gambar hanya ilustrasi. sumber: bing

Riausastra.com – Dengan sigap, Bu Nur menyiapkan pakaian dari lemari ke dalam tas ransel yang dibuka lebar.  “Kenapa berangkat mendesak?” meski terdengar lembut, nada suaranya terdengar sedih. Bu Nur gelisah bergerak maju dan mundur di rumah sederhana mereka. “Baru kali ini suamiku operasi mata,” gumamnya sambil terus merapikan pakaian.

Suaminya memperhatikan dengan wajah iba. Teringat ia, seperti ada yang ingin disampaikannya. Setelah beberapa menit, Ibrahim suaminya buka suara. “Umurku sudah senja sayang,” katanya sambil membuka kacamata. Ibrahim mengusap matanya yang kabur melihat.

Lelaki itu sudah berusia 80 tahun. Ia lahir pada hari kemerdekaan Republik Indonesia. Untungnya, ia tak sakit-sakitan dengan pola makan teratur. Sewaktu muda, ia sering olahraga dan mengkonsumsi sayaur. Sebagai seorang istri, Bu Nur mencoba memberi semangat setiap hari. Menurutnya, cinta adalah sumber kebahagiaan sejati.

Sketsa/ilustrasi apa yang cocok menggambarkan data di atas? buat dengan kata-kata, buatkan 5 pilihan

Alhamdulillah, kita masih diberikan umur panjang. Semoga kita selalu banyak berdoa dan bersyukur,” tuturnya.

Ibrahim sebenarnya seorang mantan guru. Sayangnya ia tak memiliki gelar sarjana pendidikan. Halangan ekonomi yang lemah pada masanya mampu ia atasi dengan gigih belajar. Mimpinya terus berkobar dengan alat-alat tradisional pada zamannya menimba ilmu. Ia sudah mengajar puluhan tahun di pelosok negeri. Kepandaiannya berbicara tentnag petuah adat, membuat ia disegani banyak orang di masyarakat.

Sementara anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa. Ibrahim dan Bu Nur tidak dapat mewariskan tanah dan harta yang banya. Sebab mereka bukan orang berada dari segi ekonomi. Tetapi, di balik kemiskinan dan kesakitan yang mereka jalani, mereka mempunyai cara bertahan hidup. Mereka tiada lupa berusaha dan berdoa.

Menjelang pagi, embun turun. Hari berganti tiada pasai. Sementara jadwal operasi mata Ibrahim tinggal  menghitung jari. Bu Nur sudah menghitung biaya mereka selama tiga hari. Sementara hutang mereka bertumpuk belum selesai dibayar.  Panas dan hujan silih berganti.

Waktu terus berlanjut. Hendra anak mereka masih di rantau.  Sudah 15 tahun ia pergi meninggalkan kampungnya. Tempat ia tumbuh menjadi harapan penghapus air mata. Sebuah surat ia kirim ke pos metropolitan.

Duhai ayahku tercinta obat segala luka. Matamu senja tetapi hatimu bercahaya. aku ingin pulang. pulang yang sudah lama bercengkrama. Aku ingin pulang melihatmu tersenyum seperti hari-hari yang tak pernah mendung dengan gelak tawa.

Waktu tinggal satu hari lagi. Biaya perjalanan dari Jakarta ke Padang terbilang tinggi pasca melonjaknya harga minyak dan rempah-rempah di negeri tercinta.  Kemudian hari-hari semakin sepi. Hendra termangu di dalam kos berukuran 2×3 meter. Ia mengingat perjuangan ayah dan ibunya ketika masih kecil. Masa-masa yang sangat bahagia tanpa kerisauan-kerisauan menjalani hidup. Suara katak berdendang tak pernah lagi ia dengar. Suara burung hantu menjelma ketakutan-ketakutan di kota. Orang-orang sibuk mencari bekal sesuap nasi.

Demi keinginan yang kuat untuk pulang. Hendra yang belum mapan terpaksa menjual sebuah laptop kesayangannya dengan harga murah. Satu saja keinginan dalam pikirannya yang bermuara kepada jalan pulang.  Setidaknya hasil penjualan laptop itu bisa mengantarkannya menuju rumah.

Laptop kesayangannya itu agaknya suah berusia tua. Laptop yang biasa ia gunakan menulis beberapa puisi kehidupan di kota  dengan segala problematika. Sesekali ia gunakan menulis berbagai cerita pendek tentang cinta dan kenangan. Cinta yang ada pada setiap diri manusia yang ia idam-idamkan berbuah semangat pantang menyerah.

Ketika laptop sudah terjual. Hendra memesan tiket pesawat menuju Bandara Internasional Minangkabau di Kota Padang. Sebuah kota yang sudah lama ia berpijak di sana. Sebuah kota yang mengajarkannya arti hidup dan sosial. Bergotong royong membangun negeri. Sebuah kota yang penuh dengan norma-norma kehidupan.

***

ايه اكو إڠين ڤولڠ

دڠن سيڬڤ، بو نور مڽياڤكن ڤاكايان داري لماري ك دالم تس رنسل يڠ ديبوك لبر. “كناڤ برڠكت مندسق؟” مسكي تردڠر لبوت، نادا سواراڽ تردڠر سديه. بو نور ڬليسه برڬرق ماجو دان موندور د رومه سدرهان مرك. “بارو كالي إني سواميكو اوڤراسي مات” ڬوممڽ سمبيل تروس مراڤيكن ڤاكايان

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini