gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Tidak jarang karya sastra menggambarkan fenomena dalam kehidupan melalui tanda-tanda yang diselipkan secara tersirat yang menjadi satu kesatuan yang utuh dalam karya sastra. Sastra bukan hanya sekedar hiburan, melainkan sebuah seni yang penuh dengan kesesakan di dalamnya. Sastra penuh dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Salah satu karya sastra, yaitu puisi. Memahami sebuah puisi harus dilakukan pembacaan secara mendalam dengan menggunakan metode dan teknik tertentu untuk mengetahui keseluruhan makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis adalah pendekatan semiotik.

Teori semiotik merupakan teori yang menganggap bahwa fenomena sosial (masyarakat) dan kebudayaan sebagai sebuah tanda. Semiotik juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Menurut Riffaterre, metode pembacaan semiotik meliputi pembacaan heuristik, pembacaan hemeneutik, maktrik, dan hipogram. Pembacaan heuristik adalah pembacaan dalam taraf mimesis. Pembacaan yang didasarkan pada sistem dan kovensi bahasa. Pembacaan heuristik, pada dasarnya adalah pembacaan tahap pertama yang akan menghasilkan serangkaian arti yang bersifat heterogen. Kemudian, dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan ini didasarkan pada konvensi sastra. Pembaca harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan makna. Setelah melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik, dilanjutkan dengan mengidentifikasi matriks, dan hipogram. Matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi dan tidak muncul dari teks. Matriks dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana. Aktualisasi dari matriks disebut dengan model yang dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Model kemudian diperluas menjadi varian-varian sehingga menurunkan teks secara keseluruhan. Setelah itu, dapat diindentifikasi hipogramnya. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan sebuah teks baru. Puisi “Elegi” Karya Joko Pinurbo merupakan salah satu karya sastra yang sangat menarik dibahas dengan pendekatan semiotik Riffatere. Berikut Puisi “Elegi” Karya Joko Pinurbo:

Elegi

Maukah kau menemaniku makan?
Makan dengan piring yang retak
dan sendok yang patah. Makan,
menghabiskan hatiku yang pecah.

Itulah makan malam terakhirnya
di surga kecilnya yang suram.
besok ia sudah terusir dan kalah
dan harus pergi menuju entah.
Lalu mereka berfoto bersama

sementara mobil patroli berjaga-jaga
di ujung sana. Lalu hujan datang
memadamkan api di matanya.
Ia akan merindukan rumahnya

dan akan sering menengoknya
lewat mesin pencari kenangan
sebelum malam menelan mimpinya.

2016

Pembacaan Heuristik

Puisi “elegi” karya Joko Pinurbo terdiri dari empat bait, setiap baitnya terdapat empat baris. Keseluruhan baris yang terdapat dalam puisi “elegi” karya Joko Pinurbo berjumlah 16 baris. Joko Pinurbo menggunkan sudut pandang campuran dalam puisi “elegi”, Joko Pinurbo menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pengantar pada bait pertama, bait kedua, ketiga, dan keempat Joko Pinurbo menggunakan sudut pandang orang ketiga. Melihat judul pada puisi Joko Pinurbo ini, dikutip dari KBBI VI elegi merupakan syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita khususnya pada peristiwa kematian.

Pembacaan heuristik merupakan langkah yang pertama dalam menganalisis sebuah puisi menurut semiotik Riffaterre. Pembacaan heuristik ini berada pada tataran mimesis. Pembacaan heuristik ini didasarkan pada bahasa yang normatif, yang pada dasarnya melalui pembacaan heuristik ini akan ditemukan serangkaian arti dari atas hingga ke bawah.

Pada bait pertama, terdiri dari empat baris, baris pertama “maukah kau menemaniku makan?”, diartikan sebuah ajakan oleh aku lirik untuk makan bersamanya dengannya, ajakan yang ditawarkan belum diketahui pada siapa dan dimana lokasinya. Baris kedua, ketiga, dan keempat Makan dengan piring yang retak”, “dan sendok yang patah. Makan,”, “menghabiskan hatiku yang pecah”, menggambarkan suasana makan yang ditawarkan aku lirik, makan menggunakan piring yang retak dan sendok yang patah menggambarkan kekurangan dan kesengsaraan yang dialami oleh aku lirik. Aku lirik mengajak seseorang makan dengannya untuk menghilangkan kesedihan hatinya.

