Riausastra.com – Pundakku kian berat di Naghoghi Kampa, di antara orang-orang yang mengampuni dosa. Aku memang bersalah, dan kesalahan itu membuatku tak kuasa memicingkan mata. Mestinya, aku sudah terkapar puas sesaat melakukannya. Namun, kau tiba-tiba datang dan menarik tubuhku dan mendorongku hingga jatuh. Kau mencengkeram pundakku dan memaksaku lekas bangkit, memintaku lari sebelum orang-orang datang dan mengatakan: “Mereka akan mengurungmu di lingkaran candi!” Akan tetapi, ke mana lagi aku mesti pergi?
Kayu telah ditumpuk. Api dinyalakan. Orang-orang terus berdatangan seperti kera-kera yang kedinginan. Aku menengadah, mencoba menghindari kontak mata. Namun, bintang-bintang itu seperti pandangan manusia yang masih hidup dan tatapan orang-orang jujur yang telah berpulang. Ini malam keduaku di Naghoghi Kampa, di antara berpasang-pasang mata yang melirik Mahligai [1] lalu menoleh dan memandang lama pada dua orang yang berdosa.
Aku tersentak ketika jari-jari kasar menggenggam tanganku. Aku menoleh, lalu mendapati lengan yang tampak kuat di tubuh lelaki yang begitu besar. Bila lelaki ini ingin membunuhku, tentu saja dia bisa melakukannya dengan mudah. Aku berpikir sejenak, dan tangan kiriku menemukan jemari halus sebagai pegangan. Seketika, semua orang saling menggenggam—berpegangan tangan membentuk lingkaran.
Semua orang sedang mengelilingi anggota suku yang telah melanggar adat. Kalian—gadis bisu itu dan kau—didakwa melakukan zina. Tetua Kampa mulai melangkah menuju Palangka [2], menaiki tangganya lantas berdiri di tengah-tengah. Di atas panggung itu, ia meminta kami agar menceritakan kebaikan-kebaikan yang pernah kalian lakukan.
“Dia gadis yang baik!” kata lelaki besar di sisi kananku. Dia berpikir sejenak. Agaknya, dia tidak begitu mengenali si gadis bisu. Namun, dia seperti berusaha keras untuk mengingat atau membualkan kebaikan palsu demi membela gadis berdosa. Aku mengerti. Malam ini, siapa pun akan menceritakan kebaikan kalian di hadapan semua orang. Setelah semuanya selesai, kalian akan diampuni dan diterima kembali dalam pergaulan sehari-hari. Akan tetapi, tentu saja tak semudah itu!
“Aku ingat! Ada lelaki bertanjak emas pernah menggodanya. Namun, gadis itu terus menghindar dan terus menundukkan muka.” Aku menjadi lebih yakin bahwa lelaki ini memang membual. “Dan aku berani bertaruh dengan siapa pun!” katanya, dan ia mulai meremas tanganku dengan kuat! “Dia bukan berzina, tapi diperkosa!”
Aku menoleh ke sisi kiri dan menemukan gadis berjemari halus yang ternyata lebih cantik dari si bisu.
“Aku memang tak pernah berbicara dengan gadis itu,” katanya, dan aku melihat bibirnya bergerak beberapa saat, seperti sedang merancang pembelaan. “Tapi aku juga meyakini bahwa dia adalah gadis yang baik-baik. Dulu, aku pernah mencuci pakaian di Sungai Kampa. Selendangku jatuh dan hanyut dan aku hanya bisa melihatnya terbawa air. Namun, dia terus mengejarnya walau itu sia-sia.”
Ceritanya terhenti saat ibu jariku mulai menari di jari halusnya. Aku mulai tersenyum, membayangkan diri menjadi seekor tikus—tikus besar—di antara sekumpulan kucing lugu lalu ikut berpegangan tangan. Tak lama, aku mendengar suara yang hanya berjarak enam atau delapan orang saja di sisi kiriku. Namun, aku tak bisa melihat, bahkan membayangkan wajah seseorang yang bisa berbicara seperti sedang membaca cerita.
“… dan yang paling kuingat darimu adalah ketika kami gagal panen. Kami sekeluarga kelaparan; dan kamu dengan senang hati berbagi makanan. Kamu melakukannya berkali-kali dan kami tak pernah berterima kasih. Seharusnya, kami tetap mengucapkannya meski kamu, meski kamu tak bisa mendengar dan menjawab.”
Aku memang pendatang yang tak banyak tahu. Kaulah yang menceritakan Kampa lalu mengajakku singgah; dan gadis bisu yang malang itu adalah perempuan pertama yang kebetulan melintas sesaat sampai di desamu yang—menurutku—sungguh sangat kesepian. Namun, aku betul-betul keliru. Desa ini alangkah ramai sesaat ada masalah. Desa yang sepi ini seketika penuh dengan cerita.
Semua orang telah menceritakan kebaikan si gadis bisu dan tibalah giliranku. Aku menjadi lebih tahu; tidak ada yang boleh menghakimi, tidak seorang pun yang boleh menghina, tidak boleh ada yang mengucapkan tuduhan atau hal buruk. Semuanya hanya mengatakan budi baik dan jasa yang rasanya patut menjadi cerita. Namun, aku sungguh tak peduli pada kebiasaan yang bukan adatku.
Aku kembali menengadah untuk menghindari kontak mata. Menghindari tatapanmu; tatapan si gadis bisu yang selumbari menangis di hadapanku, yang barangkali, kini sedang memandang mukaku dengan penuh benci. Aku tak mengenalinya dan tak tahu baik-buruknya. Namun, sambil memejamkan mata pada bintang-bintang yang menatapku, kukatakan, “Gadis ini sungguh baik, tapi tak perlu kuceritakan kebaikannya!”
Api kian membesar. Kendati keringat mulai mengucur dari lenganku, kugenggam erat jemari halus di tangan kiriku seperti jari-jari kasar yang enggan melepas tangan kananku.
***
Ini malam ketigaku di Naghoghi Kampa, di antara orang-orang yang mencuci dosa. Setiap orang kembali menggenggam, kembali melingkar seperti lingkaran di bagian atap Candi Tua [3]. Gadis cantik yang memiliki jemari halus, kini berada jauh di sisi kiriku. Aku tahu, jemari sehalus itu merasa risi di genggamanku. Namun, lelaki besar yang memiliki jari-jari kasar, kembali mencengkeram tangan kananku.
Kayu kembali menumpuk dan api pun mulai menyala. Kalian—gadis bisu itu dan kau—kembali bersimpuh di tengah lingkaran. Suara pertama menyebut kebaikan, memberi pujian, dan mengenang jasa-jasa yang pernah kaulakukan. Ya, kau memang baik. Siapa pun akan mudah menceritakanmu.
“Laki-laki ini sungguh mulia. Aku pernah menyiksa anjing dan ingin membunuhnya. Namun, laki-laki inilah yang mencegahku. Dia jugalah yang kemudian mengobati anjing itu.”
Barangkali, kau mulai tersenyum setelah mendengar suara pertama yang menceritakan kebaikanmu. Atau kau hanya menatapnya dengan wajah datar karena kautahu siapa pun akan mengenang kebaikanmu. Namun, aku menjadi lebih yakin bahwa kau merasa hina, karena cerita kebaikan berarti pembelaan pada orang yang berdosa.
“Aku sudah merenung seharian dan aku masih tak dapat memercayainya.” Semua mata memandanginya. Lelaki tua berdada sempit itu adalah orang tua dari si bisu … “Kau orang baik, dan bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu. Kaulah yang menyelamatkanku. Bila saja tak ada kau, barangkali,” dadanya yang sempit itu mestinya tampak sesak, tapi itu tak terjadi dan betapa aku membencinya, “barangkali, aku sudah menjadi kotoran harimau atau mati busuk di dalam hutan! Kuharap, istriku mengampunimu.”
“Bahkan, kami pernah menganggapmu sebagai Nabi!” suara istrinya menimpali.
Perempuan itu tidak terlihat dari tempatku. Namun, aku dapat membaca raut mukamu dengan jelas. Untuk pertama kalinya malam ini, kau mulai menengadah dengan pasrah.
“Ketika rumah kami terbakar, kaulah satu-satunya orang yang berani menerobos kobaran api demi menyelamatkan anak kami. Kini, inilah yang terjadi. Anakku menjadi korban dan—”
Dari suaranya, aku tahu bahwa perempuan itu sedang menelan tangis. Kau kembali menunduk dan ….
“Mereka memang sepasang korban di tengah lingkaran!” Aku menoleh ke kiri ketika mendengar suara lelaki besar di sisi kananku. “Mereka bukanlah dua orang yang berdosa ….” Ia mulai menceritakan bahwa kau adalah laki-laki baik dari keturunan yang baik-baik. Ia mengisahkan masa lalumu, kebaikan demi kebaikanmu. Ia masih terus bercerita ketika air liurnya tampak menggantung pada bulu-bulu tak beraturan pada dagunya. Barangkali, ia akan menyebut kebaikan lain lalu menudingku lalu menyeretku ke tengah lingkaran …. “Dan akulah orang yang paling mengenali gadis itu dan—”
“Semalam setelah perkawinan kami, suamiku pergi dari rumah dan berkata akan menceraikanku.” Perempuan berwajah pucat di sisi kiriku, seketika memotong suara lelaki berkulit hitam. Barangkali, jarinya yang kuremas kuat telah membuatnya jadi mengerti. “Tapi kamulah yang membujuk suamiku dan kamulah yang menyatukan kami kembali. Tanpamu, tak akan ada anak-anak kami. Kami telah memiliki tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan,” katanya, “dan sekarang,” sambil melepaskan genggamanku dan membelai perutnya yang sedang buncit, ia mengatakan, “aku sedang mengandung anak kami yang kelima.”
Lelaki bertubuh besar menyentak tanganku dan aku menengadah menantang matanya. Dari caranya memandangiku, kuat dugaanku, lelaki besar ini memiliki hubungan rahasia dengan si bisu. Dugaan itu membuatku menjadi yakin bahwa bila aku tak membunuhnya malam ini, maka dialah yang akan melakukannya.
“Ada lagi?”
Aku menoleh dan tatapan Tetua Kampa seperti menusuk bola mataku. Semua orang sedang menunggu giliranku. Baiklah. Aku bisa saja menceritakan kebaikanmu sepanjang malam. Bahwa kaulah yang menyelamatkanku ketika ingin mati di ujung tali. Bahwa kaulah yang membawaku ke Kampa setelah semua orang memusuhiku di kampung sendiri. Selumbari, kau kembali menyelamatkanku—tak membantah tuduhanku dan membiarkan dirimu berada di tengah lingkaran dengan memikul dosa besarku. Namun, bukankah kebaikan bukan untuk diceritakan?
“Kau sangat jahat!” kataku, dan lekas kualihkan pandangan dari matamu, dari gadis bisu itu, dari tatapan semua orang yang masih saling berpegangan tangan. “Bila saja aku yang menjadi ayah dari gadis itu, aku akan membunuhmu!”
Orang-orang melepas genggaman. Api dipadamkan. Mereka melangkah pulang mengistirahatkan badan, pikiran, lalu meninggalkan dua orang yang berdosa agar merenung dan menyesali kesalahan. Kampa pun kembali sepi. Semuanya telah pergi—kecuali kau, gadis bisu itu, dan lelaki bertubuh besar dengan jari-jari kasar yang mencengkeram tangan kananku lebih kuat! (Pekanbaru, 2024)
Catatan:
[1] Candi yang dianggap paling utuh bentuknya dari candi lainnya di situs Muara Takus. Pondasinya berbentuk persegi panjang dan di tengahnya terdapat menara berbentuk silinder.
[2] Candi Palangka berada di sisi Timur Candi Mahligai. Candi ini diduga digunakan sebagai altar / mazbah.
[3] Candi Tua merupakan bangunan yang paling besar di situs Muara Takus. Bangunan yang juga disebut Candi Sulung ini memiliki tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Terdapat tangga di sisi Timur dan Barat. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran.
***
دوا اورڠ يڠ بإدوس
ڤوندككو كيان برت د ناغوغي كمڤ، د انتارا اورڠ-اورڠ يڠ مڠمڤوني دوس. اكو ممڠ برساله، دان كسلاهن إتو ممبواتكو تق كواس مميچيڠكن مات. مستيڽ، اكو سوده تركاڤر ڤواس سسائت ملاكوكنڽ. نامون كاو تيب-تيب داتڠ دان مناريك توبوهكو دان مندوروڠكو هيڠڬ جاتوه. كاو منچڠكرم ڤوندككو دان ممكساكو لكس بڠكيت، ممينتاكو لاري سبلوم اورڠ-اورڠ داتڠ دان مڠتاكن: مرك اكن مڠوروڠمو د ليڠكارن چندي!” اكن تتاڤي، ك مان لاڬي اكو مستي ڤرڬي؟
كايو تله ديتومڤوق. اڤي ديڽلاكن. اورڠ-اورڠ تروس بردتاڠن سڤرتي كرا-كرا يڠ كديڠينن. اكو منڠاده، منچوب مڠهينداري كونتق مات. نامون، بينتڠ-بينتڠ إتو سڤرتي ڤنداڠن مانوسيا يڠ ماسيه هيدوڤ دان تتاڤن اورڠ-اورڠ جوجور يڠ تله برڤولڠ. إني مالم كدواكو د ناغوغي كمڤ، د انتارا برڤاسڠ-ڤاسڠ مات يڠ مليريك مهليڬاي لالو منوله دان ممندڠ لام ڤادا دوا اورڠ يڠ بردوس
اكو ترسنتق كتيك جاري-جاري كاسر مڠڬڠڬم تاڠنكو. اكو منوله، لالو مندڤاتي لڠن يڠ تمڤق كوات د توبوه للاكي يڠ بڬيتو بسر. بيلا للاكي إني إڠين ممبونوهكو، تنتو ساج ديا بيس ملاكوكنڽ دڠن موده. اكو برڤيكير سجنق، دان تاڠن كيريكو منموكن جماري هالوس سباڬاي ڤڬاڠن. سكتيك، سموا اورڠ ساليڠ مڠڬڠڬم-برڤڬاڠن تاڠن ممبنتوق ليڠكارن