Riausastra.com – Jam dinding menunjukkan pukul 00:40 ketika Adnan terbangun dengan napas sedikit memburu. Kamarnya masih gelap, hanya ada cahaya redup dari ponselnya yang berkedip di atas meja pertanda banyak pesan yang diabaikan.
Adnan mengusap wajahnya, kantuk masih berat menggelayuti matanya. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menyelinap melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Dengan enggan, ia meraih ponsel dan membuka pesan yang terus berdatangan sejak tadi. “Nan, ayo touring ke pantai. Berangkat jam 1 nanti.” Ia mengerjapkan mata, mencerna ajakan itu beberapa kali. Touring? Tengah malam begini? Apa mereka gila?. Namun, pikirannya segera berbelok. Mungkin ia sama gilanya dengan temannya. Tanpa banyak berpikir, jari-jarinya mengetik balasan singkat “Oke.”
Kenapa tidak? Saat ini ia sedang mengambil cuti kerja. Bosan juga jika setiap hari hanya bekerja dan bekerja. Hidup rasanya monoton belakangan ini, dan mungkin, inilah saatnya melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menarik napas panjang, meregangkan tubuhnya yang masih terasa lemas, lalu bangkit dari tempat tidur.
Kadang, ada saat dimana firasat buruk muncul begitu saja, tapi manusia cenderung mengabaikannya. Seperti malam ini. Pukul satu dini hari, Adnan duduk di atas motornya. Jaket yang dikenakannya masih berbau apek, terlalu lama tergantung di belakang pintu tanpa tersentuh. Bagaimana tidak? Setiap hari ia lebih banyak berpacaran dengan pekerjaannya—sebuah hubungan tanpa cinta yang terus ia jalani demi satu hal; bertahan hidup. Kadang ia bertanya-tanya, seperti apa rasanya punya pilihan? Seperti anak-anak pejabat itu, yang karirnya lebih ditentukan oleh silsilah keluarga ketimbang usaha. Sedangkan dirinya, hanya seorang yang berkeringat di jalanan, diatur oleh mereka yang duduk santai di ruangan ber-AC yang langsung mengeluh kepanasan jika AC turun satu derajat.
Sebelum berangkat, ia sudah memastikan semua bagian motornya aman untuk dibawa, memeriksa rem, lampu, dan bahan bakar. Segalanya tampak baik-baik saja, seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, rasa ragu tetap menyelinap di pikirannya, ada sesuatu yang terasa janggal, meskipun ia tak tahu itu apa. Adnan menghela napas, mengusir kecamuk yang mengganggu.
“Ah, mungkin cuma perasaan saja,” pikirnya. Ia menepis semua itu, lalu menarik gas, membiarkan angin malam menampar wajahnya.
Sebenarnya perjalanan mereka hanya membutuhkan kurang lebih 2 jam untuk tiba di lokasi jika perjalanan berjalan dengan lancar. Jalanan tampak sepi, gelap, dan lengang. Hanya suara deru mesin motor yang terdengar diantara hembusan angin malam. Adnan memacu motornya dengan kecepatan tinggi, menikmati udara dingin yang menerpa wajahnya. Namun, di balik kelamnya jalan, sesuatu tertangkap oleh cahaya lampu motornya–rel kereta api. Terlambat. Ia menarik rem sekuat tenaga. Ban motor kehilangan keseimbangan, selip, lalu terpelanting. Tubuhnya menghantam aspal dengan keras. Nyeri menyebar di lengannya, tapi tidak ada luka serius.
“Lu nggak apa-apa, Nan?” suara Arif terdengar cemas saat membantu Adnan berdiri.
Adnan menggeleng, lebih khawatir dengan motornya. Ia mencoba menyalakan mesin, namun layar digital di speedometer hanya menampilkan angka ‘46’—sebuah kode jika ada mesin yang rusak.
“Sial, ada yang rusak.”
Tanpa pilihan lain, mereka mulai mendorong motor menyusuri jalan. Adnan dan Arif terus mendorong motor mereka di jalanan sepi, napas mereka tersengal karena lelah. Sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada bengkel yang buka atau rumah yang terlihat, hanya deretan pohon dan jalan kosong yang membentang lurus.
“Astaga, Nan, nggak ada bengkel yang buka malam begini” keluh Arif menyeka keringat di dahinya, “Kita istirahat aja dulu, Nan,” ujar Arif menjatuhkan diri di trotoar dengan napas berat.
Adnan menghela napas, duduk di sampingnya. Keletihan mulai merayapi tubuhnya, tapi pikirannya masih gelisah.
“Ini jalan utama, kan?” tanya Adnan memastikan karena, ia merasa aneh sedari tadi memperhatikan jalan sekitar, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Arif mengangguk. “Iya, udah setengah jalan kita ini.”
Adnan mengangguk kecil, meski pikirannya tetap tidak tenang. Ia melirik ke arah jalan yang membentang di hadapannya, berharap ada cahaya kendaraan lain yang melintas. Tenggorokannya kering, dan rasa haus mulai menguasai pikirannya. Saat ia menoleh ke sekitar, matanya menangkap sesuatu yang janggal. Di pinggir jalan, di antara pohon-pohon yang menjulang, berdiri sebuah warung kecil dengan lampu temaram. Warung itu tampak tua, dengan papan kayu kusam dan atap yang sudah mulai rapuh. Tapi anehnya, di tengah malam seperti ini, warung itu masih buka.
“Haus nih, itu ada warung. Beli minum dulu lah kita, Rif”
“Warung?” Arif mengerutkan kening. “Tadi kita lewat sini, kan? Kok kita nggak lihat ada warung?”
Adnan tak menjawab. Ia juga merasa ada yang tidak beres, tapi rasa haus mengalahkan logikanya. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke warung itu, disusul Arif yang masih ragu. Di dalam, seorang pria tua duduk di balik meja kayu.
“Ada air mineral dingin, Pak.? Pria itu tak menjawab, hanya mengangguk pelan sebelum mendorong segelas air ke arah Adnan.
“ Tapi saya minta yang ding–”
“Makasih ya, Pak.” Arif memotong ucapan Adnan yang ingin protes dan langsung mengambil air yang diberikan bapak tersebut.
Adnan juga ikut meraih gelas itu dan meneguk isinya. Airnya terasa dingin, tapi ada sensasi aneh yang mengalir bersama cairan itu—seperti sesuatu yang merayap ke tenggorokannya, ke dadanya, dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Kepalanya mulai terasa ringan. Pandangannya mengabur, suara di sekitarnya tiba-tiba terdengar menggema. Di antara kesadarannya yang memudar, ia melihat Arif berbicara dengan pria tua itu. Adnan memanggil manggil Arif tapi suaranya terdengar jauh. Heran, kenapa Arif tidak mendengarnya dan terlihat biasa-biasa saja. Lalu, tiba-tiba, semuanya terasa salah.
Warung itu mulai berubah. Kayunya tampak lebih lapuk, dindingnya lebih berdebu, dan lampu yang tadi redup kini berkelap-kelip seolah hampir padam. Adnan mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi kakinya terasa berat. Adnan ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia melihat sesuatu di meja tempat pria itu duduk—sebuah koran tua dengan halaman yang menguning. Dan di sana, di antara berita-berita lama, ada sebuah artikel dengan foto dirinya. “Dua Pemuda Dinyatakan Hilang Secara Misterius di Jalan Raya Selatan. Hingga Saat Ini Aparat Tidak Menemukan Jejak Terkait Kasus Tersebut.” Seketika, semuanya menjadi gelap.
***
Ponsel itu terus bergetar di atas meja, menghadirkan cahaya diantara gelapnya ruangan itu. Adnan masih duduk di tepi ranjang, menatap layar yang menampilkan pesan dari temannya, Arif. “Nan, ayo touring ke pantai jam 1 nanti!”
Dadanya naik turun, napasnya masih tercekat. Ia melirik jam dinding—00.40. Persis seperti yang ia lihat sebelumnya. Ia mengusap wajahnya, mencoba mencerna mimpi yang dialaminya. Semua terasa begitu nyata, perjalanan malam, kecelakaan, warung tua, dan… koran itu. Koran yang mencantumkan namanya dalam berita orang hilang. Adnan memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap bisa benar-benar terbangun dari rasa bingungnya. Pikirannya kacau. Ia pikir ini semua karena efek tubuh dan pikirannya terlalu lelah saja. “Cuma mimpi,” gumamnya, meyakinkan diri. Tapi, jika hanya mimpi, kenapa detailnya begitu jelas?.
Ponselnya kembali bergetar, ia membaca pesannya sekali lagi. “Nan, ayo touring ke pantai jam 1 nanti!”
Jari-jarinya membeku di atas layar. Kali ini, ia ragu untuk menjawab.
***
يڠ تق سهاروسڽ ديجاوب
جم دينديڠ منونجوككن ڤوكول ٠٠:٤٠ كتيك ادنن ترباڠون دڠن ناڤس سديكيت ممبورو. كامرڽ ماسيه ڬلڤ، هاڽ ادا چهاي ردوڤ داري ڤونسلڽ يڠ بركديڤ د اتس مج ڤرتندا باڽق ڤسن يڠ ديابايكن
ادنن مڠوسڤ واجهڽ، كنتوق ماسيه برت مڠڬلايوتي متاڽ. اودارا مالم تراس لبيه ديڠين داري بياساڽ، مڽلينڤ ملالوي چله جندلا يڠ سديكيت تربوك. دڠن اڠڬن، إيا مرايه ڤونسل دان ممبوك ڤسن يڠ تروس بردتاڠن سجق تادي. “نن، ايو توريڠ ك ڤنتاي. برڠكت جم ١ ننتي.” إيا مڠرجڤكن مات، منچرن اجاكن إتو ببراڤ كالي. توريڠ؟ تڠه مالم بڬيني؟ اڤ مرك ڬيلا؟. نامون، ڤيكيرنڽ سڬرا بربلوق. موڠكين إيا سام ڬيلاڽ دڠن تمانڽ. تنڤ باڽق برڤيكير، جاري-جاريڽ مڠتيك بلاسن سينكت “اوك.”
























