Riausastra.com – Tiga hari sebelum peristiwa nahas itu terjadi, ia tampak sumringah menyusuri Sungai Subayang. Duduk di bagian ujung piyau johnson, ia tersentak dan terkesima melihat keindahan sisi sungai yang menjadi bagian Sungai Kampar itu. Berulang kali dan untuk kesekian kali ia mencoba meresapi riwayat sungai yang telah ia lintasi sejak masa kecil itu. Jernih air, kerbau-kerbau yang sedang merumput, kampung-kampung yang kaya tamadun, serta tarian pohon-pohon di tebing bukit, bagai membawanya ke sebuah negeri petang yang penuh kedamaian.
“Sungai ini punya sejarah panjang. Ia bagian dari lubuk larangan dan Semah Rantau. Ia melahirkan Kuntu masa silam dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Dan lada yang melimpah di lembah Kampar Kiri, tak ubahnya kembang bunga yang dikerubungi kawanan lebah pada masa itu.”
Langit biru begitu sempena dengan awan putih berlari bagai melepas senyum padanya. Dan sekonyong-konyong, setelah mendengar kelakar seorang rekan yang seorang akademisi sejarah itu, ia perlahan memahami. Kuntu memiliki banyak bilik rahasia selain Kebun Raja yang bertahtakan kuburan tua.
Kini susur sungai yang penuh makna itu hampir khatam di titik akhir. Beberapa orang yang ikut, dilihatnya sangat menikmati petualangan susur sungai berlapis kelakar akademisi. Sekonyong-konyong ia bagai merasa di dalam bagian itu meski tak pernah mencecap jenjang perkuliahan. Di sepanjang perjalanan, daratan Riau bagai titik sumbu pada putaran jarum jam dengan segala kekayaan alam dimilikinya dalam peta perdagangan dunia. Kelakar sungai-sungai serta kerajaan maritim, ia lahap sekenanya sambil menikmati jernih Subayang, dan kawasan suaka margasatwa Rimbang Beling yang mengagumkan.
“Sungai Subayang ini dulunya jalur perdagangan lada. Jika kita lihat peta, maka dari sini tak ada dirintangi pegunungan dan terbuka hingga Selat Melaka. Di sinilah pertemuan para pedagang Arab, Cina dan India yang datang untuk membawa lada dan hasil hutan lainnya.”
Mendengar kelakar sang rekan dengan setelan tanjak yang khas, ia pun semakin menikmati perjalanan. Tak lama kemudian, ia mendengar berbagai gagasan seperti kekosongan kepingan puzzle yang disusun rapi di bawah tarian langit yang nisbi.
“Sungai Siak lain lagi. Di sana ada Kerajaan Siak dengan banyak tasik dan hasil hutan yang dibawa seperti kapur barus, gambir dan gaharu.”
“Memang begitu sibuk pada masa lalu tentang rempah seperti dalam Traktat Siak. Tapi sekarang banyak kondisi sungai yang mengkhawatirkan seperti Siak dan Rokan yang tercemar.”
Tercemar. Kata terakhir itu berusaha ia resapi sejauh pengetahuannya yang amat terbatas tentang sungai. Tapi yang jelas, Sungai Subayang adalah sungai bagi kumpulan ikan. Ada lubuk larangan dalam tradisi mancokau yang magis dan dimotori para ninik mamak. Ikan-ikan seperti tapa, kapiek, barau atau juaro, tak ubahnya seperti harta karun yang masih tersisa dalam lalu lalang perlintasan Sungai Subayang, yang begitu hafal segala tabiat olehnya sembari mengembala kerbau di tepian.
***
“Berapa ekor kerbaumu sekarang?” Pertanyaan itu memecah suasana yang sempat diam dalam deru suara mesin piyau. Ia tampak terkesiap. Baru saja pikirannya melayang tentang sungai-sungai dan kerajaan masa lalu seperti kerajaan Kuntu Darussalam, kini ia dihadapkan kepada dunia kerbau kuntu yang merumput di Pulau Rendah.
“Ada tujuh. Ada satu yang lagi bunting,” sergahnya dengan wajah datar. Dalam dadanya, berkecamuk rasa was-was. Sebab beberapa hari sebelumnya, beberapa ekor kerbau milik kerabat jauhnya mati terkena penyakit ngorok yang disinyalir karena perubahan cuaca pancaroba. Tetapi itu sebentar saja. Ia memilih tak terlalu berlarut-larut khawatir akan keselamatan kerbau-kerbau gembalaannya.
Namun nama penyakit ngorok atau Septicaemia Epizootia (SE) tetap saja jadi perhatiannya. Apalagi belakangan ia mendengar desas-desus vaksinasi SE akan segera dilakukan pada hewan ruminansia seperti kerbau dan sapi. Barangkali Mak Birin telah menyiapkan semua rencana, pikirnya. Sang paman yang telah memperkerjakan ia selama lebih kurang tiga tahun itu, tentu saja lebih tahu dibanding dirinya.
Tetapi begitulah. Setelah pernyataan awal yang ia dengar, ternyata sang rekan sejarawan itu melanjutkan pernyataan lain yang bagai membuka tiap pintu bilik tanah Riau yang dililit pusaran sungai. Dulu rempah sekarang minyak, kira-kira begitulah sang rekan menjabarkan bagaimana Riau berdandan di cermin zaman dengan segala kekayaan alam yang dimiliki.
“Begitulah sawit sekarang. Ia sangat menggiurkan, tapi di sisi lain banyak masalah timbul seperti konflik lahan dan juga terganggunya habitat hewan seperti gajah dan harimau,” tutup sang rekan yang tampak tak sabaran mencicipi sambagh bakacau yang sempat ia janjikan.
“Tetapi Hutan Larangan Rumbio selalu terjaga. Dan buktinya di Pulau Sarak mata airnya selalu mengalirkan air bersih yang dikonsumsi banyak orang,” tukasnya dengan visi yang terasa mantap, seraya berharap sang rekan penasaran dengan rahasia Hutan Adat Larangan Rumbio tersebut.
“Ya, ya. Hutan di Rumbio memang masih terjaga. Jika kau beruntung, maka akan melihat keindahan rangkong yang bertengger di pohon-pohon besar. Hutan larangan itu tempat aku dulu bermain.” Sang rekan bahkan bagai mengajarinya seluk beluk Hutan Adat Larangan Rumbio. Termasuk tentang unsur mitos atau kekuatan magis di sana.
Kali ini ia hanya diam. Sekilas terbayang sudah masa-masa ia menyusuri hutan larangan tersebut ketika masih remaja. Pula saudara kembarnya yang telah lama menetap, dan membuka usaha air isi ulang di sana.
***
Tetapi begitulah. Pada akhirnya, ia kembali pada rutinitas biasa yang mengembalai kerbau di pinggir Sungai Subayang. Berdiri sambil menghadap beberapa petani yang melintas memakai piyau robin, ia membayangkan kegiatan susur sungai itu sering-sering dilakukan oleh sang rekan. Dalam pikirannya, ternyata bicara tentang sungai-sungai dan segala cerita masa silam amat menyenangkan.
Barangkali hanyalah sedikit penyesalan yang menggelitiknya kala itu. Ia luput bertanya pada seorang yang ikut dalam susur Sungai Subayang. Seorang pekerja di tambang minyak tampak memiliki masa depan menjanjikan dengan segala kebutuhan hidup yang mudah didapatkan. Sama halnya dengan impiannya kala remaja yang ingin berkerja seperti si lelaki. Begitu melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, ia akan berjibaku semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginan itu.
Tapi seperti angin lalu, penyesalan itu hanya mencair menjadi senyuman kecut di wajahnya sembari menatap hamparan langit luas. Ia merasa tak mungkin menginjak momentum itu di negeri yang kaya akan minyak bumi sejak dulu. Sungguh telah jauh ia melangkah bekerja di kebun-kebun, hingga mengembalai kerbau kuntu yang begitu bebas merumput di Pulau Rendah.
Kini ia mulai beranjak menjauhi pinggiran Sungai Subayang. Matahari begitu terlihat indah yang mulai turun menuju peraduan. Satu ekor, dua ekor, tiga ekor burung ia saksikan berpulangan di udara dan bagai mengirim pesan kesunyian padanya. Tentang hari esok yang begitu rahasia, apakah yang terjadi di desa yang tiap tahunnya banyak dikunjungi peziarah di makam Syekh Burhanuddin Kuntu dengan nisan yang berupa kayu sungkai?
Dan begitulah hari nahas itu terjadi. Pada malamnya, ia masih sempat memakan kuabu ikan pemberian tetangga dengan rempah-rempah pilihan. Dapur dengan jendela terbuka menghadap kolam dan pohon pisang, ia nikmati bersama suara jangkrik, dingin udara dan kesepian. Pula ingatannya tentang Sungai Subayang yang ramai dengan pedagang lada masa silam, serta merta hadir di pikirannya seperti igau badai yang sebentar melintas lalu menuju kejauhan.
“Kebakaran, kebakaran….”
Ia bagai orang kesurupan melihat kenyataan pada pagi itu. Seluruh rumah masa kecilnya habis dilalap jago merah tanpa ada satu pakaian pun yang bisa ia selamatkan.
Dan beberapa hari setelah peristiwa kebakaran hebat itu, ia pun akhirnya mengambil sebuah keputusan. Ia meninggalkan Subayang yang begitu banyak memberikan pelajaran hidup padanya. Tentang kerbau kuntu yang merumput di Pulau Rendah, atau tentang piyau yang melintasi kampung-kampung dengan tamadunnya yang beragam, sungguh akan begitu jarang ia temukan di hari-hari depan yang terus berlari dalam helai keniscayaan.
“Aku sekarang bekerja di Pulau Sarak. Ikut saudara kembarku mengembangkan usaha air minum isi ulang.” Ucapnya lirih dengan sang rekan akademisi sejarah melalui telepon genggam.
Pembicaraan hingga hampir tengah malam itu, hanyalah menyisakan rasa letih yang menjalari sekujur tubuhnya.
2024
***
داري سوبايڠ ك ڤولاو سارق
تيڬ هاري سبلوم ڤريستيوا ناهس إتو ترجادي، إي تمڤق سومريڠڬه مڽوسوري سوڠاي سوبايڠ. دودوق د باڬيان اوجوڠ ڤيياو جونسون، إي ترسنتق دان تركسيم مليهت كئينداهن سيسي سوڠاي يڠ منجادي باڬيان سوڠاي كمڤر إتو. برولڠ كالي دان اونتوق كسكيان كالي إي منچوب مرساڤي ريوايت سوڠاي يڠ تله إي لينتاسي سجق ماس كچيل إتو. جرنيه ائير، كرباو-كرباو يڠ سدڠ مرومڤوت، كمڤوڠ-كمڤوڠ يڠ كاي تمادون، سرت تاريان ڤوهون-ڤوهون د تبيڠ بوكيت، باڬاي ممبواڽ ك سبواه نڬري ڤتڠ يڠ ڤنوه كدمايان
“سوڠاي إني ڤوڽ سجاره ڤنجڠ، إي باڬيان داري لوبوق لراڠن دان سمه رنتاو. إي ملاهيركن كونتو ماس سيلم دڠن سڬالا كلبيهن دان ككوراڠن يڠ ديميليكيڽ. دان لادا يڠ مليمڤه د لمبه كمڤر كيري، تق اوبهڽ كمبڠ بوڠا يڠ ديكروبوڠي كوانن لبه ڤادا ماس إتو”
لاڠيت بيرو بڬيتو سمڤن دڠن اون ڤوتيه برلاري باڬاي ملڤس سڽوم ڤداڽ. دان سكوڽوڠ-كوڽوڠ، ستله مندڠر كلاكر سئورڠ ركنيڠ سئورڠ اكادميسي سجاره إتو، إي ڤرلاهن ممهامي. كونتو مميليكي باڽق بيليك رهاسيا سلاين كبون راج يڠ برتهتاكن كوبورن توا
كيني سوسور سوڠاي يڠ ڤنوه مكن إتوهمڤير خاتم د تيتيك اخير. ببراڤ اورڠ يڠ إكوت، ديليهتڽ ساڠت منيكماتي ڤتوالاڠن سوسور سوڠاي برلاڤيس كلاكر اكادميسي. سكوڽوڠ-كوڽوڠ إي باڬاي مراس د دالم باڬيان إتو مسكي تق ڤرنه منچچڤ جنجڠ ڤركولياهن. د سڤنجڠ ڤرجلانن، دراتن رياو باڬاي تيتيك سومبو ڤادا ڤوتارن جاروم جم دڠن سڬالا ككيائن الم ديميليكيڽ دالم ڤت ڤردڬاڠن دونيا. كلاكر سوڠاي-سوڠاي سرت كرجائن ماريتيم، إي لاهڤ سكناڽ سمبيل منيكماتي جرنيه سوبايڠ، دان كواسن سواك مرڬ ستوا ريمبڠ باليڠ يڠ مڠاڬومكن.
سوڠاي سوبايڠ إني دولوڽ جالور ڤردڬاڠن لادا. جيك كيت ليهت ڤت، ماك داري سيني تق ادا ديرينتاڠي ڤڬونوڠن دان تربوك هيڠڬ سلت ملاك. د سينيله ڤرتموان ڤارا ڤداڬڠ ارب، چين دان إنديا يڠ داتڠ اونتوق ممباوا لادا دان هاسيل هوتن لاينڽ