gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

“Ada kecelakaan lagi!”
“Ada korban mati lagi!”

Riausastra.com – Teriakan-teriakan itu mengundang warga dan pengguna jalan yang sedang melintas pada berkerumun di jalan aspal rusak yang banyak berlubang. Sebuah motor matic nampak tergeletak dengan kerusakan parah. Separo roda depan terperosok sebuah lubang di tengah jalan. Sebelah spionnya terlepas. Bodi motor bagian depan pecah.

Berjarak lima meter dari motor ringsek itu, sesosok tubuh menggelepar di atas jalan yang aspalnya sudah ambyar. Tubuh itu tengkurap di tengah jalan dengan bagian kepala nyungsep ke salan satu lubang jalan. Dari kepala dan bagian tubuhnya mengalirkan darah segar berbau anyir.

Rona kasihan dan geram terpancar jelas dari wajah semua orang. Pemerintah daerah yang seolah sengaja melakukan pembiaran atas kerusakan jalan yang kini berlubang-lubang dan telah beberapa kali menimbulkan kecelakaan, membuat hati banyak orang kian meradang.

Sambil menunggu polisi datang, seorang warga menutupi mayat itu dengan selembar daun pisang.

                                                                        ***

Sekumpulan pohon pisang yang selama ini tumbuh subur di suatu tanah pekarangan, hari ini pada meradang. Dari bisik-bisik angin yang mereka dengar, telah terjadi kesepakatan sekelompok manusia yang akan memindahkan kumpulan pohon pisang itu ke suatu tempat yang tidak semestinya. Tempat yang jelas-jelas tidak layak bagi proses tumbuh kembang pohon pisang.

Betapa tidak! Sekumpulan pohon pisang itu konon kabarnya akan dipindahkan ke sebuah ruas jalan beraspal yang sudah beberapa waktu lamanya rusak parah. Sepanjang jalan itu berlubang-lubang akibat material aspalnya yang digarap tidak sesuai standar kelayakan. Terus bagaimana pohon-pohon pisang itu bisa hidup, jika akar-akar serabut mereka harus melawan kerasnya material jalan.

Benar-benar keterlaluan. Untuk itulah sekumpulan pohon pisang itu mulai gelisah. Bayang-bayang kematian serta merta menghantui mereka setiap saat. Batang pisang yang butuh banyak asupan air itu tentu akan kurus kering jika dipaksa hidup di tengah jalan yang setiap hari dipanggang matahari. Bagaimana bisa mereka menghasilkan buah kalau untuk mendapatkan air dan zat hara teramat susah.

Andai saja memungkinkan, ingin rasanya pohon-pohon pisang itu berontak dari keadaan. Namun, apa daya! Pohon pisang itu tercipta bukan untuk menjadi pembangkang. Mereka tercipta sebagai makhluk yang wajib menurut pada kemauan manusia. Hendak ditanam di mana saja oleh manusia, pohon-pohon pisang hanya bisa pasrah.

Pohon-pohon pisang semakin gelisah. Kabar buruk yang setiap hari diberitakan oleh angin dan kawanan burung, mau tak mau membuat para pohon pisang jadi murung. Mereka tak bisa lagi menikmati sinar matahari sebagai alat pembakar dalam fotosintesis. Akar-akar yang bertugas menghisap air dan zat hara, kini merasa lelah dan merana. Pohon-pohon pisang jadi menganggap makhluk yang bernama manusia itu kehilangan adab dan hati nurani. Simbiosis mutualisme yang selama terjaga rapi, perlahan tapi pasti mulai retak menuju mati.

Gundah pohon-pohon pisang semakin membuncah. Hari ini ada banyak orang datang ke pekarangan dengan membawa beragam alat tajam. Dengan rona wajah penuh amarah, orang-orang itu mulai memilih pohon-pohon pisang muda yang belum berbuah. Pohon-pohon pisang itu didongkel dari dalam tanah sampai ke akar-akarnya. Lantas satu per satu pohon-pohon pisang itu dibawa ke tengah jalan raya.

Pohon-pohon pisang menggelinjang gamang. Seketika daun-daunnya yang semula hijau segar, langsung layu dengan warna memudar. Bagai pesakitan pohon-pohon pisang itu digeletakkan di tengah jalan yang sedang terpanggang matahari. Jalan yang banyak terdapat lubang itu sengaja ditutup dari ujung hingga ke ujung satunya. Tidak ada kendaraan yang bisa lewat, kecuali bagi pejalan kaki.

“Ayo teman-teman, cepat tanam pohon-pohon pisang itu ke setiap lubang yang ada di jalan. Dengan begitu, seminggu lagi ketika Kepala Daerah kita meninjau tempat ini, dia akan tahu betapa parahnya kerusakan jalan ini. Sehingga tidak akan terjadi lagi kecelakaan akibat jalan berlubang yang sangat mengancam keselamatan pengendara!” teriak seorang lelaki bertubuh kurus yang merupakan ketua RW di mana jalan berlubang itu ada.

“Siaaap!” sahut warga yang berjumlah lebih dari 100 orang.

Dengan sigap, orang-orang yang merasa senasib dan sepenanggungan itu bekerja bahu membahu menanam semua pohon pisang di setiap lubang jalan yang panjangnya lebih dari 5 kilometer.

Aura kemarahan jelas terpancar di wajah-wajah berkeringat yang mandi keringat. Penanaman pohon pisang di jalan berlubang ini merupakan tindak lanjut dari upaya mereka menuntut pemerintah daerah agar segera mengadakan perbaikan. Sudah dua kali jalan berlubang itu memakan korban. Seorang tukang ojek dan anak SMA yang sedang berangkat sekolah.

Emosi warga semakin tersulut saat mereka mengadukan perbaikan. Laporan mereka bukannya ditanggapi, tapi justru dibaut pingpong ke sana-ke mari. Desa menyuruh lapor ke kecamatan. Pihak kecamatan menyuruh lapor ke tingkat kabupaten. Sampai di kabupaten mereka harus menghadapi birokrasi berbelit dan berputar yang endingnya tak memberikan solusi memadai.

“Ya, kita tunggu saja kondisi APBD anggaran tahun depan. Sebab untuk semua proyek infrastruktur harus melalui mekanisme pengajuan untuk dapat mengalokasikan besaran anggaran yang diperlukan,” kata seorang anggota dewan sebulan yang lalu.

“Tapi Pak, jalan berlubang itu telah memakan dua korban meninggal di tempat kejadian. Jadi tidak bisakah dibuatkan anggaran alokasi khusus?” Seorang warga yang berstatus sebagai seorang guru Sekolah Dasar mengemukakan usulan.

“Semua tetap harus sesuai prosedur. Sebelum memutuskan, dewan harus mengadakan rapat kordinasi dengan dinas dan instasi terkait. Jadi bersabar dulu, ya. Kami pasti akan mengupayakan,” sahut anggota dewan yang lain.

Merasa bahwa upaya pelaporan mereka hanya membentur tembok birokrasi yang tebal dan angkuh, warga pun pulang dengan dada bergemuruh. Mereka kecewa dengan sikap para wakil rakyat yang nyatanya tak mau mendengar aspirasi masyarakat. Kekecewaan itu yang akhirnya melahirkan mufakat untuk menanami lubang jalan dengan pohon pisang.

Mendengar kisah itu, pohon-pohon pisang yang telah tertanam di lubang-lubang jalan memperoleh satu kesadaran. Pohon-pohon pisang yang semula gamang bahkan ada yang punya niat hendak meradang, perlahan-lahan menjadi sedikit tenang. Mereka yang semula menuduh manusia tak beradab, kini mulai menyadari sikap manusia yang terlihat sedikit kalap.

Ya, pohon-pohon pisang yang ditanam di lubang-lubang jalan itu pada akhirnya jadi mengerti bahwa pemindahan mereka adalah untuk suatu tujuan mulia. Keberadaan mereka di tengah jalan raya yang panas tak terkira, adalah demi sebuah tujuan untuk menyadarkan seorang penguasa pada tanggung jawabnya.

Kini pohon-pohon pisang itu justru merasa bangga dengan keberadaannya. Meskipun berdiri di lubang jalanan membuat akar-akar mereka harus berjuang keras mendapatkan air dan humus yang langka, tapi mereka tetap merasa jauh lebih berguna dari sekadar hidup untuk mempersembahkan buah bagi manusia. Batang-batang pisang bagian luar mulai mongering akibat tudung akar yang kesulitan menembus tatatanan batu dan pasir. Satu per satu daun pisang mulai layu, karena sinar matahari terlalu garang membakar clorofil yang kekurangan asupan pangan.

Namun, pohon-pohon pisang itu tak mau menyerah. Mereka tak ingin mematahkan semangat warga desa yang menuntut perbaikan jalan dengan segera. Dari kabar angin yang pernah pohon pisang terima, anggaran pembangunan daerah ini sebenarnya melimpah. Tapi pemerintah daerah selalu memiliki seribu cara untuk menyelewengkan dana pembangunan bagi kepentingan pribadinya.

Bah! Pohon-pohon pisang serasa mau muntah. Pohon-pohon pisang itu pada heran, kenapa manusia yang dianugerahi akal dan pikiran justru suka bertindak menyalahi aturan. Tidak bisakah para pemegang kendali pemerintah itu bertindak seperti akar. Rela berjuang mati-matian untuk mencari makan demi menghidupi seluruh batang, dahan, ranting, hingga daun tanpa sekalipun merasa lelah. Akar sebagai tulang punggung masih juga harus menopang tegaknya seluruh bagian pohon.

Ah! Pohon-pohon pisang yang berdiri di lubang jalanan semakin perih menerima keadaan. Besar harapan mereka agar apa yang telah pohon-pohon pisang perbuat itu akan mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan manusia. Pohon-pohon pisang akan merasa bangga telah menjadi sarana penyambung lidah bagi manusia.

Walau untuk itu, pohon-pohon pisang harus hidup menderita. Ditanam di lubang-lubang jalanan sebagai bentuk protes atas rusak parahnya jalan yang tak kunjung mendapat perhatian dari pemerintah daerah.

                                                                        ***

Oh! Pohon-pohon pisang yang ditanam di lubang jalanan, merasa hidupnya tinggal setengah permainan. Hampir seluruh daunnya sudah mengering dan luruh ke bawah. Begitupun dengan pelepah-pelepahnya. Pelepah itu sudah tak menghijau lagi. Berganti menjadi coklat tua yang kusam.

Untunglah sebelum pohon-pohon pisang yang ditanam di jalan berlubang itu sampai ke akhir ajalnya, warga yang kembali berkumpul di jalanan bobrok itu membawa kabar bahwa perwakilan pemerintah daerah akan berkunjung ke jalan itu dua hari lagi. Pohon-pohon pisang bersyukur. Setidaknya akan segera ada tindakan nyata untuk perbaikan jalan. Dengan begitu pohon-pohon pisang itu akan segera pula kembali di tanam di tanah pekarangan tempat mereka semula.

Namun, lagi-lagi pohon-pohon pisang itu harus kecewa. Apa yang pohon pisang pikirkan ternyata tak selaras dengan pikiran manusia.

“Kawan-kawan, cepat perbanyak lubang di antara pohon-pohon pisang yang sudah kita tanam ini. Supaya nanti ketika perwakilan pemerintah daerah meninjau ke tempat ini, mereka dapat melihat kerusakan yang semakin parah dari yang kita laporkan tempo hari!” teriak ketua RW dengan lantang.

“Betuuull!” sambut semua warga dengan gegap gempita.

“Siaaapp!” sahut sebagian warga lainnya.

Mau tidak mau pohon pisang tercengang menyaksikan warga yang mulai membuat lubang-lubang baru di sepanjang jalan itu. Pohon-pohon pisang tak habis mengerti dengan pola pikir manusia-manusia itu. Bagaimana bisa menambah lubang-lubang baru itu dianggap akan mendatangkan solusi. Sedangkan dengan lubang yang ada sebelumnya saja, pengadaan anggaran masih menunggu hasil persidangan.

Duh, pohon-pohon pisang yang ditanam di jalan berlubang itu terkulai pasrah. Tak sanggup mereka mengikuti arus pemikiran manusia yang diwarnai ambisi dan angkara. Pikiran manusia yang terlalu cepat berubah dalam setiap detiknya, membuat pohon-pohon pisang tak bisa berbuat apa-apa. Dua hari lagi nasib mereka dipertaruhkan. Jika perbaikan jalan berlubang itu disetujui, bisa jadi mereka akan segera dikembalikan ke pekarangan semula. Namun jika gagal, berarti pohon-pohon pisang di jalan berlubang itu tinggal menunggu ajal.

Dengan berurai air mata, pohon-pohon pisang hanya mampu menyaksikan tangan-tangan kasar manusia yang mulai menciptakan banyak lubang baru di jalan itu. Bunyi dentingan cangkul, linggis, serta alat-alat tajam lain yang mengorek jalan yang sebagian besar lapisan aspalnya telah mengelupas, membuat deretan pohon pisang terhenyak menahan napas.

                                                                        ***

Tiga hari kemudian. Warga dan pohon-pohon pisang di jalan berlubang sama-sama terkulai tanpa daya. Perwakilan pemerintah daerah yang datang ternyata tidak memberikan solusi seperti yang digadang. Di atas kesabaran banyak orang yang makin menipis, himbauan untuk menunggu datangnya anggaran perbaikan membuat banyak orang semakin geram.

Seperti pohon-pohon pisang yang ditanam di jalan berlubang itu, kekecewaan warga terhadap pembuat kebijakan semakin jauh. Tak ayal, pohon-pohon pisang yang hidup susah mati pun enggan itu, yang lantas jadi bahan pelampiasaan kekecewaan. Dengan senjata parang berbagai ukuran, pohon pisang setengah mati itu sebagian besar dibabat. Batangnya dipoton-potong dan disebar secara berserakan di sepanjang jalan.

Pohon-pohon pisang yang masih berdiri tegak diam terhenyak. Pupus sudah harapan mereka untuk menjadi penyambung lidah manusia guna menyampaikan ketidakadilan. Terlambat pohon-pohon pisang menyadari bahwa di negeri ini, politik tak lebih adalah sederet omong kosong yang dilegalkan atas nama demokrasi. Sementara pemilu yang seharusnya akan melahirkan pemimpin baru yang jauh lebih baik dari pemimpin yang lalu, nyatanya tak lebih seperti parodi berbagi kursi bagi para pencari kerja yang berduit.

Di atas jalan-jalan berlubang, pohon-pohon pisang melanjutkan hidup walau tanpa harapan. Pohon pisang di jalan berlubang menjadi saksi bahwa kaum jelata di negeri ini hanya dianggap tikus yang dibiarkan mati di lumbung padi.

Daun kering pohon-pohon pisang di jalan berlubang bergerak lirih ditikam angin yang bertiup setajam belati.

***

ڤوهون ڤيسڠ د جالن برلوبڠ

“ادا كچلكائن لاڬي!”

“ادا كوربن لاڬي ماتي لاڬي!”

ترياكن-ترياكن إتو مڠوندڠ أرڬ دان ڤڠڬون جالن يڠ سدڠ ملينتس ڤادا بركرومون د جالن اسڤل روسق يڠ باڽق برلوبڠ. سبواه موتور ماتيچ نمڤق ترڬلتق دڠن كروساكن ڤاره. سڤارو رودا دڤن ترڤروسوق سبواه لوبڠ د تڠه جالن. سبله سڤيونڽ ترلڤس. بودي موتور باڬيان دڤن ڤچه

برجارق ليم متر داري موتور ريڠسك إتو، سسوسوق توبوه مڠڬلڤر د اتس جالن يڠ اسڤلڽ سوده امبير. توبوه إتو تڠكورڤ د تڠه جالن دڠن باڬيان كڤالا ڽوڠسڤ ك ساله ساتو لوبڠ جالن. داري كڤالا دان باڬيان توبوهڽ مڠاليركن داره سڬر برباو اڽير

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini