gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Tatapanku lekat pada gagang besi yang bergerak turun perlahan. Agaknya siapa pun di balik pintu berusaha membukanya tanpa diketahui. Sadar usahanya gagal, pintu telah kukunci sejak kami masuk, benda tersebut kembali naik sama pelannya. Hembusan napas memburu terasa hangat menyapu tengkuk. Ia pasti sama tegangnya dengan diriku. Kubuka pintu beberapa menit berselang, memeriksa keadaan. Sepi. Aku berpaling.

“Dia sudah pergi,” kataku menjawab pertanyaan di matanya.

“Tetap di sini.”

Cengkeraman perempuan muda di pergelangan tangan menahan langkahku. Sorot matanya ketakutan.

Aku tersenyum menenangkan. Si wanita melepas cekalannya.

“Mengapa menolongku? Siapa kau?” tanyanya.

Aku menggeleng. Lebih baik ia tidak tahu.

“Itu tidak penting,” jawabku dan berlalu sebelum ia sempat mencegah.

Tangan meraih revolver yang diselipkan di pinggang. Revolver kedua berikut sarungnya melilit betis, tertutup celana panjang. Kutelusuri lorong yang kotor dengan gerakan menyelinap. Diriku menoleh ke belakang sebelum berbelok. Lega melihat pintu tertutup, ia menuruti kata-kataku. Tinggal memancing orang-orang yang mengejar kami menjauhi tempat ini.

Tetap waspada meski tak ada gerakan atau bayangan di sepanjang jalan yang dilalui, aku menuju pintu depan dengan pistol teracung. Mustahil orang-orang seperti mereka melepaskanku secepat itu. Aku tidak ingin disergap mendadak dan mati konyol di sini. Matahari yang beranjak pergi meninggalkan bayangan panjang di pekarangan pertanda waktuku makin dekat.  

Begitu kaki melewati ambang pintu, kurasakan kerasnya mulut pistol yang ditekankan ke kepala. Detik berikutnya revolver digenggaman telah berpindah tangan. Seseorang muncul dari balik gelap lalu menggeledahku.

“Kau tak perlu ini,” seringainya sambil merenggut lepas sarung pistol di betisku.

Aku amati lelaki tersebut. Usianya mungkin tidak beda jauh dengan wanita di dalam, tapi garis wajah yang keras membuat penampilannya terlihat lebih tua. Sepasang mata sipit mengapit hidung bengkok seperti paruh burung. Rambut hitamnya dibiarkan tumbuh panjang melewati kerah baju.

“Sepertinya kita belum saling kenal,” ucapku.

“Memang belum, tapi kita kenal orang yang sama. Ned.”

Sudah kuduga. Kuangkat bahu tak acuh.

“Jadi mau bicara di mana?”

“Ikut aku.”

“Bagaimana dengan perempuan itu?” sela orang yang masih menodong kepalaku.

“Biarkan saja. Tak ada urusan dengan jalang kecil itu. Jangan membuat masalah yang tak perlu.”

Diam-diam aku lega. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi asalkan dia selamat. Lembah tempat kami berada mulai berselimut malam. Samar terdengar lolongan binatang liar. Si hidung bengkok menyalakan senter kemudian mendahului berjalan, kuikuti tetap dengan moncong pistol terarah ke kepala dari laki-laki di belakangku.

***

Dering ponsel menyeret kembali kesadaran yang hampir hilang. Aku menggeram, menatap jengkel benda di atas meja. Terbayang sosok anak muda sombong yang ceroboh dengan setelan jas mahalnya. Pemuda yang entah kenapa kerap terbelit dalam masalah remeh dan menyebalkan. Sambil menghela napas panjang, kuraih ponsel lalu menerimanya tanpa bicara.

“Kau harus membantuku.”

Terselip nada gelisah dan gugup di suaranya. Dahiku berkerut.

“Di mana kau?”

Ned menyebutkan lokasinya.

Lima belas menit berselang aku hentikan mobil di depan sebuah rumah. Seorang pelayan menyambut dan mengantarku ke lantai atas. Ned berjalan mondar mandir di salah satu kamar. Aku masuk lalu menutup pintu. Ruangan itu berantakan. Serpihan-serpihan kaca dari botol pecah bertebaran di lantai, satu meja kecil terguling hasil pelampiasan rasa frustasi.

“Apa masalahmu?”

Jari Ned menekan pelipis.

“Nora ….”  

Alisku terangkat.

“Perempuan sialan itu bertingkah! Dia berani memerasku. Dia mengancamku!” teriaknya marah.  

“Tawarkan kompensasi lebih banyak,” usulku.

Ned menghempaskan tubuh ke kursi. Kedua tangannya meremas rambut.

“Kau kira kami belum melakukannya?! Ayah sendiri yang turun tangan. Dia bergeming! Perempuan itu sangat merepotkan.”

“Seharusnya kau pikirkan itu sebelum terlibat dengannya.”

Lawan bicaraku mendelik.

“Tak perlu menasehatiku,” ucapnya ketus, “Pergi!.”

Kutinggalkan si anak muda dan kembali ke mobil. Keempat roda berputar, melaju dari pekarangan rumah. Salah satu tugasku adalah memastikan kaum hawa yang merongrong Ned menyingkir selamanya dari hidupnya. Apabila dibutuhkan lebih dari sekadar bujukan halus untuk membuat mereka mundur, saat itulah aku turun tangan.

Sinar matahari terpantul di kaca. Aku menguap. Sudah 24 jam terjaga dan masih beberapa jam ke depan sebelum bisa tidur. Mobil melintas di jalan-jalan dalam kota kemudian berhenti dekat kendaraan yang terparkir. Detik berikutnya aku turun lalu duduk di jok belakang mobil tersebut. Kuambil sepasang sarung tangan karet yang tersedia. Dua pria menempati kursi depan. Mata keduanya tertuju ke gedung seberang.

“Dia masih di dalam?” tanyaku sambil mengenakan benda itu.

Lelaki di balik kemudi melirik jam tangan.

“Lima belas menit lagi keluar dan memanggil taksi. Itu yang dilakukannya tiap hari.”           

Rekannya menatap diriku melalui kaca spion.

“Lakukan seperti biasa.”

Aku mengangguk.

Mobil meluncur pergi begitu aku keluar. Kembali ke tempat semula, aku atur posisi duduk senyaman mungkin. Dengan sebatang rokok terselip di bibir, kuawasi arus keluar masuk gedung. Wanita yang ditunggu muncul beberapa saat berselang. Tanpa sadar diawasi, dihentikannya taksi yang lewat. Aku buang rokok yang tersulut setengah lalu membuntuti.

Tak terhitung berapa kali sudah kulakukan pekerjaan ini. Semua berjalan lancar. Kali ini pun pasti sama andai saja tidak terjadi kesalahan kecil. Mengabaikan akal sehat, kulakukan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sadar sepenuhnya tindakan ini akan membuat murka ayah-anak itu dan mereka pasti memburuku. Dan aku tak peduli. Yang ada di pikiran hanya Nora dan asmara kami yang memabukkan.

***

Meja-meja di balik kaca ditempati para pengunjung yang tengah bersantap. Deretan mobil nyaris memenuhi areal di sisi kiri bangunan. Dengan cermat kukendarai mobil masuk ke tempat parkir, menempati spot yang sebelumnya diisi kendaraan milik pasangan muda yang mendorong kereta bayi. Usai mematikan mesin, aku berpaling pada dua bocah kembar di kursi belakang.  

“Sudah sampai,” senyumku.

Keduanya menatap sangsi tujuan kami.

“Penuh sekali, Kek,” ucap salah satunya, “Apa kita bisa dapat tempat?”

“Tentu saja. Kakek sudah memesannya lebih dulu.”

Aku turun dan membuka pintu belakang mobil, membantu kedua anak itu melepas sabuk pengaman. Sambil menggandeng mereka berjalan masuk, kutemui seseorang yang mengantarkan ke meja untuk tiga orang. Dua bocah lelaki segera berdebat tentang menu yang akan dipesan. Kualihkan perhatian dari keributan kecil itu. Angan berkelana ketika tempat ini masih berupa losmen, di kamar di mana aku dan Nora menghabiskan malam.

Begitu berhasil lolos dari si hidung bengkok, dengan muslihat dan bantuan, kujemput Nora dan kembali meneruskan pelarian. Perempuan itu benar-benar membuatku mabuk kepayang. Pun saat ia mengajakku menginap di salah satu losmen, aku menurut bagai kerbau dicucuk hidungnya tanpa sadar apa yang menanti.

Malam itu aku berutang nyawa pada kewaspadaanku. Tidak dibiarkannya aku terlena tak peduli sedalam apa diriku terpikat pada wanita itu. Nora sangat berbahaya. Di balik tampilan yang memesona, ia penuh perhitungan, dingin, dan licik. Dia mengecohku seperti yang terjadi pada Ned. Tidak, aku membantah dalam hati, kami terkecoh diri sendiri. Nafsu membutakan nalar.

Meski lenyap, Nora tak pernah pergi. Aku menikahi Jill, anak-anak kami lahir kemudian lahir anak-anak mereka dan selalu ada hari saat aku mendadak terjaga tengah malam, merasakan kehadiran sepasang mata. Mata yang di detik terakhirnya menatap dengan sorot menantang sekaligus mencemooh.   

Setelah menyuruh si kembar membersihkan tangan dan mulut di wastafel sudut ruangan, aku bangkit dan membayar nota tagihan yang diberikan pelayan lalu berjalan keluar diiringi dua bocah yang melonjak-lonjak riang di kanan kiri. Hawa hangat musim panas menyambut begitu kaki melewati ambang pintu.

“Makanan di sini benar-benar hebat,” ucap salah satu kembar. Tangannya mengusap perut seraya mendesah puas.

Bocah di sampingnya menanggapi dengan anggukan semangat.

“Kakek,” Anak itu berpaling kepadaku yang sedang memasangkan sabuk pengamannya. “Kapan-kapan ke sini lagi ya?”

Keduanya memandangku penuh harap.

Aku beralih memasangkan sabuk pengaman saudaranya.

“Tentu. Asal orang tua kalian mengizinkan.”

“Pasti boleh,” balasnya sambil tersenyum lebar.

Kuacak sayang rambutnya. Pintu belakang mobil kututup. Sebelum duduk di balik kemudi, aku layangkan pandang ke bangunan yang baru ditinggalkan. Sepasang mata berwarna zamrud itu akan tetap jadi rahasiaku. Hanya aku.

***

زمرود

تتاڤنكو لكت ڤادا ڬاڬڠ بسي يڠ برڬرق تورون ڤرلاهن. اڬكڽ سياڤ ڤون د باليك ڤينتو بروساه ممبوكاڽ تنڤ ديكتاهوي. سادر اوسهاڽ ڬاڬل، ڤينتو تله كوكونچي سجق كامي ماسوق، بندا ترسبوت كمبالي نايك سام ڤلنڽ. همبوسن ناڤس ممبورو تراس هاڠت مڽاڤو تڠكوق. إيا ڤستي سام تڬڠڽ دڠن ديريكو. كوبوك ڤينتو ببراڤ منيت برسلڠ، ممريكس كئدائن. سڤي. اكو برڤاليڠ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini