gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Pemandangan yang kini marak di lingkungan kampus sungguh menarik sekaligus ironis, mahasiswa tampak sibuk setiap hari, berlari dari satu agenda ke agenda lain, menghadiri rapat, menjadi panitia acara, aktif di organisasi, bahkan tidak lupa mengunggah hasil dokumentasi kegiatan ke media sosial dengan caption bijak dan tagar #MahasiswaAktif. Sekilas terlihat keren dan menginspirasi, seolah mereka adalah agen perubahan sejati, generasi yang penuh semangat dan berdedikasi tinggi. Namun ketika ditanya lebih jauh, “Apa yang sudah kamu hasilkan dari semua kesibukan itu? Apa dampaknya bagi dirimu dan orang lain?”, kebanyakan hanya terdiam. Aktivitas mereka banyak, tetapi hasilnya nyaris tidak terlihat. Fenomena inilah yang bisa disebut: mahasiswa sibuk, tapi tidak produktif.

Fenomena ini bukan sekadar candaan atau sindiran ringan. Ini adalah cerminan dari realitas yang cukup mengkhawatirkan di dunia pendidikan tinggi. Mayoritas mahasiswa terjebak dalam apa yang bisa disebut “kesibukan semu”, mereka tampak aktif secara fisik, tetapi pasif secara intelektual. Mereka menghadiri berbagai rapat yang panjang tanpa keputusan berarti, mengerjakan proyek yang lebih mementingkan tampilan daripada substansi, dan mengikuti lomba bukan untuk belajar, melainkan sekadar demi sertifikat dan gengsi sosial. Akibatnya, banyak kegiatan yang dilakukan hanya menghasilkan kelelahan, bukan pencapaian. Padahal, menurut Singgih Subiyanto dalam Edutech Publishing, banyak yang berpikir multitasking adalah cara terbaik untuk menyelesaikan pekerjaan. Padahal, berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas lain justru mengurangi fokus dan memperlambat hasil kerja, seperti notifikasi masuk, email mendadak, pesan dari rekan kerja semuanya terasa mendesak, padahal belum tentu penting, ini membuat kita sibuk mengurus hal kecil sementara pekerjaan utama tertunda.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian mahasiswa mulai menganggap bahwa nilai akademik dan keilmuan tidak lagi penting. Mereka percaya bahwa pengalaman organisasi adalah segalanya. Memang benar, organisasi adalah tempat yang sangat baik untuk belajar kepemimpinan dan tanggung jawab, tetapi ketika kegiatan organisasi mengorbankan kualitas belajar, di situlah kesalahan besar dimulai. Padahal, kata mahasiswa sendiri mengandung makna mendalam: maha berarti besar, dan siswa berarti pelajar. Artinya, mahasiswa adalah pelajar tingkat tinggi, mereka yang semestinya memiliki wawasan luas, daya analisis tajam, serta semangat untuk terus menambah ilmu pengetahuan. Tetapi kini, banyak mahasiswa yang lebih fasih membuat proposal kegiatan daripada menulis esai, lebih rajin menghadiri rapat organisasi daripada menghadiri kuliah, dan lebih sibuk mencari ketenarandaripada ilmu.

Kondisi ini tidak muncul tanpa sebab. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya pencitraanyang makin mengakar di kalangan mahasiswa. Di era media sosial, banyak orang merasa perlu terlihat sibuk agar dianggap hebat. Foto-foto saat memegang mikrofon, mengenakan jas almamater di depan audiens, atau berpose di acara kampus dijadikan bukti kesuksesan. Padahal, semua itu tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas. Sibuk tidak sama dengan berhasil. Aktivitas yang padat bukan jaminan seseorang sedang bertumbuh. Menurut Silvyeayus di Kompasiana banyak mahasiswa yang tenggelam dalam rutinitas yang seolah bermakna, padahal sesungguhnya hanya mengulang pola yang sama tanpa arah dan tanpa hasil.

Kesalahan lain terletak pada cara pandang terhadap produktivitas. Mayoritas mahasiswa berpikir bahwa produktif berarti melakukan banyak hal sekaligus. Padahal, produktivitas sejati terletak pada kemampuan menghasilkan kegiatanyang bermanfaat, bukan sekadar banyaknya aktivitas. Seorang mahasiswa yang menulis satu artikel ilmiah atau satu opini kritis jauh lebih produktif dibanding mereka yang mengikuti sepuluh kegiatan tanpa hasil apa pun. Produktivitas adalah tentang kualitas, bukan kuantitas.

Mahasiswa perlu memperbaiki pola pikir bahwa kesibukan bukan ukuran kesuksesan, melainkan kemampuan mengatur prioritas dan waktu secara bijak. Mereka harus belajar memilih kegiatan yang sesuai dengan tujuan hidup, mengelola waktu secara disiplin, serta rutin melakukan refleksi diri agar setiap aktivitas benar-benar bisa bermanfaat. Selain itu, mahasiswa perlu menghasilkan karya nyata meskipun kecil akan tetapi bisa digunakan sebagai bukti bahwa kesibukan mereka benar-benar produktif dan berdampak positif.

Selain itu, dosen dan pihak kampus juga memiliki peran penting, kampus harus menciptakan iklim akademik yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan berkreasi, bukan sekadar aktif secara administratif. Kegiatan akademik harus dikemas menarik dan relevan dengan dunia nyata, agar mahasiswa tidak merasa bahwa belajar hanyalah beban dan pada akhirnya, mahasiswa adalah agen perubahan bukan sekadar pengisi jadwal yang padat. Mereka dituntut untuk menjadi motor intelektual, bukan penonton yang sibuk tanpa arah. Sudah saatnya berhenti memuja kesibukan dan mulai menghargai kebermaknaan. Sebab, dunia tidak butuh mahasiswa yang selalu sibuk, tetapi mahasiswa yang tahu untuk apaia sibuk. Maka sebelum kembali berkata, “Aku sibuk,” tanyakan dulu pada diri sendiri “Apakah kesibukanku hari ini benar-benar membawa manfaat, atau hanya pelarian dari ketidakjelasan tujuan hidup?”, karena pada akhirnya yang membedakan mahasiswa sibuk dan mahasiswa produktif hanyalah satu hal yaitu tujuan, karena tanpa tujuan yang jelas, semua kesibukan hanya akan menjadi bentuk lain dari kemalasan yang tersamar.

Menurut pandangan saya, fenomena di mana mahasiswa terlihat sangat sibuk setiap harinya tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang konkret itu sangat mengkhawatirkan. Kesibukan yang hanya berupa rutinitas tanpa arah yang jelas sebenarnya menguras tenaga tanpa memberikan manfaat yang berarti, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk sekeliling. Seharusnya, mahasiswa lebih fokus pada kualitas kegiatan dan hasil yang berguna daripada sekadar banyaknya aktivitas yang dilakukan, sebab produktivitas yang sebenarnya berkaitan dengan pencapaian dan kontribusi nyata, bukan sekedar aktif secara fisik maupun administratif. Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa untuk meninjau kembali prioritas mereka, mengatur waktu dengan bijak, serta menekankan pengembangan diri dan ilmu pengetahuan sebagai tugas pokok mereka.

***

مهاسيسوا سيبوق، تاڤي تيدق ڤرودوكتيف

ڤمنداڠن يڠ كيني مارق د ليڠكوڠن كمڤوس سوڠڬوه مناريك سكاليڬوس إرونيس، مهاسيسوا تمڤق سيبوق ستياڤ هاري، برلاري داي ساتو اڬندا ك اڬندا لاين، مڠهاديري راڤت، منجادي ڤانيتيا اچارا، اكتيف د اورڬانيساسي، بهكن تيدق لوڤ مڠوڠڬه هاسيل دوكومنتاسي كڬياتن ك مديا سوسيال دڠن چڤتيون بيجق دان تاڬر ۞مهاسيسوااكتيف. سكيلس ترليهت كرن دان مڠينسڤيراسي، سئوله مرك اداله اڬن ڤروباهن سجاتي، ڬنراسي سماڠت دان بردديكاسي تيڠڬي. نامون كتيك ديتاڽ لبيه جاوه، “اڤ يڠ سوده كامو هاسيلكن داري سموا كسيبوكن إتو؟ اڤ دمڤكڽ باڬي ديريمو دان اورڠ لاين؟”، كبڽاكن هاڽ ترديام. اكتيۋيتس مرك باڽق، تتاڤي هاسيلو تيدق ترليهت. فنومن إنيله يڠ بيس ديسبوت : مهاسيسوا سيبوق، تاڤي تيدق ڤرودوكتيف

Artikel sebelumnyaResensi Novel “Aku Juga Ingin Dianggap” Karya Wulan Dwi Biraeng: Suara Sunyi dari Balik Bayangan
Artikel berikutnyaPuisi: Musnah Sudah
Farhan Syahrul Bana
Farhan Syahrul Bana merupakan mahasiswa aktif semester 3 Program Studi Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Ia lahir di Surakarta, 12 Oktober 2005. Pada waktu SMA ia berhasil dilantik sebagai anggota Paskibraka Kota Surakarta 2022, dalam kegiatannya berorganisasi ia pernah menjadi Liaison Officer (LO) dalam event Pekan Olahraga Tradisional Nasional 2022, lalu pada tahun 2025 ia dilantik sebagai Purna Paskibraka Indonesia Kota Surakarta dan menjabat di divisi kewirausahaan. Sebagai mahasiswa yang sedang menempuh Pendidikan di bidang bahasa dan sastra Indonesia, Farhan mulai menekuni kegiatan menulis opini sebagai langkah baru dalam mengembangkan diri. Ketertarikannya berawal dari pengamatannya terhadap fenomena mahasiswa masa kini yang tampak sibuk dengan kegiatan, namun belum tentu produktif secara akademik maupun intelektual. Melalui tulisannya Farhan berusaha mengajak mahasiswa lain untuk lebih reflektif, menyeimbangkan antara kesibukan organisasi dan pengembangan kemampuan berpikir kritis. Bagi Farhan, menulis opini bukan sekedar meynalurkan ide, tetapi juga cara untuk melatih produktivitas yang bermakna di tengah dinamikan kehidupan kampus.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini