Riausastra.com – Rino menstater sepeda motornya. Wajahnya nampak tercenung, walau ia sudah menggas sepeda motor. Ia lajukan sepeda motor itu pelan di jalan batu-kerikil menuju ke jalan rumahnya.
Senja. Sinar matahari menyelinap dari balik pohon kelapa di kiri jalan.
Di pikiran Rino, tadi ia memasang instalasi listrik. Menurut hitungan per titik empat puluh ribu, bahannya dari si punya rumah dan mangkoknya tempel. Ada sekitar tujuh titik. Seharusnya orang tersebut bayar dua ratus delapan puluh ribu. Tapi perempuan setengah baya itu tadi cuma sanggup bayar dua ratus ribu. Ia cenungkan kini, pertimbangannya tadi. Rumah itu semi permanen. Suami si perempuan kerjanya cuma ke ladang–sementara si perempuan berjualan lontong di depan sd. Kata hatinya menimbang-nimbang, antara ia dan tidak atas keputusan menerima upah tadi.
Sesampai di depan rumahnya, Rino memelankan sepeda motor, mengeremnya, dan segera mematikan. Ia tegakkan sepeda motor di depan rumah yang beratap daun rumbia tersebut. Ia duduk di bangku bambu teras tanah rumahnya. Ia ingin melepas lelah. Dan meredakan mumet pikirannya. Ia panjar sebatang rokok dari tas selempangnya. Rokok sisa ia memasang instalasi listrik tadi. Ia menengok ke dalam, lewat jendela. Pikirnya, sudahkah istrinya pulang dari mengajar mengaji.
Tak lama ia memandang lewat jendela papan yang terbuka itu, istrinya datang dari dalam rumah membawakan segelas teh hangat ke teras. Istrinya, bernama Sanah, meletakkan teh tersebut di meja bambu depan Rino duduk.
Rino membakar rokok. Setelah istrinya duduk di bangku bambu yang sama dengannya, ia berujar,”Sanah. Kalau seperti ini terus. Aku ingin merantau saja.”
“Begini terus bagaimana, Uda?” kata Sanah.
“Kerja instalasi itu berat risikonya Sanah. Salah sedikit bisa terbakar rumah orang. Belum memanjat. Kalau tak hati-hati memanjat kita bisa jatuh ke bawah. Sementara upah, kau tahu sendiri Sanah, tidak sesuai dengan perhitungan. Acap di bawah perhitungan. Pekerjaan listrik ini bukanlah pekerjaan yang rutin. Sekali seminggu pun susah dapatnya.”
“Uda sendiri kan mengatakan. Di bawah perhitungan ambil saja. Uda katakan, Ranu sudah banting harga. Berapa dibayar pemilik rumah diterimanya. Asalkan ada uang, dia ambil,” kata Sanah sembari memerhatikan muka Rino. “Lagi pula. Uda kan tidak memasang instalasi saja. Pesan meteran, kalau ada konsleting di rumah orang, Uda sering dipanggil.”
“Ah Sanah. Memasang fitting, konsleting, pasang ini-itu, dan segala macamnya. Lima belas ribu sudah berat rasanya orang memberi. Aku heran, orang kampung kita ini pelitnya bukan main masalah listrik. Padahal kalau kita perhatikan jarang rumahnya yang tidak memiliki tv dan sepeda motor,” kata Rino sembari memhembuskan pelan asap rokoknya.
“Kalau merantau. Uda mau merantau ke mana?”
“Ke Jakarta, Sanah…,” jawab Rino.
Sinar matahari mulai nampak lindap. Angin lembut. Terdengar syahdu deru aliran Sungai Air Haji di kejauhan.Di depan rumah itu, di seberang jalan, ada kebun kelapa sawit.
“Ke Jakarta. Konveksi maksud Uda?”
“Apalagi Sanah. Itu usaha orang kita banyak di Jakarta. Banyak orang kita sukses di Jakarta karena buka konveksi di sana. Mereka pulang setiap Lebaran bawa mobil pribadi. Si Bagiak sudah mengajakku Sanah. Konveksi dia sudah mulai,” kata Rino.
“Nantilah aku bicarakan dengan Ayah, Uda. Malam nanti aku ada keperluan ke rumah Ayah,” kata Sanah yang kemudian berdiri dari duduknya, berlalu meninggalkan Rino di kursi bambu.
Sanah ke dalam rumah, ia menuju ke belakang.
Setelah melempar puntung rokoknya, hp Rino berdering. Sebuah panggilan masuk. Dari Bagiak. Rino segera mengangkat hp.
“Bagaimana Rino. Sudah kau pikirkan masak-masak. Kapan kau rencana berangkat ke Jakarta. Besok, besok lagi, atau kau sudah berubah pikiran. Kan sudah aku katakan pada kau. Kerja kau di konveksiku bukan tukang cabut benang baju. Kerja kau menemani aku menjual baju dan celana ke pasar-pasar. Boleh dikatakan tangan kananlah,” kata Bagiak di hp.
“Sudah aku pikirkan Bagiak. Sepertinya aku memang harus merantau. Pendapatanku di kampung sudah lama tidak menentu, Giak.”
“Aaa… itu baru kawan namanya. Aku sebagai kawan SMA-mu mengerti saja kehidupan di kampung. Makanya aku merantau setamat SMA. Ya, aku orangnya tidak mudah lupa kawan, Rino.”
Rino tersenyum dengar Bagiak menyebut kata kawan SMA itu.
Setamat SMA dulu memang Bagiak memutuskan pergi merantau ke Jakarta. Membuka usaha konveksi pakaian anak-anak. Tersebut cerita di kampung, ayah Bagiak menjual sebidang tanah di jalan raya untuk usaha konveksi anaknya. Selanjutkan kisah-kisah sukses Bagiak selalu nyaring terdengar di tiap-tiap kedai, tak terkecuali di saat orang main domino. Ketika Lebaran, Bagiak selalu tampak pulang membawa mobil pribadi ke kampung bersama istri idamannya yang orang Air Haji juga.
***
Sudah seminggu Rino didesak-desak Bagiak untuk berangkat ke Jakarta. Seminggu itu pula pikiran Rino sering tak konsen, ia kadang galau juga. Pikirannya ke Jakarta saja. Terbayang olehnya Kota Megapolitan, kalau tidak sekarang kapan lagi ia melihat dunia luar. Terbayang olehnya, berubahnya keadaan hidupnya nantinya, dengan rutin kirim uang ke Sanah di kampung.
“Kalau untuk ongkos Rino. Aku belum bisa kasih. Kau tahu sendiri. Konveksi baru mulai,” begitu di hp Bagiak bilang ketika tersirat kebingungan Rino saat ngomong.
Rino berpikir untuk numpang truk ke Jakarta. Ia ingat kawan SMA-nya dulu, bernama Atak. Atak sopir truk yang sering bawa muatan ke Jakarta.
Di bangku bambu teras tanah rumah Rino termenung. Harapannya kadang mekar, kadang ia ciut juga–bila jadi ke Jakarta, bagaimana nantinya kalau tak sesuai harapan.
Malam. Cahaya bulan separuh di langit, nampak lewat celah pucuk pisang. Sudah jam sembilan. Rino tak merokok karena rokoknya sudah habis sore tadi. Sedangkan dalam minggu ini tak satu pun ia mendapat panggilan memasang instalasi listrik. Hanya memperbaiki beberapa rumah yang ada konsleting. Pasang ini-itu yang kadang hanya diupah dengan ucapan terima kasih. Pemasukan yang besar tidak ada.
Sanah keluar dari dalam rumah. Ia duduk di bangku bambu yang sama dengan Rino. Wajahnya tampak tenang.
“Dengan Bagiak Uda akan pergi?” katanya.
“Iya Sanah.”
“Bagiak itu sudah lama tidak pulang kampung, Da. Orang-orang sudah tahu siapa dia kini, Da. Ia cuma lima tahun bertahan buka konveksi di Jakarta, Da. Tanah orangtuanya sudah habis semua ia jual, tinggal tanah tempat tinggal saja,” kata Sanah sembari lekat memandang muka Rino yang nampak kebingungan.
“Dulu perasaan ia pulang bawa mobil terus,” kata Rino.
“Dulu, Da. Orang sudah online shop kini. Konveksi orang kita banyak yang gulung tikar. Pasar-pasar pakaian di Jakarta banyak yang lengang. Uda tidak pernah lihat berita rupanya. Uda tahu, kata Ayah ia kerjanya sering menipu di Jakarta. Sudah banyak uang orang kampung kita ia pinjam lantas tak ia bayar. Sampai-sampai toko pupuk ayahnya di kampung terjual untuk melunasi utangnya.”
Rino makin bingung mendengar kata-kata Sanah. “Lantas. Mengapa ia bisa bertahan hidup di Jakarta kalau tidak ada kerja. Kan Jakarta keras.”
“Sudah tak tahu rimbanya dia sekarang, Da,” kata Sanah dengan nada suara agak meninggi.
Rino memandang wajah Sanah. Dadanya berdesir barusan.
“Ayah bilang. Dia jadi pengedar narkoba di Banten,” tambah Sanah.
Dipandang Rino pucuk pohon pisang di depan rumah. Dipandangnya bulan yang separuh. Warna yang hitam di seberang jalan, di kebun kelapa sawit. Angin sesekali berkesiur di dahan-dahan pohon sawit. Di kedua sudut mata Rino pelan-pelan keluar air.
“Ini rokok dua batang, Da. Ayah tadi yang belikan untuk Uda. Karena aku katakan Uda sudah tidak punya uang untuk beli rokok,” kata Sanah sembari memberikan rokok dua batang ke tangan Rino yang kosong.
Diambil Rino rokok dua batang itu. Kemudian ia letakkan di bangku bambu. Ia menekur. Ia usap mukanya dengan kedua belah telapak tangannya.
Sanah memandang Rino. Sinar bulan riak-riak di pucuk daun pisang yang diterpa angin malam.
“Ya Allah,” ucap Rino lirih.
***
رينو تق جادي مرنتاو
رينو منستاتر سڤدا موتورڽ. واجهڽ نمڤق ترچنوڠ، والاو إي سوده مڠڬس سڤدا موتور. إي لاجوكن سڤدا موتور إتو ڤلن د جالن باتو كريكيل منوجو ك جالن رومهڽ
سنج. سينر متهاري مڽلينڤ داري باليك ڤوهون كلاڤ د كيري جالن
د ڤيكيرن رينو، تادي إي مماسڠ إنستلاسي ليستريك. منوروت هيتوڠن ڤر تيتيك امڤت ڤولوه ريبو روڤياه، باهنڽ داري س ڤوڽ رومه دان مڠكوقڽ تمڤل. ادا سكيتر توجوه تيتيك. سهاروسڽ اورڠ ترسبوت باير دوا راتوس دلاڤن ڤولوه ريبو روڤياه. تاڤي ڤرمڤوان ستڠه باي إتو تادي چوم سڠڬوڤ باير دوا راتوس ريبو روڤياه. إي چنوڠكن كيني، ڤرتيمباڠنڽ تادي. رومه إتو سمي ڤرمانن. سوامي س ڤرمڤوان كرجاڽ چوم ك لادڠ، سمنتارا س ڤرمڤوان برجوالن لونتوڠ د دڤن س.د. كات هاتيڽ منيمبڠ-منيمبڠ، انتارا إي دان تيدق اتس كڤوتوسن منريم اوڤه تادي
سسمڤاي د رومهڽ، رينو مملنكن سڤدا موتور، مڠرمڽ، دان سڬرا مماتيكن. إي تڬككن سڤدا موتور د دڤن رومه يڠ براتڤ داون رومبيا ترسبوت. إي دودوق د بڠكو بمبو ترس تانه رومهڽ. إي إڠين ملڤس للح. دان مرداكن مومت ڤيكيرنڽ. إي ڤنجر سباتڠ روكوق داري تس سلمڤڠڽ. روكوق سيس إي مماسڠ إنستلاسي ليستريك تادي. إي منڠوق ك دالم، ليوت جندلا. ڤيكيرڽ، سودهكه إستريڽ ڤولڠ داري مڠاجر مڠاجي