Bait kedua pada puisi “elegi” karya Joko Pinurbo juga terdiri dari empat baris. Baris pertama dan kedua, “Itulah makan malam terakhirnya”, “di surga kecilnya yang suram” berkaitan dengan bait pertama, yaitu lokasi makan yang dimaksud oleh Joko Pinurbo. Makan malam yang ditawarkan merupakan makan malam terakhirnya di suatu tempat yang disebut sebagai surga, terdapat kontradiksi dalam kata surga. Surga yang disebutkan pada bait kedua baris kedua tersebut adalah surga yang suram. Surga dapat diartikan sebagai tempat kediaman yang membahagiakan, namun di dalamnya surga yang digambarkan adalah surga yang suram. Pada KBBI IV, suram diartikan sebagai sesuatu yang kurang cahaya atau kesusahan. Di sini dapat diliat bahwa tempat yang digambarkan Joko Pinurbo adalah suatu tempat atau rumah yang didalamnya sedang terjadi kegaduhan atau kesulihan karena akan ditinggalkan pemiliknya, baris ketiga dan keempat “besok ia sudah terusir dan kalah”, “dan harus pergi menuju entah.”, diartikan kekalahan yang dialaminya, kekalahan yang dimaksud belum terlihat jelas pada bait kedua dalam puisi ini. Kepergian dengan terpaksa yang dialaminya membuat rumah yang dianggap sebagai surga terasa menjadi suram. Ia akan pergi meninggalkan rumah tersebut tetapi belum tahu akan pergi kemana.

Bait ketiga terdiri dari empat baris. Bait ketiga dengan bait selanjutnya saling berkaitan. Baris pertama dan baris kedua menggambarkan suasana sebelum kepergiannya. Baris pertama”Lalu mereka berfoto bersama” memperlihatkan ia berfoto bersama, namun kata bersama disini masih belum jelas, tidak disebutkan jelas dengan siapa ia berfoto. Kata mereka yang dituju oleh Joko Pinurbo dalam puisi ini dapat diartikan sebagai sebuah keluarga, salah satu keluarga akan meninggalkan rumah tersebut dengan terpaksa. Suasana berfoto yang dilakukan tersebut dalam keadaan penuh pantauan dari kelompok orang. Seperti yang tertuang pada baris kedua “sementara mobil patroli berjaga-jaga”, mobil patroli menjadi tanda bahwa seseorang yang digambarkan Joko Pinurbo ini sedang berurusan dengan hukum. Pada KBBI IV mobil patroli merupakan mobil yang digunakan untuk berpatroli yang dilengkapi dengan radio panggil. Biasanya yang sering melakukan patroli adalah pihak keamanan seperti polisi. Sehingga dapat diartikan bahwa tokoh yang gambarkan oleh Joko Pinurbo alah seseorang yang terpaksa pergi dengan kesedihan yang mendalam karena terjerat sebuah kasus. Baris ketiga dan keempat, “di ujung sana. Lalu hujan datang”, “memadamkan api di matanya”, menggambarkan amarah yang dirasakan tokoh perlahan mulai padam karena hujan datang. Hujan ini dapat diartikan dengan air yang keluar dari matanya yang menandakan bahwa tokoh yang digambarkan Joko Pinurbo menangis karena tidak sanggup lagi menahan kesedihan hatinya

Bait terakhir, bait keempat terdiri dari empat baris. Baris pertama dan kedua mengungkapkan bahwa tokoh yang digambarkan Joko Pinurbo akan merindukan rumahnya, dia akan selalu mendatangi rumah tersebut, namun tidak mendatangi secara fisik tetapi Joko Pinurbo menyebutnya dengan mesin pencari mesin pencari kenangan seperti baris ketiga pada bait keempat puisi ini “lewat mesin pencari kenangan”, mesin pencari kenangan yang dimaksuf dapat diartikan sebagai otak yang dimiliki manusia. Tokoh yang digambarkan Joko Pinurbo hanya bisa mendatangi rumahnya melalui ingatan-ingatan yang ada dikepalanya. Hal tersebut dilakukan sampai ajal menjeputnya, seperti baris keempat “sebelum malam menelan mimpinya”, kata malam disini dapat dipahami sebagai kematian yang menghentikan semua mimpi-mimpi, keinginan, dan semua kenangan yang dirasakan oleh manusia.

Pembacaan Hermeneutik

Dibalik judul puisi “elegi” yang ditulis Joko Pinurbo terdapat makna dan pesan yang tersirat dan tersurat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pada bait pertama terdapat makna sebagai awal dari cerita dalam puisi ini, yaitu dimulai dengan sebuah pertanyaan yang dipenuhi dengan kemalangan yang dialami sesorang, apakah masih ada yang mau berteman dengan orang yang hidup dalam kesengsaraan. “Maukah kau menemaniku makan?”, “Makan dengan piring yang retak”, ‘dan sendok yang patah. Makan,”, “menghabiskan hatiku yang pecah.”. Pada puisi “elegi”, seseorang mengalami kehidupan yang menurut Joko Pinurbo sangat sengsara. Di dunia setiap orang berhak melakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam menjalani kehidupan. Namun, seringkali orang yang kurang beruntung diperlakukan tidak adil, dalam artian kata dikucilkan oleh tindakan yang dilakukannya. Dikucilkan dalam kehidupan memunculkan keraguan dan tantangan bagi seseorang untuk melanjutkan hidup kedepannya.

