gambar hanya ilustrasi. sumber: shoppee

Riausastra.comKappa karya Ryunosuke Akutagawa dibuka dengan lanskap rumah sakit jiwa, tempat Pasien no.23 menceritakan apa yang dialaminya di negeri Kappa. Tentu sebelum ia dianggap kehilangan kewarasannya. Kappa adalah makhluk mitologi dari cerita rakyat Jepang yang fisiknya menyerupai katak. Tingginya kurang lebih satu meter, berambut pendek, dan mempunyai lekukan cekung yang berisi air di atas kepalanya. Dalam cerita Jepang, Kappa digambarkan sebagai makhluk yang suka bersemayam di dalam air. Penjelasan Kappa dalam novel ini juga tidak jauh berbeda. Novel yang terbit tahun 1927 ini mengisahkan seorang pasien psikiatri yang mengaku pernah tersesat di negeri Kappa saat sedang mendaki pegunungan Hotakadake. Dari situlah kisah dimulai, ia kemudian tinggal di sana cukup lama dan menghabiskan waktunya untuk mempelajari dunia Kappa. Diceritakan bahwa dunia Kappa tidak berbeda jauh dari dunia manusia. Di sana juga terdapat berbagai profesi bagi para Kappa. Seperti dokter, pendeta, filsuf, penyair, pemusik, dan bahkan seorang kapitalis. Banyak cara hidup Kappa yang bertolak belakang dengan manusia. Sesuatu yang tampaknya konyol dan tidak bernilai di negeri Kappa justru menurut manusia adalah hal yang serius. Begitu pun sebaliknya, hal yang biasa saja bagi manusia akan dianggap serius oleh Kappa. Misalnya manusia yang selalu menutupi tubuhnya dengan busana, sedangkan bagi para Kappa itu adalah hal yang konyol. “Aku juga ingin tahu apa sebab tubuhmu kau tutupi” (hal 14). Di dunia Kappa, para Kappa betina sangat mendominasi. Hal itu digambarkan melalui sistem kekuasaan serta bagaimana para Kappa bercinta. Kappa betina akan selalu berusaha dengan cara apapun untuk memiliki Kappa jantan, bahkan sampai mengejarnya mati-matian. Begitu pula dengan modifikasi agama. Para Kappa juga memeluk agama Kristen, Budha, Islam dan lain sebagainya. Namun yang paling penting bagi mereka ialah Modernisme beserta pendeta dan kuil megahnya.

Maka setelah kembali ke dunia nyata, Pasien no.23 menyadari bahwa Kappa lebih bersih dibanding manusia dan menjadikannya orang yang membenci manusia. Hal itulah yang membuatnya dirawat di rumah sakit jiwa dan dikenal sebagai Pasien no.23. Ada banyak aspek kehidupan, dari keluarga, sosial, politik, seni, agama dan lain sebagainya yang disampaikan Akutagawa dalam buku ini. Banyak yang berpendapat bahwa novel bernada satire ini merupakan kritik penulis terhadap budaya Jepang mengenai moralitas, keadilan hukum, ekonomi, dan seks. Dalam novel yang singkat ini, pembaca akan diajak memasuki perjalanan surealisme dunia Kappa. Membaca buku ini seperti mendengarkan cerita orang gila dengan ceritanya yang ngawur. Apa yang bisa kita percayai dari orang sepeti itu, apakah dia sedang menceritakan hal yang sesungguhnya atau hanya sedang berkhayal.

Identitas Liyan dalam Tokoh Utama

Pasien no.23 selaku tokoh utama, ditampilkan sebagai manusia asing yang masuk ke negeri Kappa, dan bagaimana ia memaknai dirinya di situasi tersebut. Penulis seakan mengungkapkan sisi terdalam manusia lewat cerita yang disampaikan pasien no.23. Psikologis seseorang selalu bisa dilihat melalui beragam fenomena, dan barangkali ia tak merasa cukup dengan gambaran umum semacam itu. Kegilaan bukan hanya penyimpangan dari sudut pandang psikologi pada umumnya, namun ada suatu fakta lain di dalamnya. Akutagawa sepertinya ingin masuk ke dalam cerita dan menjadi tokoh utama untuk menyajikan nilai pada pembaca. Meskipun gambaran tokoh utama yang gila ini mengungkapkan bagian dalam dirinya melalui narasi sudut pandang orang ketiga, membaca kisahnya seperti membiarkan orang gila bicara tentang kegilaannya.

