Riausastra.com – Kawan, sekali lagi maafkanlah aku. Kali ini harus kutulis kembali suara batinku. Secebis suara yang meretasi jembatan besi dinding-dinding Fb-ku ini. Bukan disebabkan aku tak memaklumi pendirian dan pilihanmu. Sama sekali bukan, kawan. Namun melainkan karena rasa cinta dan sayangku kepadamu, sebagaimana kasih dan sayangnya seorang suami atau ayah terhadap isteri dan anak-anaknya.
Tapi aku sadar, kawan. Aku barangkali bukanlah seorang suami atau ayah yang baik, yang lantas dengan segala daya dan upaya menasehati isteri dan setiap anak-anaknya agar mengikuti segala aturan, adab serta komitmen dalam membangun sebuah rumah tangga agar harmonis. Aku hanyalah seorang sahabat dan temanmu yang biasa-biasa saja, sederhana dan jauh dari kesempurnaan.
Kau harus tahu kawan, bahwa aku bukanlah sainganmu atau rival terberatmu yang harus kau kesampingkan dalam setiap jejak-jejak langkah menuju puncaknya impian. Aku tak ada apa-apanya, terlalu jauh dari semua yang kau kira.
Sejujurnya memang harus kuakui, jika perubahan musim di sebuah dusun kecil kita ini tak lagi bisa diprediksi. Hujan dan panas kadangkala tak lagi dimengerti. Begitu pula arah mata angin yang tak lagi punya tujuan dan perhentiannya yang pasti. Sekehendaknya ia datang dan pergi, bertiup dan berarak kemana saja sesuai hasrat dan keinginan yang tak kuasa untuk dicegah.
Sebagai seorang teman, aku menaruh rasa iba jika sekiranya kau harus terbawa arus dan pusaran mata angin yang datang dari tanah seberang, yang apabila ia singgah – membuatmu kehilangan arah, juga rasa cinta dan prinsip-prinsip kehidupan.
Tapi kawan, kau tak perlu menyesali segala takdir yang telah terjadi. Sebab sejauh manapun pun engkau melangkah, aku akan selalu ada di sampingmu – yang sewaktu-waktu akan datang menemuimu, sekedar mengingatkan kembali kepada jalan yang pernah kita lalui bersama, yaitu jalan yang ditaburi cahaya serta harumnya kembang dengan berbagai aneka warna. Di jalan itu kuingin kau kembali merapal semua pesan dan nasehat ayah bunda, pesan-pesan ketuhanan yang sempat kau dengar di saat pertama kali kau dilahirkan ke dunia.
Kawan, sekali lagi maafkan aku. Ini semata-mata kulakukan karena cinta dan sayangku kepadamu. Dan aku pun tak ingin masa-masa kecil kita yang indah sewaktu dulu, berkubang dan berlumpur di tepian pantai, berdebu dan bertelanjang dada di tengah terik mentari dan derunya hujan, seketika lenyap tersapu di ingatan tersebab diamuk-amuk benci dan murka yang entah dari mana punca asalnya.
Kawan, lihatlah anak-anak kita perlahan beranjak dewasa. Kita pun kini tak lagi muda belia. Putih uban di kepala telah pun tersusun dengan sangat rapinya. Begitu juga tubuh-tubuh kita yang dulu gagah dengan tangan yang kekar menggenggam dunia, berangsur-angsur lemah dan lunglai tak berdaya.
Maka di saat-saat seperti inilah, jalan menuju Tuhan adalah rute baru yang semestinya kita persiapkan, dan mesti pula kita utamakan. Bahkan jalan itu mesti kita lalui dengan sangat hati-hati bila ia sewaktu-waktu menghampiri diri. Sebab tak ada yang tahu pasti apakah kita akan sampai ke destinasi itu dengan selamat dan sentosa, dengan tatapan dan senyum bidadari di gerbang-gerbang pintu surga.
Oleh sebab itulah kawan, aku menaruh rasa risauku yang teramat dalam tentang dirimu, tentang diri-diri kita. Tentang negeri ini, juga kampung halaman yang damai dan permai. Karena aku tak ingin satu-satunya laman bermain yang telah kita punyai, tempat di mana kita bergurau senda dengan segala suka dan duka di dalamnya, seiring waktu dan musim yang berganti menjadi kering luluh oleh amuk seteru dan sentuhan-sentuhan kehampaan.
Selain dari itu, aku juga tak ingin kau pergi meninggalkanku dengan membawa semua amarah, membawa sekeping hatiku yang kau genggam – lalu kau campakkan ke lautan kebencian dan permusuhan. Sementara Tuhan justru tak pernah luput dan diam dengan segala tingkah laku kita.
Doaku kawan, semoga kau dan aku selalu dalam rahmat dan kasih sayangNya. Sebab Dialah Tuhan yang paling mengerti akan maksud dan perbuatan setiap hamba-hambaNya.
Akhirnya, sebagai ganti diri menemui di sana, renungkanlah baris-baris puisi sederhana ini dengan mata hati dan batinmu yang paling dalam:
Dalam Rintik Hujan
: Kepada Puan
Mungkin telah kaudengar rintik hujan yang luruh
malam ini,
adalah siulan luka-luka: nestapa.
Lalu bebutir pedih seakan menjadi senandung
paling purna,
yang datang membilas sendu,
membuang segala iba
Dalam ucap kata rindu yang datang,
pada kemilau wajah purnama
dalam pekik-pekik gempita; suguhan doa begitu mesra,
deras bertutur-tutur manja
Lihatlah sekelilingmu!
Taman-taman inginmu yang dulu sunyi
kini kembali segar rekah menanti,
mengelopak kuntum-kuntum melati;
selamanya menyatu dalam ikat kata restu.
Cita-citamu yang mekar
harum seri mewangi
Percayalah! Segalanya akan hadir
dalam jejak langkah kita.
Dalam rupa yang paling purna :
paling agung dan bersahaja
2018 – Tanah Rindu, Bengkalis beberapa tahun lalu.
***
سڤوچوك سورت اونلن
كاون، سكالي لاڬي مائفكنله اكو. كالي إني هاروس كوتوليس كمبالي سوارا باتينكو. سچبيس سوارا يڠ مرتاسي جمباتن بسي دينديڠ-دينديڠ ف.ب-كو إني. بوكن ديسببكن اكو تق ممكلومي ڤنديريان دان ڤيليهنمو. سام سكالي بوكن، كاون. نامون ملاينكن كارن راس چينت دان سايڠكو كڤدامو. سبڬايمان كاسيه دان سايڠڽ سئورڠ سوامي اتاو ايه ترهادڤ إستري دان انق-انكڽ
تاڤي اكو سادر، كاون. اكو برڠكالي بوكنله سئورڠ سوامي اتاو ايه يڠ بايك، يڠ لنتس دڠن سڬالا داي دان اوڤاي منسهاتي إستري دان ستياڤ انق-انكڽ اڬر مڠيكوتي سڬالا اتورن، ادب سرت كوميتمن دالم ممباڠون سبواه رومه تڠڬ اڬر هرمونيس. اكو هڽاله سئورڠ سهابت دان تمنمو يڠ بياس-بياس ساج، سدرهان دان جاوه داري كسمڤورنائن






