Kesengsaraan dan kemalangan dalam hidup dapat berasal dari mana saja, hal yang paling dekat tentunya diri sendiri. Seringkali perbuatan yang dilakukan mengakibatkan kesulitan hidup bagi diri sendiri. Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum dalam sebuah negara akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang berlaku terhadap perbuatan yang dilakukan. Makna bait kedua dalam puisi “elegi” adalah kenangan terakhir yang dimiliki seseorang sebelum ia pergi menjalani dampak dari perbuatan yang dilakukan. Perpisahan menjadi hal yang pahit dalam hidup, namun harus dijalani. Tempat yang mulanya bersarang kasih sayang sewaktu-waktu menjadi tempat yang paling menyeramkan.

Mengabadikan moment dapat dilakukan dengan banyak cara, yang paling sering dilakukan dengan mendokumentasikan dalam sebuah foto yang dapat dilihat kapan saja. Hal tersebut yang dapat diakukan sebelum perpisahan mengusai jiwa. Perpisahan selalu dipenuhi dengan air mata kesedihan. Setelah itu hanyalah ingatan dikepala yang dapat menghampiri orang-orang terkasih setiap waktu hingga ajal menjeput.

Secara keseluruhan, berdasarkan pembacaan hermeneutik yang disertai ketidaklangsungan ekspresi, dapat dikemukakan bahwa puisi “Elegi” karya Joko Pinurbo melukiskan perasaan hati seseorang yang akan berpisah untuk menjalani hukuman. Hanya ingatan di kepala yang dapat menjadi ruang pertemuan sebelum ajal menjeput.

Matriks dan Hipogram Puisi “Elegi” karya Joko Pinurbo

Matriks pada puisi Elegi karya Joko Pinurbo yaitu kehilangan, perpisahan, keterasingan, dan nasib tragis seseorang yang tidak berdaya melawan kekuasaan. Puisi ini menggambarkan seseorang yang harus pergi dari tempat yang ia anggap sebagai rumah. Kepergian ini bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi akibat keadaan yang memaksanya. Ada kesedihan yang mendalam karena ia tidak dapat mempertahankan rumahnya dan hanya bisa mengenangnya dari kejauhan.

Sebagaimana setelah diketahui matriks pada puisi ini, dapat pula disimpulkan pokok permasalahan yang dibahas pada puisi ini ialah bagaimana bentuk perasaan tidak berdaya seseorang yang menghadapi akhir hidupnya. Ia tidak punya pilihan selain menerima keadaan, sementara kenangan tentang rumah atau kehidupan lamanya terus menghantuinya. Kehilangan dan keterpaksaan menjadi inti utama dari puisi ini, menggambarkan betapa pilunya perpisahan yang tidak bisa dihindari.

Menurut Riffatere, Hipogram atau teks yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak, dapat berupa  kata, frase, kutipan, atau ungkapan klise yang mereferensi pada kata atau frase yang sudah ada sebelumnya. Pada puisi “Elegi” karya Joko Pinurbo yang mengungkapkan kehilangan, perpisahan, keterasingan, dan nasib tragis seseorang yang tidak berdaya melawan kekuasaan, berhipogram dengan kasus eksekusi Freddy Budiman yang dapat dikaitkan dalam konteks tahun terbit puisi ini bersamaan dengan kasus eksekusi yang terjadi pada tahun 2016. Sebagaimana puisi ini bukan sekadar bercerita tentang kepergian seseorang, tetapi bisa menjadi refleksi atas peristiwa tragis yang nyata terjadi. Dalam hal ini pada puisi tidak secara langsung menyebutkan siapa yang mengalami peristiwa ini, tetapi makna yang tersembunyi dalam kata-kata dan simbol yang digunakan mengarah pada situasi seseorang yang sedang menghadapi akhir hidupnya atau meninggalkan sesuatu yang berharga.

***

فنومن سوسيال دالم ڤويسي “الڬي” كريا جوكو ڤينوربو

تيدق جارڠ كتيا سسترا مڠڬمبركن فنومن دالم كهيدوڤن ملالوي تندا-تندا يڠ ديسليڤكن سچارا ترسيرت يڠ منجادي ساتو كساتوان يڠ اوتوه دالم كريا سسترا. سسترا بوكن هاۑ سكدر هيبورن، ملاينكن سبواه سني يڠ ڤنوه دڠن كسساكن د دالمڽ. سسترا ڤنوه دڠن نيلاي-نيلاي يڠ داڤت ديجاديكن ڤرتيمباڠن دالم منجلاني كهيدوڤن. ساله ساتو كريا سسترا، يايتو ڤويسي. ممهامي سبواه ڤويسي هاروس ديلاكوكن ڤمبچائن سچارا مندالم دڠن مڠڬوناكن متود دان تكنيك ترتنتو اونتوك مڠتاهوي كسلوروهن مكن يڠ سبنرڽ إڠين ديسمڤايكن اوله ڤنوليس. ساله ساتو ڤندكاتن يڠ داڤت ديڬوناكن دالم مڠناليسيس اداله ڤندكاتن سميوتيك

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini