gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Di bawah terik matahari Taluk Kuantan, Pak Tua Ismail menyipitkan matanya. Tangannya yang keriput, yang petanya lebih rumit dari alur Sungai Kuantan itu sendiri, mengelus gagang beliung tua yang tak pernah lepas dari pinggangnya. Di hadapannya, di tepi sungai, terbaring mahakarya terbaru desanya: perahu jalur “Sembaran Naga”. Badannya licin sempurna, dicat dengan pernis mengilap yang memantulkan awan. Tapi mata Pak Tua Ismail tidak melihat kemegahan. Ia mencari sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada.

Ia tidak menemukan guratan-guratan ukiran kecil yang tidak simetris, bekas tangan puluhan warga desa yang bergantian mencaruk. Ia tidak mencium aroma asap kemenyan dari ritual peletakan lunas. Yang ada hanyalah bau cat kimia yang tajam dan sebuah logo besar perusahaan rokok yang menutupi separuh lambung perahu. Perahu Jalur itu sempurna, terlalu sempurna. Seperti barang pabrikan, bukan makhluk yang lahir dari hutan dan keringat.

“Gagah, kan, Tuak?” sebuah suara memecah lamunannya. Anto, kepala pemuda sekaligus manajer tim jalur, menepuk bahunya dengan penuh semangat. Di tangannya ada ponsel pintar yang terus bergetar. “Dengan bodi aerodinamis begini, kita pasti juara tahun ini. Sponsor sudah cair dananya.”

Pak Tua Ismail tidak menoleh. “Berapa lama kalian selesaikan?” tanyanya, suaranya serak seperti gesekan kayu kering.

“Empat minggu, Tuak! Rekor! Gergaji mesin dan mesin poles listrik memang luar biasa,” jawab Anto bangga.

Pak Tua Ismail terdiam sejenak. Ia teringat ayahnya dulu butuh empat bulan untuk melahirkan “Elang Perkasa”, jalur legendaris yang jiwanya masih terasa hingga kini. Empat bulan yang diisi dengan ritual, gotong royong, dan malam-malam tanpa tidur di mana seluruh desa menjadi satu keluarga besar.

“Sebuah jalur tidak hanya butuh kecepatan, Anto,” desis Pak Tua Ismail. “Ia butuh sumangaik. Jiwa. Dan jiwa itu tidak lahir dari mesin.”

Anto tersenyum maklum, senyum yang biasa ia berikan pada orang tua yang terjebak di masa lalu. “Zaman sudah berubah, Datuak. Marwah desa kita dipertaruhkan. Kemenangan itu yang penting sekarang.”

Seolah ingin menggarisbawahi ucapannya, Anto menambahkan, “Oh ya, besok akan datang beberapa tenaga baru. Atlet dari Pekanbaru, titipan dari sponsor. Untuk memperkuat tim inti.”

Di belakang mereka, Bujang, pemuda desa yang telah berlatih mendayung hingga telapak tangannya melepuh, mendengar percakapan itu. Jantungnya terasa seperti diremas. Tenaga baru? Titipan? Lalu untuk apa ia dan kawan-kawannya mengorbankan waktu subuh dan senja mereka di sungai selama tiga bulan terakhir?

Hari-hari berikutnya terasa ganjil. Sepuluh pemuda berbadan kekar dari kota tiba. Mereka membawa tas olahraga bermerek dan botol-botol minuman energi. Mereka tidak banyak bicara, hanya berlatih dengan teknik sempurna yang dingin. Mereka tidak ikut makan bersama di tepi sungai, tidak ikut bercanda tawa saat istirahat. Mereka adalah mesin-mesin pendayung yang efisien.

Suasana latihan berubah. Kekompakan yang dulu dibangun dari saling ejek dan saling semangati, kini digantikan oleh ketegangan yang canggung. Bujang dan teman-temannya merasa seperti pemain cadangan di rumah mereka sendiri.

Pak Tua Ismail hanya mengamati dari kejauhan, hatinya terasa lebih berat dari balok kayu balau yang dulu pernah ia tarik dari hutan Bukik Tabandang. Ia melihat Anto lebih sering berdiskusi dengan para atlet titipan itu, membicarakan strategi dan kecepatan, sementara anak-anak desa hanya mendengarkan dari pinggir. Harga diri mereka seolah terkikis perlahan, seperti tepian sungai yang dihantam arus Kuantan.

Malam sebelum perlombaan, Pak Tua Ismail mendatangi “Sembaran Naga” yang tertambat di tepian. Dalam senyap, ia mengelus kepala naga di haluan perahu jalur itu. Dingin. Tak ada kehangatan dari sentuhan ratusan tangan yang memberinya kehidupan. Ia mengambil beliung-nya, dan dengan gerakan pelan, mulai mengukir sebuah motif kecil yang tersembunyi di bawah rahang sang naga. Motif bunga seroja, simbol kesucian. “Meskipun tumbuh di lingkungan yang berlumpur, bunga seroja mampu menunjukkan keindahan dan kemurniannya di atas permukaan air, mencerminkan kemampuan manusia untuk mengatasi berbagai rintangan”. Inilah harapan Pak Tua Ismail. Sebuah ritual kecil yang ia lakukan seorang diri, untuk memberikan sedikit jiwa pada raga yang kosong itu.

Tepian Narosa bergemuruh. Final Pacu Jalur. “Sembaran Naga” meluncur di lintasan. Bujang tidak ada di dalam perahu jalur itu. Posisinya digantikan oleh salah satu atlet kota. Ia menonton dari tenda tim, di samping beberapa temannya yang juga “diistirahatkan”.

Perahu Jalur itu melesat seperti anak panah. Gerakan para pendayung begitu presisi, bertenaga, dan mekanis. Mereka mendayung dengan kekuatan, bukan dengan hati. “Sembaran Naga” menyalip lawannya dan melintasi pancang finis. Kemenangan! Gemuruh penonton membahana. Komentator sibuk menghitung dan membacakan saweran bonus dari para sponsor.

Anto melompat kegirangan. Pihak sponsor langsung memasang spanduk besar. Beberapa wartawan mengerubungi para atlet titipan yang tersenyum lelah. Ada pesta kecil, ada bonus yang dibagikan. Tapi di antara beberapa warga desa, sorak-sorai itu terasa janggal. Ada yang kurang. Ada kebanggaan yang hilang.

Di tengah keramaian, Anto menghampiri Pak Tua Ismail dengan piala di tangannya. “Kita menang, Datuak! Lihat! Demi marwah desa kita!”

Pak Tua Ismail menatap piala yang berkilauan itu, lalu beralih menatap wajah Anto yang berseri-seri. Ia tidak marah. Hanya ada kesedihan yang mahadalam di matanya.

“Marwah siapa, Anto?” tanyanya pelan. “Marwah desa yang anak-anaknya hanya menjadi penonton? Marwah sponsor yang logonya lebih besar dari nama desa kita? Atau marwah orang-orang yang bahkan tak pernah tahu bau kemenyan saat meminta izin pada hutan?”

Anto terdiam. Kata-kata itu, yang diucapkan tanpa nada tinggi, terasa lebih tajam dari bilah beliung. Pak Tua Ismail tidak menunggu jawaban. Ia berbalik dan berjalan pelan, meninggalkan piala, keramaian, dan kemenangan yang terasa hampa itu.

Dari kejauhan, Bujang juga melihat semua itu. Ia menatap anak jalur “Sembaran Naga” yang diarak seperti pahlawan, khususnya atlet dari kota. Sementara perahu “Sembaran Naga” sendiri diam sunyi tertambat di tepian. Ia lalu menunduk, melihat telapak tangannya yang kapalan. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu apakah kapalan itu adalah simbol kebanggaan atau tanda kesia-siaan.

Sorak-sorai masih terdengar di kejauhan, kepala desa sudah memesan orgen untuk merayakan kemenangan itu. Namun malam itu, ia mendatangi rumah Pak Tua Ismail yang lumayan tasuruak di pinggir kampung. Bukan untuk bicara, tapi hanya untuk sekedar duduk di beranda, menemani sang Datuak Tuo Kampuang mengasah beliung-nya dalam diam. Di sanalah, di tengah kesunyian itu, ia merasa marwah yang sesungguhnya masih tersisa.

Yogyakarta, 24 Juni 2025

***

سوماڠايك يڠ هيلڠ د تڤيان كوانتن

د باوه تريك متهاري تالوق كوانتن، ڤق توا إسمائيل مڽيڤيتكن متاڽ. تاڠنڽ كريڤوت، يڠ ڤتاڽ لبيه روميت داري الور سوڠاي كوانتن إتو سنديري، مڠلوس ڬاڬڠ بليتوڠ توا يڠ تق ڤرنه لڤس داري ڤيڠڬڠڽ. د هداڤنڽ، د تڤي سوڠاي، ترباريڠ مهاكريا تربارو دساڽ: ڤراهو جالور “سمبارن ناڬ”. بادنڽ ليچين سمڤورن، ديچت دڠن ڤرنيس مڠيلڤ يڠ ممنتولكن اون. تاڤي مات ڤق توا إسمائيل تيدق مليهت كمڬاهن. إيا منچاري سسواتو يڠ لاين. سسواتو يڠ تيدق ادا

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan ke Febi erlangga Batal membalas

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini