Riausastra.com – Sastra adalah salah satu bentuk ekspresi manusia yang paling mendalam melalui bahasa sebagai media penyampaiannya. Karya sastra adalah jembatan antara perasaan, emosi, pikiran, dan pengalaman manusia dengan dunia luar. Banyak dari penulis dan penyair menggunakan karya mereka menyuarakan keadilan, memprotes penindasan, atau mengungkapkan keresahan mereka terhadap realitas politik yang ada.
Ketika ketidakdilan mulai merajalela, suara-suara kritis dari para sastrawan sering kali menjadi musuh bagi para penguasa. Dari kata-kata tajam, sarkasme, karya-karya sastra justru mengungkapkan keburukan di balik tirai kekuasaan para penguasa, serta menciptakan kesadaran publik untuk berani memperjuangkan keadilan dan menegakkan kebenaran. Namun, respon dari penguasa yang membungkam kebebasan berekspresi justru dengan cara-cara kotor. Tapi, sastra selalu menemukan cara untuk bangkit dan melawan, tetap membara dan tak pernah padam dalam keadilan.
Sastra memiliki sejarah panjang sebagai media perlawanan terhadap ketidakadilan. Karena itu, karya sastra tidak berangkat dari kekosongan, melainkan lahir dari keresahan dan pergulatan batin penulisnya terhadap suatu peristiwa penindasan yang dilakukan dengan sengaja. Wujud panjang dari sejarah tersebut, pernah terjadi sebelumnya dari karya-karya sastra yang lahir dari perlawanan. Misalnya, Pramoedya Ananta Toer seorang novelis yang terkenal dengan karyanya Bumi Manusia yang bersuara terhadap penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda pada masa itu. Pramoedya bahkan harus mengalami penindasan langsung dari pemerintah Orde Baru karena karya-karyanya dianggap subversif.
Dari hal itu, Pramoedya menjadi satu contoh korban yang ingin menyuarakan ketidakadilan yang terjadi. Dari karyanya monumental dan ktitis terhadap pemerintahan yang otoriter telah menjadi alat perlawanan. Dalam berbagai konteks, sastra terus menjadi senjata tajam untuk melawan ketidakadilan, meskipun sering kali berhadapan dengan resiko. Sejak lama sejarah mencetak, bahwa para penguasa selalu berusaha untuk membungkam sastra. Adanya sensor, pelarangan buku, hingga penganiyaan terhadap penulis adalah bukti nyata betapa kerasnya penguasa memperlakukan sastra. Suara-suara penyair sering kali dibungkam, karena dianggap sebagai hal yang berlawanan dengan kekuasaan. Di Indonesia, pembungkaman sastra menjadi hal yang lazim, terutama pada masa Orde Baru. Para penguasa bisa melakukan apa saja terhadap karya sastra yang dirasa membahayakan stabilitas negara. Karya sastra yang mengandung kritik pemerintah langsung dilarang beredar.
Kasus-kasus terhadap pembungkaman sastra juga terjadi di luar Indonesia, misalnya di Uni Soviet di bawah rezim kepemimpinan Joseph Stalin hal serupa juga terjadi. Banyak para seniman dan penulis yang ditanggap dengan pilihan dipenjarakan atau diasingkan, atau bahkan di eksekusi besar-besaran terhadap karya yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Osip Mandelstam salah seorang penyair yang pernah dipenjarakan dan meninggal dalam pengasingan karena puisinya yang berusaha mengkritik pemerintahan Stalin pada masa itu.
Tidak hanya di negara-negara otoriter, di negara demokrasi sekalipun, penulis harus menghadapi tekanan batin jika karya sastranya menyinggung isu-isu sensitif. Sastra memiliki kekuatan untuk bangkit kembali setelah berulang-ulang kali dibungkam. Kekuatan sastra dalam melawan ketidakadilan adalah kemampuan untuk menyentuh perasaan melalui kata-kata terbaik yang disampaikan dengan cara yang berbeda. Sastra tidak berbicara langsung secara lisan, akan tetapi bersuara dari bahasa sebagai media perantaranya. Kata-kata dalam sastra dapat membangkit emosi, empati, serta membuat pembaca juga merasakan penderitaan orang lain yang ingin disampaikan oleh penulis. Ketidakadilan bukanlah hal yang sepele, tetapi menyangkut harkat dan martabat hidup manusia. Dalam hal ini sastra berperan sebagai pembuka mata, hati, dan nurani manusia terrhadap ketidakadilan yang mungkin dipandang sebelah mata. Untuk menggambarkan kehidupan yang tertindas demi memperjuangkan sebuah keadilan, sastra berusaha bangkit untuk menyuarakannya.
Selain itu, sastra memiliki kekuatan untuk menjangkau batas-batas budaya dan geogarafis negara. Demikian adanya, sastra mampu bersuara untuk belahan dunia. Penulisan tempat dan waktu yang tepat justru dapat menginspirasi gerakan perlawanan di tempat lain. Salah satu contohnya, George Orwell (1903-1950) merupakan seorang novelis, jurnalis, penulis esai, dan kritikus Inggris. Karyanya yang mencolok tentang kritik sosial yang tajam, penentangan terhadap totalitarianism, dan dukungan terhadap sosialisme demokratis. Karyanya Animals Farm, novel alegoris (kiasan) menggambarkan sebuah pemberontakan tokoh hewan terhadap manusia yang memperlakukan mereka tidak adil. Secara garis besar, novel ini mengkritik risiko korupsi dalam sistem kekuasan.
Sedangkan di Indonesia, sastra juga memainkan peranan dalam menggerakkan kesadaran sosial, seperti novel-novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tidak hanya menceritakan tentang mimpi dan perjuangan sepuluh anak di daerah terpencil, Desa Gantung, Belitur Timur, Kepulauan Bangka Belitung. Tetapi juga menyarakan kritik terhadap pemerintah akan ketidakadilan sosial dan ketimpangan sistem pendidikan. Sastra Indonesia mencakup suara-suara akan penindasan, isu-isu seperti hak asasi manusia, kesenjangan ekonomi, dan korupsi.
Adanya perkembangan teknologi yang beralih ke era digital dapat memberikan peluang bagi para sastrawan untuk menyuarakan aspirasi. Penyediaan platform media sosial memungkinkan penulis untuk menerbitkan karya-karyanya. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi dunia sastra untuk lebih terbuka sehingga karya-karya bisa diakses oleh publik. Jika sastra coba dibungkam dalam rentang jejak media cetak seperti buku, maka langkah yang relevan adalah dengan mengalihkannya ke media digital.
Pola kekuasaan yang semakin meruncing sehingga mengarah pada kekerasan semakin keberadaan karya-karya berpotensi mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Maka dari itu, sastra yang awalnya bertujuan menyuarakan kritik sosial atau politik dapat berputar arah menjadi serangan bagi penulis. Terlebih lagi, di zaman modern ini pusat media sosial tertuju pada konten-konten viral humoris membuat karya sastra bergenre kritis kurang mendapatkan perhatian bahkan tidak dilirik sekalipun.
Meskipun demikian, sastra tidak akan pernah mati. Karena didalamnya banyak penulis yang bersuara lewat karya-karyanya. Media digital hanyalah alat untuk memperluas penyebaran pesan agar mempertahankan suara di tengah upaya pembungkaman. Mungkin, karya sastra tidak selalu mendapatkan sorotan publik, tetapi kekuatannya tak terbantahkan untuk menyentuh hati dan kesadaran pembaca. Seiring waktu, sastra akan mendapatkan tempat tersendiri jika peristiwa yang terjadi selalu berusaha agar sastra bersuara ditengah ketidakadilan itu.
Sastra adalah bukti cerminan masyarakat. Sastra lahir dari seorang penulis yang merupakan bagian dari masyarakat, ditulis untuk dibaca oleh pembaca yang merupakan bagian dari masyarakat, dan peristiwa dalam sastra berangkat dari kenyataan di lingkungan yang merupakan bagian penting dari masyarakat. Setiap karya sastra, pasti ada jejak-jejak perjuangan yang ingin disampaikan, harapan yang ingin diwujudkan, dan keresahan manusia yang ingin diutarakan. Ketika negara dalam kondisi sekarat akan ketidakadilan, sastra menjadi suara pertama dalam menyuarakan kritik, protes, dan aspirasi.
Fungsi sastra sebagai medium kritik sosial menjadi penting. Kritik bukan suatu bentuk hujatan, sebaliknya untuk melihat sudut pandang yang berbeda dalam memahami orang lain. Sastra mungkin dibungkam, tetapi suara-suaranya tidak akan pernah hilang dari masyarakat karena sastra bangkit bersama orang-orang yang memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan. Sastra akan hidup dalam jiwa-jiwa yang haus akan ketidakadilan.
***
سسترا برسوارا: بنتوق ڤروتس د تڠه كتيدكئديلن ككواسائن
سسترا اداله ساله ساتو بنتوق اكسڤرسي مانوسيا يڠ ڤاليڠ مندالم ملالوي بهاس سباڬاي مديا ڤڽمڤايانڽ. كريا سسترا اداله جمباتن انتارا ڤرسائن، اموسي، ڤيكيرن، دان ڤڠلامن مانوسيا دڠن دونيا لوار. باڽق داري ڤنوليس دان ڤڽائير مڠڬوناكن كريا مرك مڽواراكن كئديلن، ممڤروتس ڤنينداسن، اتاو مڠوڠكڤكن كرساهن مرك ترهادڤ رياليتس ڤوليتيك يڠ ادا
كتيك كتيدكئديلن مولاي مرجاللا، سوارا-سوارا كريتيس داري ڤارا سستراون سريڠ كالي منجادي موسوه باڬي ڤارا ڤڠواس. داري كات-كات تاجم، سركسم، كريا-كريا سسترا جوسترو مڠوڠكڤكن كبوروكن د باليك تيراي ككواسائن ڤارا ڤڠواس، سرت منچيڤتاكن كسدارن ڤوبليك اونتوق براني ممڤرجواڠكن كئديلن دان منڬككن كبنارن. نامون، رسڤون داري ڤڠواس يڠ ممبوڠكم كبباسن براكسڤرسي جوسترو دڠن چارا كوتور. تاڤي، سسترا سلالو منموكن چارا اونتوق بڠكيت دان ملاون، تتڤ ممبارا دان تيدق ڤرنه ڤادم دالم كئديلن