Sementara di sisi lain, identitas Pasien no.23 bisa dikiaskan sebagai Liyan. Sebuah entitas yang dipandang lain oleh umumnya manusia. Maka orang gila seperti Pasien no.23 dianggap sebagai manusia “tidak normal”. Orang gila sebagai liyan seringkali ditempatkan di luar ruangan, sehingga di dalam ruangan dunia ini tidak ada tempat bagi orang gila. Namun dalam novel ini, orang gila yang pada umumnya direpresentasikan sebagai liyan, perlahan memperoleh tempat sebagai pelaku sejarah. Melalui satu peristiwa panjang yang dikisahkannya dan menempatkannya dalam situasi yang nyata. Barangkali orang gila juga memiliki kehidupan yang sama dengan kita (merasa ragu, bahagia, dan mungkin punya pegangan moral), meskipun dengan realitas yang berbeda. Buku ini seakan menegaskan, jika manusia waras melalui fantasi bisa mempercayai apa yang dikatakan orang gila tanpa merasa sebagai sosok yang berbeda, maka tindakan isolatif yang biasanya dibangun manusia agar dapat menekankan kuasanya atas berbagai hal dapat diminimalisir. Pasien no.23, yang cara bicaranya seperti orang ngelantur dan tak dapat dipercaya, merupakan kiasan yang tepat tentang dunia yang penuh diskriminatif.

Dalam kehidupan, semua yang mendapat label liyan, akan diperlakukan layaknya Pasien no.23. Manusia modern cenderung melihat realitas sekitar dengan dualitas, aku sebagai subjek dan orang lain sebagai objek. Berbeda dengan orang-orang terdahulu yang menganggap semua manusia sebagai satu kesatuan, yakni bagian dari alam semesta. Dengan begitu, kita mampu memahami bahwa segala hal yang berbeda dengan kita bukanlah sebuah liyan. Karena masing-masing dari kita, bisa menjadi objek dan subjek secara bersamaan. Singkatnya, kita hanya berbagi tempat duduk dengan orang yang tidak dikenal di dalam kereta.

Interpretasi dan Bunuh Diri Sang Penulis

Akutagawa sering dipandang sebagai salah satu sastrawan terkemuka Jepang. sebagian besar buah penanya berupa cerpen, tapi barangkali Kappa merupakan karyanya yang paling popular. Novel Kappa tentu memicu banyak interpretasi, namun ada dua pendapat yang sering kali direpresentasikan sebagai latar belakang kepengarangan novel Kappa. Yang pertama, pendapat yang menganggapnya sebagai sindiran tajam terhadap adat istiadat Jepang. Dari gambaran dunia Kappa yang sangat bertolak belakang dengan dunia manusia. Penulis seakan menampilkan sindiran terhadap kehidupan masyarakat Jepang modern yang kering akan spiritual. Dan yang kedua, pendapat yang melihatnya sebagai ekspresi penderitaan pribadi Akutagawa. Seperti pada gambaran pemberantasan kaum jelek dalam novelnya. Sang penulis sendiri memiliki seorang ibu yang mengalami gejala gangguan jiwa. Oleh karena itu, ia kemudian diasuh oleh bibinya. Namun berdasarkan salah satu surat Akutagawa sendiri, ia berpendapat bahwa Kappa bukanlah sindiran sosial, melainkan cerminan pandangan dunia pribadinya.

Novel pendek yang penuh kejenakaan ini adalah Karya terakhir Akutagawa. Ia meninggal karena bunuh diri di usia yang ke 35 tahun. Tahun yang sama ketika Kappa diterbitkan. Tak dapat dipastikan penyebabnya, akan tetapi ia pernah berkata, “Seandainya ia bunuh diri, itu karena kabut ketakutan.” Karakter Tokku, penyair kappa dalam novelnya yang selalu ingin bunuh diri, sering dilihat sebagai potret diri Akutagawa. Danseperti umumnya seorang tokoh yang mati karena karena bunuh diri, karyanya selalu menyisakan beragam tanda tanya.

***

دونيا كڤڤ دالم نوۋل ريونوسوك اكوتڬاوا

كڤڤ كريا ريونوسوك اكوتڬاوا ديبوك دڠن لنسكڤ رومه ساكيت جيوا، تمڤت ڤاسيان نخ.٢٣ منچريتاكن اڤ يڠ ديالاميڽ د نڬري كڤڤ. تنتو سبلوم إيا دياڠڬڤ كهيلاڠن كوراسنڽ. كڤڤ اداله مخلوق ميتولوڬي داري چريت ركيت جڤڠ يڠ فيسيكڽ مڽروڤاي كاتق. تيڠڬيڽ كورڠ لبيه ساتو متر، برمبوت ڤندك، دان ممڤوڽاي لكوكن چكوڠ يڠ بريسي ائير د اتس كڤلاڽ. دالم چريت جڤڠ، كڤڤ ديڬمبركن سباڬاي مخلوق يڠ سوك برسمايم د دالم ائير

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini