebut terlewatkan begitu saja. Selama dua pekan, mereka mengisolasi diri dengan dunia luar, termasuk dengan kehidupan bunga-bunga. Pak Sudarko, Bu Ratmi, Meli, dan Tirta sibuk dengan robot mereka masing-masing. Keluarga kecil yang semulanya girang menghabiskan waktu di kamar keluarga dan di atas rerumputan mungil di halaman depan rumah kini tidak seramah itu. Percakapan mereka hanya sebatas pembicaraan tanpa suara, melalui robot-robot cerdas itu.
Bu Ratmi juga jarang memasak, padahal masakannya sangat lezat disukai seisi rumah. Bahkan aroma racikan rempah-rempah dan kaldu ayam juga sering membangunkan bunga-bunga taman dari tidurnya yang panjang. Tetangga mereka juga berfikir kalau Bu Ratmi tidak perlu bersusah payah menyirami bunga-bunga di setiap senja pagi dan sore hari. Cukup dengan racikan bumbu dapur yang didapat secara turun-temurun itu, bunga-bunga yang tersusun rapi itu bakal bergairah untuk hidup lebih lama lagi.
Tapi, semenjak dua pekan lalu, saat robot-robot itu tinggal di rumah Keluarga Meli, bunga-bunga itu enggan melanjutkan hidup. Bu Ratmi lebih suka memesan makanan lewat robot kuda nilnya. Aroma kaldu ayam dan racikan rempah yang khas yang dulu tidak bisa lagi tercium dan hinggap di pori-pori bunga-bunga. Mereka benar-benar terisolasi dari alam rerumputan dan hijau daun bunga-bunga di taman. Bunga-bunga itu dilarang mengadu, sebab mereka tak lebih dari tumbuhan yang tidak bisa menciptakan pikiran baru untuk manusia.
Pak Sudarko, ayah Meli juga mengalami hal yang sama. Pria kekar bermuka oval itu asik bermain dengan robot kadalnya. Bercengerama melalui percakapan singkat yang tak memiliki rasa dengan teman-teman kantornya atau barangkali dengan tetangganya. Terlihat lebih mudah dan tidak terikat dengan aturan percakapan biasa. Tidak seperti percakapan sehari-hari bersama tetangga yang mengharuskannya mengatur mimik wajah, intonasi suara dan membubuhkannya sedikit rasa di antara kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kini, Pak Darko hanya cukup menitip pesan melalu beberapa ketikan jari. Meski pesan itu kering, tidak memiliki mimik, dan intonasi yang datar, Pak Darko lebih senang membuat percakapan dengan robot kadalnya.
Bahkan, jika ada masalah rumah tangga, Pak Darko dan Bu Ratmi lebih banyak memilih menyelesaikannya lewat robot-robo mereka. Mereka enggan bersemuka langsung saling membagi tatap dan seikat senyuman sepasang kekasih. Bercumbu lewat robot, marah pun lewat seutas pesan robot. Kelihatannya cukup aneh, namun mereka percaya kalau robot bisa menyelesaikannya dengan kecerdasan yang dimilikinya.
Peristiwa lebih aneh datang dari kamar Meli. Gadis berumur tujuh belas tahun yang dulunya gemar menghabiskan waktu dengan suku kata dan aroma khas buku. Kamarnya penuh dengan deretan buku yang tersusun rapi di raknya, serapi sususan pot bunga di taman halaman rumahnya. Dua pekan sebelum Meli pergi bersama keluarnya ke Plaza Langit untuk membeli robot kelinci itu, dia menghabiskan waktu di atas meja belajar yang disedikan khusus oleh ayahnya atas permintaannya sendiri. Dia cinta dengan percakapan yang ada di dalam novel-novel remaja yang dia baca. Selain gemar membaca novel, ia juga menyantap habis buku-buku sekolahnya. Meli terkenal pintar di kelasnya. Selama dua tahun terakhir, gadis berambut ikal itu menyandang juara pertama di kelasnya.
Setiap pekan, ia selalu mengajak ibunya menemaninya ke toko buku. Dua-tiga buku dibelinya setiap pekan dan selalu habis dibaca. Ibunya sering merasa aneh, bagaimana cara Meli membaca habis buku-buku itu selama sepekan. Tapi, setelah robot kelinci itu berada di genggamannya, dia jarang pergi ke toko buku, atau barangkali tidak sama sekali. Dia lebih sering membaca cerita lewat robot kelincinya itu. Menurutnya, pilihan itu lebih instan daripada menghabiskan banyak tenaga ke toko buku. Katanya, buku-buku sekarang juga terlalu mahal. Akhirnya, buku-buku yang ada di rak bukunya pun hanya terdiam bisa melihat Meli selalu asik dengan mainan robot kelincinya itu.
Mengerjakan tugas sekolah pun Meli mengambil jalan yang mudah. Hanya dengan membisikkan soal ke telinga robot kelinci itu, jawaban akan terpampang begitu saja tanpa harus membolak-balik lembaran buku, mencari jawaban yang terselip di setiap lembarnya. Selain meminta bantuan ke robot kelincinya itu untuk mengerjakan tugas, ia juga sering meminta solusi tentang masa depan yang akan ia tempuh. Robot kelinci itu memberikan fantasi yang berlebihan, hingga Meli kadang menunjukkan perilaku aneh; sering tertawa sendiri dan diam seperti anak depresi yang ditinggal keluarganya seorang diri.
Pernah sekali waktu, guru fisika Meli mencermati perilaku Meli di dalam kelas. Meli yang dulu ceria dan selalu tanggap kini berubah menjadi anak yang lesu dan lunglai. Di atas mejanya selalu ada buku novel, tapi sekarang jauh berbeda. Hanya ada buku tulis yang penuh coretan. Coretan itu semakin bertambah saat gurunya sibuk menjelaskan rumus fisika yang dulu Meli gemari.
“Ada masalah apa, Nak Meli?” tanya Bu Santi saat jam istirahat, “Akhir-akhir ini Nak Meli kelihatan bengong.” Guru fisikanya itu menaruh perhatian yang lebih kepada Meli.
“Tidak ada, Bu.” Jawabnya lemas.
Bu santi bingung. Akhirnya, dia mencoba membuka buku tulis milik Meli yang penuh coretan itu. Ternyata, bukan hanya corat-coret polpen seperti coretan benang kusut, tapi juga penuh dengan tulisan tentang robot kelinci yang berderet-deret!
“Robot kelinci?” tanya Bu Ratmi penasaran.
“Ya, Bu. Itu hadiah tahun baru yang dibelikan ayah,” jawabnya dengan suara parau, “dia sahabat yang menemaniku setiap waktu. Dia membantuku mengerjakan tugas sekolah. Dia juga yang memberiku jawaban soal-soal fisika Bu Santi. Meli jenuh di sini, Bu. Meli mau pulang aja.”
“Robot memberi jawaban soal fisika?” batin Bu Santi. Bu Santi makin bingung. Bel masuk mendengking di setiap kelas. Mata pelajaran terakhir akan segera dimulai. Bu Santi meninggalkan Meli setelah mengelus-elus rambut ikal Meli sepanjang jam istirahat.
Matahari sudah sampai di ujung tombak. Tirta yang masih kelas lima sekolah dasar baru saja pulang sekolah. Sekolahnya hanya berkisar tiga ratus meter dari rumahnya. Dengan menenteng ransel biru tua di pundaknya, ia membuka gerbang rumahnya. Setelah dia menutup kembali gerbang itu, Tirta menatap sekeliling halaman rumahnya. Kedatangannya disambut oleh bunga-bunga layu. Putih bunga melati telah buram. Mawar merah darah mengering kalut. Kembang sepatu terkulai lemas di dalam pot kering selama dua pekan. Begitu pula dengan bunga bugenvil yang awalnya indah, kini daunnya kering berguguran.
Hal serupa dirasakan bunga matahari, bunga pentas, anyelir, begonia, kamboja dan bunga-bunga taman lainnya. Hanya kaktus yang mampu bertahan dalam kekeringan selama dua pekan terakhir. Kaktuslah yang selalu memberi semangat untuk mereka agar bertahan hidup. Dia berusaha meyakini suatu saat keluarga Meli akan kembali bercengkerama dengan mereka sambil mengabiskan waktu senja.
Melihat bunga-bunga, Tirta merasa kasihan dan berinisiatif untuk menyiram bunga-bunga itu. Tanpa melepas baju seragamnya, ia mengambil gembor dan mengisinya dengan air. Disiramilah bunga-bunga itu dari ujung utara sampai ujung selatan dengan hati-hati. Ia sungguh menikmati kehidupan bunga-bunga yang hampir saja meregang nyawa karena ulah keluarganya terlalu asik mengurusi robot-robot mereka itu.
Walaupun Tirta juga membeli robot sepertinya kakaknya, Meli, tak sampai dua hari ia merasa bosan melihat tampilan robot humanoid yang tidak ramah. Tirta merasa lebih asik bercengkerama dengan manusia secara utuh. Dia lebih leluasa meluapkan ekspresinya, baik ketika ia sedih, susah, gembira maupun gelisah. Dan orang-orang yang melihatnya juga akan mengerti bahwa ekspresi wajah sering kali menjadi menunjukkan isi hati. Tidak dengan robot humanoid miliknya, robot itu sama sekali tidak bisa memahami perasaan Tirta sebagai manusia. Meskipun robot itu terkenal cerdas, tapi dia tidak memiliki perasaan untuk mengerti perasaan manusia. Itulah yang luput dari pengetahuan ayah, ibu, dan kakaknya.
Bahkan, di saat keluarganya asik dengan robot-robot itu, Tirta lebih sering menghabiskan waktu bersama Nana, seekor kucing betina kesayangannya. Di halaman rumah, ia dengan kucing mungilnya bermain di atas hijau rerumputan. Kelucuan mereka membuat bunga-bunga taman kadang iri dan kesal. Rasa iri mereka bukan karena ingin menjadi manusia yang bebas, tapi bunga-bunga itu iri dengan Nana, kucing yang mendapat perhatian lebih dari Tirta. Mereka rindu dengan kasih sayang keluarga Meli yang berangsur hilang sejak robot-robot pencipta pikiran baru mulai ditemukan dan dijual bebas, bahkan ditawar gratis.
Melihat mereka bercanda di tengah-tengah rerumputan, bunga melati memanggil Tirta. Anak laki-laki itu menoleh ke bunga-bunga, ia mendapati melati yang sayup. Ia juga melihat air mata bunga-bunga lain gugur ke tanah. “Ada apa, Melati?” sambil mendekatkan telinganya dan mengelus pelan pucuk bunganya, “apa kamu juga ingin ikut bermain dengan kami?”
“Tidak. Tapi, kami hanya ingin disirami di setiap pagi dan sore senja dengan kasih sayang seperti semula,” jawab bunga melati.
Percakapan mereka ditonton oleh bunga-bunga lain yang sebenarnya memiliki keibaan yang sama dengan bunga melati; ingin bercakap-cakap seperti biasanya dan melihat kembali keramaian keluarga Meli yang dulu sering menghabiskan waktu di halaman rumah, seraya ditonton oleh bunga-bunga yang kesepian.
***
روبوت تاهون بارو
كلوارڬ ملي بارو ساج ڤولڠ داري ڤلاز لاڠيت، ڤوست ڤرتوكوان موه يڠ منجوال روبوت دالم برباڬاي بنتوق. لتكڽ سكيتر ليم بلس كيلو متر داري رومه مرك. ڤلاز ترسبوت بربنتوق سڬيتيڬ كوتق”، ديباڠون د اتس تانه سلواس دوا هكتر. كئمڤت اڠڬوت كلوارڬ ملي ممبلي ساتو بواه روبوت. بنتوكڽ بربدا-بدا، نامون مميليكي فوڠسي يڠ سام؛ منچيڤتاكن ڤيكيرن بارو