sumber ilustrasi asli: bing

Riausastra.com – Seperti biasa, Pak Jamian memang selalu pergi lebih awal ke sekolah. Walau dia masuk mengajar pada jam ketiga, kelima atau pun jam terakhir, dia tetap pergi lebih awal sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Baginya sekolah tempat ia mengajar adalah bagian dari taman surga. Sangat bahagia baginya apa bila dia dapat bertanya kabar kepada murid-muridnya,  bercengkerama ala kadarnya, dan juga untuk mendengar cerita lucu mereka.

Di ruang majelis guru, beberapa orang guru  telah datang. Mereka bercerita apa yang telah mereka alami semalam. “Semalam anakku yang sulung datang. Dia menuntut janji papinya, kalau jadi kepala dinas, dia akan dibeli mobil”, kata seorang guru wanita cantik yang bernama  Ibu Ida Ayuni Ayu Jaza kepada rekannya.

“Iya Bu, selamat ya Bu, Bapak telah jadi kepala dinas pendidikan”, sambut lawan bicaranya.

Yang memberi ucapan dan diberi ucapan bersalaman sambil tersenyum. Guru-guru yang lain juga ikut memberi ucapan selamat, begitu pula dengan Pak Jamian. Pada kesempatan itu juga, Ibu Ida mengatakan bahwa dia tak bisa masuk mengajar pagi itu, karena akan mendampingi suaminya ke kecamatan.

Lonceng tanda waktu masuk kelas berbunyi. Setiap guru menuju ke kelas masing-masing. Murid-murid yang ada  guru di kelas semuanya diam. Hanya satu kelas yang masih ribut.  Hampir bisa dipastikan di kelas itu tidak ada guru yang masuk.

Dengan cepat Pak Jamian menuju ke kelas, setelah mengetahui Ibu Ida tidak dapat masuk pagi itu. Melihat yang masuk kelas adalah Pak Jamian, seluruh murid bersorak gembira. “Maaf anak-anak. Bapak yang masuk lebih dulu pagi ini, Ibu Ida berhalangan untuk masuk. Nanti di jam ketiga kalau sempat baru beliau pula yang masuk”, kata Pak Jamian mengawali pengajaran di kelas paling ujung itu.

“Hore…”, sambut murid-murid serentak.

Pak Jamian yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia memulai bab baru pelajaran. Puisi menjadi pelajaran di pagi itu. Setelah menyampaikan makna puisi dan siapa sasatrawan yang terkenal dengan puisi-puisinya, kini sang guru  menyuruh murid-muridnya satu persatu membacakan puisi. Setiap murid yang membacakan puisi diberi nilai.

Baru satu jam berada di dalam kelas. Tiba-tiba bapak kepala sekolah berdiri di muka pintu. Pak Jamian yang sedang mendengar murid yang bernama Hambali membaca puisi, segera menghampirinya. “Ada apa Pak? Apa yang perlu saya bantu?”, Pak Jamian menyapa dengan penuh takzim.

“Kenapa Bapak yang masuk kelas sekarang? Ini kan jadwal Ibu Ida?”, tanya bapak kepala sekolah.

“Tadi Bu Ida tak bisa masuk, dia mendampingi suaminya ke kecamatan”, jawab Pak Jamian.

“Tak bisa begitu. Harus izin saya dulu kalau mau masuk kelas”, Kata bapak  kepala sekolah.

Kepala sekolah mengeluarkan telepon genggam dari sakunya. Agak menjauh dia dari guru honorer itu. Terlihat perbincangan antara kepala sekolah dan Bu Ida. Tapi tak tahu apa yang mereka perbincangkan.  Tangan kepala sekolah bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, seperti seorang  dirigen memimpin orchestra. Beberapa menit kemudian perbincangan keduanya selesai.

“Begini  Pak Jamian. Ibu Ida mengatakan, dia tak pernah menyuruh Bapak mengantikannya mengajar di kelas. Cuma Pak Jamian saja yang mau masuk kelas.  Kalau begitu, hentikan pelajaran Bapak sekarang. Biar saya saja yang masuk”.

Bergegas Pak Jamian masuk ke dalam kelas. Kepada murid-muridnya dia berkata, pelajaran Bahasa Indonesia nanti akan disambung lagi pada jam ketiga. Untuk saat ini kepala sekolah yang masuk. Setelah memberi salam, dia keluar lalu menuju ke ruang majelis guru. Selanjutnya, bapak  kepala sekolah pula yang berdiri di depan kelas.

Tiba-tiba sebuah pesan pendek masuk di telepon genggam Pak Neces, demikian nama bapak kepala sekolah. “Pak, tolong sms-kan nama ponakan bapak yang mau menggantikan Pak Jamian. Pak Kadis mau buatkan SK untuknya”.

Dengan cepat, sambil duduk di kursi,   Pak Neces membalas pesan singkat itu, “Reskia”, dengan cepat pesan itu terkirim. Pesan singkat balasan pun  muncul lagi, “Cari alasan yang tepat ya Pak untuk memberhentikan beliau dengan tidak hormat”.  Balasan pesan singkat itu terkirim lagi, “ Oke Bu. Salam untuk Pak Kadis”.

Setelah berbalas-balasan pesan singkat antara kepala sekolah dan istri kepala dinas, maka dia pun berdiri lagi untuk memberi pengarahan. “Begini anak-anak, saat ini dunia telah maju. Manusia dituntut untuk tidak lagi berkata panjang lebar. Cukup kata oke, siap,  siip, maka semuanya sudah terselesaikan. Ini bukan zamannya lagi untuk berpuisi. Berpuisi sudah ketinggalan zaman. Berpuisi pada zaman perjuangan bertujuan untuk mengusir penjajah. Berpuisi di zaman sekarang untuk siapa?’ kata bapak kepala sekolah sambil bertanya. Namun tak ada yang berani menjawab.

Selanjutnya, bapak kepala sekolah berbicara tentang teknologi. Tentang komputer. Tentang pertanian. Tentang pembangunan. Tentang gajinya yang besar ditambah lagi dengan tunjangan sertifikasi guru, tujungan fungsional, tunjangan kepala sekolah dan gajinya sebagai pegawai  golongan IV. Tak ketinggalan pula dia mengatakan bahwa dia tak pernah menulis puisi, namun hidupnya tetap sukses. Murid-murid semua terdiam. Kemudian kepala sekolah menyudahi celotehnya di kelas setelah lonceng jam kedua berbunyi.

Dengan wibawa kepala sekolah meninggalkan ruang kelas. Dia berjalan segak menuju kantornya.  Seorang pegawai tata usaha disuruhnya memanggil Pak Jamian.

“Izin  Pak. Benar bapak menyuruh saya menghadap”, sapa Pak Jamian kepada kepala sekolah yang kelihatan tidak berkenan mamandang wajahnya.

“Iya. Duduk”, kata kepala sekolah.

Pak Jamian duduk. Kepala sekolah menghela nafas panjang sambil mengusap janggutnya yang tak seberapa lebat, namun dapat mewakili partai yang dia dukung.

“Begini, Pak Jamian. Pertama, yang ingin saya sampaikan adalah bapak telah telah melanggar disiplin sekolah. Karena itu sesuai jabatan saya, dengan sangat terpaksa saya harus mengeluarkan surat peringatan pertama untuk Bapak. Tembusannya saya sampaikan ke dinas pendidikan”, kata bapak kepala sekolah sambil menyerahkan selembar surat yang terbungkus dalam amplop.

 “Kedua, saya berpesan kepada Bapak, jangan ajari lagi murid-murid buat puisi. Ingat, program pemerintah  sekarang, tidak ada membina puisi dalam pembangunan”.

“Iya Pak. Tapi materi di buku Panduan Pelajaran Bahasa Indonesia memang ada tentang puisi”, jawab Pak Jamian.

“Abaikan saja. Itu kurikulum buatan pemerintah yang dulu”, kata kepala sekolah.

Jam pelajaran ketiga telah pula masuk. Agak lambat sepuluh menit Pak Jamian masuk ke kelas. Ketika ia berdiri di depan kelas. Seorang murid wanita berkata, “Pak, yang selanjutnya baca puisi saya lagi Pak”. Kemudian si murid langsung berdiri di muka kelas menghadap teman-temannya.

Sejenak Pak Jamian termenung. Tak sempat berbicara apa pun dia untuk memulai pelajaran, sebab telah dimulai lebih dahulu oleh muridnya.

“Silakan Nina.”, kata Pak Jamian.

Nina pun mulai membacakan puisi. Selanjutnya satu persatu murid tampil ke depan membacakan aneka puisi. Setiap pembacaan puisi diakhiri dengan tepuk tangan.

Hingga akhirnya, ketika Syahbana usai membaca puisi, lonceng pun berbunyi, tanda jam pelajaran itu telah usai.

Syahdan tampil menunjuk jarinya. “Pak, giliran saya lagi”.

“Tak bisa Syahdan, lonceng telah berbunyi.”, jawab Pak Jamian.

“Jadi bagaimana dengan nilai saya?”, desak Syahdan.

“Besok kita sambung lagi. Karena kamu membaca puisinya besok, saya tugaskan kamu membaca puisi yang kamu buat sendiri.”,  tangkis Pak Jamian.

Pak Jamian keluar dari ruang kelas. Pegawai tata usaha yang tadi memanggilnya, kini datang lagi mejemputnya untuk menghadap bapak kepala sekolah.

“Sudah saya peringatkan tadi. Tapi Bapak masih juga menyuruh anak-anak membaca puisi.”, kata bapak kepala sekolah.

“Saya ingin merubah ke materi yang lain Pak. Tapi anak-anak  itu telah memulai pula dengan puisinya”, jawab Pak Jamian.

“Di kelas guru yang berkuasa. Bukan murid. Bapak  telah melanggar peraturan, tidak taat dengan perintah pimpinan. Karena itu dengan berat hati  SP 2 saya keluarkan. Ingat ini Pak Jamian. Kalau sampai SP 3 yang keluar, dengan sendirinya Bapak berhenti menjadi guru di sini!”, Demikian bapak kepala sekolah menegaskan.

Pak Jamian kembali ke ruang majelis guru. Tak banyak yang dapat dibuatnya pada hari itu. Dia lebih banyak termenung.

Lonceng terakhir sekolah berbunyi kencang. Seiring dengan itu suara sorak sorai murid-murid dari tiap-tiap kelas terdengar dengan keras. Mereka semua gembira pelajaran telah usai dan akan segera  pulang.

*****

Di rumah, setelah makan siang ia mengajarkan Zainab mengaji. Begitulah kesehariannya. Pak Jamian adalah seorang lelaki duda, dia ditinggal mati oleh istrinya sejak kelahiran anak mereka Zainab. Telah delapan tahun berlalu dia membesarkan anaknya bersendirian. Dia menjadi ayah sekaligus ibu bagi Zainab. Mencuci, menyeterika, memasak, membersihkan rumah dan halaman, semua dilakukannya sendiri. Mujur kini Zainab telah mulai besar, sedikit demi sedikit dapat juga  menolongnya.

Menjelang tidur malam, bagaimana dalih dan akal untuk memberhentikan pembacan puisi di kelas telah dipikirkannya. Dia berprinsip seperti menarik rambut dalam tepung, rambut jangan putus dan tepung pun  tidak berserak. Dia telah tahu apa yang akan dia lakukan besok di kelas.

Fajar mulai menyinsing. Pak Jamian telah selesai memasak sarapan pagi, sekaligus makan siang untuk dia dan Zainab. Diajaknya anak sematang wayang, titipan bunda bidadari surga itu sarapan.

Kemudian mereka berdua pun bergerak ke luar. Setelah mengantar Zainab ke sekolah,  Pak Jamian melanjutkan pula perjalanan bersepeda motor tuanya  menuju ke sekolah tempat dia mengajar.

Di muka kelas, selepas memberi salam pembuka, Pak Jamian membuka buku panduan mengajarnya. “Anak-anak, sekarang kita masuk pokok bahasan baru”, kata Pak Jamian memulai pelajaran.

“Pak, pelajaran semalam belum selesai. Saya belum membacakan puisi”, kata Syahdan sambil mengacungkan telunjuk.

“Tak apa Syahdan. Nilai kamu juga telah baik”, jawab Pak Jamian.

“Bukan begitu Pak. Saya telah membuat puisi terbaik untuk Bapak. Walau tidak diberi nilai, saya mohon kiranya Bapak sudi mendengarkan puisi saya”, pinta Syahdan.

Pak Jamian iba dan terpana mendengar penuturan Syahdan, sang juara kelas yang bercita-cita tinggi ingin jadi sastrawan dunia. Antara mempertahankan pekerjaannya sebagai guru dan ancaman pemberhentian dari sekolah beradu di dalam pikirannya.  Tiba-tiba dari mulutnya keluar kalimat, “Syahdan, silakan ke depan. Bacakanlah puisi terindahmu itu”.

Syahdan tampil ke depan. Dengan penuh semangat dia membacakan puisi. Berdecak kagum teman sekelas mendengar puisi si  “Kahlil Gibran”, kecil. Rembesan air mata bening tampak berlinang di kelopak mata Pak Jamian. Dia menghayati puisi si sastrawan cilik  sedalam-dalamnya.

Tak berselang lama, seorang pegawai tata usaha muncul di muka pintu kelas. “Permisi Pak, Bapak dipanggil pak kepala sekolah sekarang juga!”, katanya dengan tegas.

Pak Jamian segera memberhentikan Syahdan yang sedang membaca puisi.

Syahdan terhenti membaca puisi, mukanya merah padam. Lalu melakukan protes, “Tapi Pak, ini tinggal dua baris saja lagi.”, katanya.

“Nanti disambung di lain kesempatan”, jawab Pak Jamian pelan.

Pak Jamian pun bersegera meninggalkan kelas. Pandangan mata murid-murid terus mengikuti langkahnya hingga dia tidak kelihatan. Pandangan itu  sebagai tanda  mereka tak rela ditinggalkan begitu saja, dan berharap agar gurunya segera kembali ke kelas lagi.

Di ruangan kepala sekolah, dua orang pegawai tata usaha telah duduk di kursi tamu. Pak Jamian dipersilakan duduk.

“Telah dua kali surat teguran saya sampaikan kepada Pak Jamian, namun tidak ada rasa hormat Bapak untuk mematuhinya. Karena itu, dengan sangat terpaksa saya mengeluarkan SP 3 ini.”, demikian kepala sekolah berujar sambil menyodorkan selembar surat terguran terakhir, sekaligus surat pemberhentian dengan tidak hormat.

“Sekarang juga Pak Jamian boleh tinggalkan sekolah ini!”, kata kepala sekolah lagi dengan tegas.

Pak Jamian terkejut, rasa marahnya muncul, tapi ia tetap berusaha tenang. Seorang pegawai tata usaha mendekati Pak Jamian. Mereka menyodorkan uang gaji honor Pak Jamian untuk sebulan terakhir.

Pak Jamian keluar dari pekarangan sekolahnya sambil menarik sepeda motor buruk yang dia pakai setiap hari. Dia sengaja tidak menghidupkan mesin sepeda motor. Dia takut ada anak murid yang melihat kepergiannya dari sekolah itu. Jauh dari halaman sekolah barulah dia menghidupkan sepeda motor, berlalu pergi dengan wajah seribu duka.

Pak Jamian tidak pulang langsung ke rumah. Dia singgah di sebuah kedai yang menjual pakain sekolah. Sepasang baju Pramuka dibelikannya untuk Zainab. Sebab sudah tiga tahun Zainab bersekolah, namun belum pernah memakai baju Pramuka yang baru. Baju itu dibelikan sebagai hadiah untuk Zainab karena  telah hafal Dasa Darma Pramuka.

Pulang ke rumah. Zainab telah menyambut Pak Jamian dengan suka cita dan hati bahagia setelah mendapat sepasang baju Pramuka. Tak ada tampak raut bermasalah di wajah Pak Jamian. Lelaki yang dipanggil ayah oleh Zainab itu, menyimpan seluruh kedukaan ketika berhadapan dengan putrinya. Dia merahasiakan segala nestapa yang dia alami. Dia tak mau Zainab ikut bersedih karena nasip sial yang dia terima. Dia memang lelaki tabah.

*****

Seperti biasa, ketika pasang naik di waktu malam, Pak Jamian tak pernah melewati untuk pergi memancing. Katanya kalau memancing di waktu air pasang malam, maka banyak ikan yang akan didapat. Kalau ada rezeki bisa dapat kurau, ikan yang berharga sangat tinggi.

Dengan berbekal ubi rebus dan sebotol kopi, dia menuju ke dermaga lama bekas kilang sawmill. Bayangan ketidakpuasan wajah Syahdan yang tak dapat menyelesaikan  pembacaan puisi tak luput di pelupuk matanya.  Sesaat kemudian berganti pula  dengan wajah-wajah yang lain, yang tak rela ditinggalkan begitu saja di kelas tadi pagi. Seakan satu persatu wajah-wajah yang tidak berdosa itu muncul dalam seketika.

Muncullah perasaan sedih di hati karena esok tidak dapat memandang wajah-wajah ceria itu lagi, sebab dia sudah diberhentikan mengajar. Lalu, muncul pula rasa rindu yang tiada tara dengan tiba-tiba. Yang lebih membebankan adalah dia tak sempat meminta maaf dan memberi pesan akhir  kepada  murid-muridnya . “Kemanakah maaf dan rindu ini akan aku sampaikan?”, katanya membatin.

Air pasang bertambah dalam. Jarak air dari lantai jambatan hanya sejengkal saja. Ia bisa mencuci tangan dengan air laut itu walau tanpa  timba. Arus  pasang malam semakin deras, tanda surut akan segera muncul.

Bayang wajah Zainab yang besok akan memakai baju Pramuka juga terbayang di pelupuk mata. Pasti Zainab menunggu pujian darinya. Tanda tangan kepala sekolah lengkap dengan  stempel di surat SP 3 juga  menjelma.

Tiba-tiba joran pancing bergetar keras. Pak Jamian yang baru saja ingin mencurahkan kopi ke cangkir plastiknya segera berlari menuju pancing yang ditajur. Joran pancingnya hampir jatuh ke laut. Dia segera menangkap joran pancing itu. Tapi naas baginya, dia terpeleset setelah terinjak tali bekas penambat kapal. 

Deras arus air yang pasang dalam menyeretnya dengan kencang. Tangannya tergapai-gapai mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan. Tetapi semuanya hanyut, semuanya ikut menjauh. Dia tengelam di laut itu dalam temaramnya cahaya bulan di tengah malam.

Seiring hanyut dan tengelamnya dia ke dasar laut, dia  mendengar suara seseorang   membacakan  puisi terindah yang dikutip dari kitab suci. Suaranya itu nyata, nyaring dan jelas. Suara itu sama persis dengan suara Syahdan yang amat syahdu, yang membacakan puisi untuknya tadi pagi.

Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang redha lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Seketika itu juga ayah si Zainab itu pun  hilang entah kemana. Sebungkus ubi rebus dan sebotol kopi yang belum sempat disantap menunggunya dengan tenang di atas dermaga.

*****

Pagi hari Zainab menuju ke dermaga tempat ayahnya biasa memancing. Zainab yang telah mengenakan seragam Pramuka baru itu heran kenapa ayahnya tak pulang sampai pagi. Padahal pagi ini dia harus pergi ke sekolah, mengajar.

Ayahnya tak ada di dermaga. Zainab hanya melihat sebotol kopi dan sebungkus ubi rebus yang belum berjamah. Kepada beberapa orang lelaki dewasa yang ada di sana, Zainab menanyakan perihal ayahnya. Ayah, manusia satu-satunya tempat dia bergantung nasip.

“Jadi ini kopi ayahmu? Ini ubi rebus ayahmu?”, tanya salah satu dari mereka.

Zainab mengangguk, tapi tak bicara. Dia hanya menanti jawaban dimana ayahnya.

“Kami tidak melihat sesiapa di sini sejak kami berada di sini selepas subuh tadi”, jawab lelaki yang lain pula. Jangan-jangan ayahmu….”, lelaki itu tidak berani meneruskan perkataannya lagi.

Hari semakin siang. Semakin ramai orang yang datang ke dermaga. Entah dari mana datangnya kabar, telah tersiar berita di kota kecil itu bahwa Pak Jamian telah jatuh dan tenggelam di laut.

Polisi air, tim sar, dan relawan serta kaum kerabat sibuk mencari Pak Jamian yang diduga terjatuh ke laut. Tapi hingga tengah hari belum juga ditemukan jasadnya. Jam sekolah telah pun usai. Murid-murid berdatangan ke dermaga tempat jatuhnya Pak Jamian.

Tetesan air mata dari murid-murid  tak terbendung lagi. Syahdan berdiri di antara mereka semua. Sambil memandang ke laut, dia membacakan dua baris sambungan puisi yang belum sempat dia ucapkan di hadapan gurunya itu semalam. Lantang mulutnya membaca puisi seakan Pak Jamian dapat mendengarnya.

……………
Telah kami terima pengorbanan darimu,
Abadi, abadilah engkau wahai guruku….

Demikian dua baris terakhir di bait penutup dari puisi Syahdan untuk guru yang disanjungnya.

*****

ڤويسي اونتوق ڬورو

سڤرتي بياس، ڤق جاميان ممڠ سلالو ڤرڬي لبيه اول ك سكوله. والاو دي ماسوق مڠاجر ڤادا جم كتيڬ، كليم اتاو ڤون جم تراخير، دي تتڤ ڤرڬي لبيه اول سبلوم ج ڤلجارن ڤرتام ديمولاي. باڬيڽ سكوله تمڤت إي مڠاجر اداله باڬيان داري تامن سورڬ. ساڠت بهاڬيا باڬيڽ اڤبيلا دي داڤت برتاڽ كابر كڤادا موريد-موريدڽ، برچڠكرام الا كادرڽ، دان جوڬ اونتوق مندڠر چريت لوچو مرك

د رواڠ ماجليس ڬورو، ببراڤ اورڠ ڬورو تله داتن. مرك برچريت اڤ يڠ تله مرك الامي سمالم. “سمالم انككو يڠ سولوڠ داتڠ. دي منونتوت جنجي ڤاڤيڽ، كالاو جادي كڤالا دينس، دي اكن ديبلي موبيل”، كات سئورڠ ڬورو أانيت چنتيك يڠ برنام إبو إدا ايوني جاز كڤادا ركنڽ

“إي بو، سلامت يا بو، باڤق تله جادي كڤالا دينس ڤنديديكن”، سمبوت لاون بيچراڽ

يڠ ممبري اوچاڤن دان ديبري اوچاڤن برسلامن سمبيل ترسڽوم. ڬورو-ڬورو يڠ لاين جوڬ إكوت ممبري اوچاڤن سلامت، بڬيتو ڤولا دڠن ڤق جاميان. ڤادا كسمڤاتن إتو جوڬ، إبۋ إدا مڠتاكن بهوا دي تق بيس ماسوق مڠاجر ڤاڬي إتو، كارن اكن مندمڤيڠي سواميڽ ك كچماتن

لونچڠ تندا ماسوق كلس بربوڽي. ستڬياڤ ڬورو منوجو ك كلس ماسيڠ-ماسيڠ. موريد-موريد يڠ ادا ڬورو د كلس سمواڽ ديام. هاڽ ساتو كلس يڠ ماسيه ريبوت. همڤير بيس ديڤستيكن د كلس إتو تيدق ادا ڬورو يڠ ماسوق

دڠن چڤت ڤق جاميان منوجو ك كلس، ستله مڠتاهوي إبو إدا تيدق داڤت ماسوق ڤاڬي إتو. مليهت يڠ ماسوق كلس اداله ڤق جاميان، سلوروه موريد برسورق ڬمبيرا. “مائف انق-انق. باڤق يڠ ماسوق لبيه دولو ڤاڬي إني، إبو إدا برهلاڠن اونتوق ماسوق. ننتي د جم كتيڬ كالاو سمڤت بارو بلياو ڤولا يڠ ماسوق”، كات ڤق جاميان مڠوالي ڤڠجارن د كلس ڤاليڠ اوجوڠ إتو

“هور…”، سمبوت موريد-موريد سرنتق

ڤق جاميان مڠاجر ڤلجارن بهاس إندونسيا ممولاي بب بارو ڤلجارن. ڤويسي منجادي ڤلجارن د ڤاڬي إتو. ستله مڽمڤايكن مكن ڤويسي دان سياڤ سستراون يڠ تركنل دڠن ڤويسي-ڤويسيڽ، كيني سڠ ڬورو مڽوروه موريد-موريدڽ ساتو ڤرساتو ممبچاكن ڤويسي. ستياڤ موريد يڠ ممبچاكن ڤويسي ديبري نيلائ

بارو ساتو جم برادا د دالم كلس. تيب-تيب باڤق كڤالا سكوله برديري د موك موك ڤينتو. ڤق جاميان يڠ سدڠ مندڠر موريد يڠ برنام همبالي ممباچ ڤويسي، سڬرا مڠهمڤيريڽ. “ادا اڤ ڤق؟ اڤ يڠ ڤرلو ساي بنتو؟”، ڤق جاميان مڽاڤ دڠن ڤنوه تكزيم

“كناڤ باڤق يڠ ماسوق كلس سكرڠ؟ إنيكن جدوال إبو إدا؟”، تاڽ بڤق كڤالا سكوله

“تادي بو إدا تق بيس ماسوق، دي مندمڤيڠي سواميڽ ك كچماتن”، جاوب ڤق جاميان

“تق بيس بڬيتو. هاروس إزين ساي دولو كالاو ماو ماسوق كلس”، كات باڤق كڤالا سكوله

كڤالا سكوله مڠلواركن تلڤون ڬڠڬم داري ساكوڽ. اڬق منجاوه دي داري ڬورو هونورر إتو. ترليهت ڤربينچاڠن انتارا كڤالا سكوله دان بو إدا. تاڤي تق تاهو اڤ يڠ مرك ڤربينچڠكن. تاڠن كڤالا سكوله برڬرق-ڬرق ك اتس دان ك باوه، سڤرتي سئورڠ ديريڬن مميمڤين اوركسترا. ببراڤ منيت كموديان ڤربينچانن كدواڽ سلساي

“بڬيني ڤق جاميان. إبو إدا منتاكن تيدق ڤرنه مڽوروه باڤق مڠڬنتيكنڽ مڠاجر د كلس. چوم ڤق جاميان ساج يڠ ماو ماسوق كلس. كالاو بڬيتو، هنتيكن ڤلجارن باڤق سكرڠ. بيار ساي ساج يڠ ماسوق”.

برڬڬس ڤق جاميان ماسوق ك دالم كلس. كڤادا موريد-موريدڽ دي بركات، ڤلجارن بهاس إندونسيا ننتي اكن ديسمبوڠ لاڬي ڤادا جم كتيڬ. اونتوق سائت إني كڤالا سكوله يڠ ماسوق. ستله ممبري سالم، دي كلوار منوجو ك رواڠ ماجليس ڬورو. سلنجوتڽ باڤق كڤالا سكوله ڤولا يڠ برديري د دڤن كلس

تيب-تيب سبواه ڤسن ڤندك ماسوق د تلڤون ڬڠڬم ڤق نچس، دميكيان نام باڤق كڤالا سكوله. “ڤق، تولوڠ س.م.س-كن نام ڤوناكن باڤق يڠ ماو مڠڬنتيكن ڤق جاميان. ڤق كاديس ماو بواتكن س.ك اونتوقڽ

دڠن چڤت، سمبيل دودوق د كورسي، ڤق نچس ممبالس ڤسن سيڠكت إتو، “رسكيا”، دڠن چڤت ڤسن إتو تركيريم. ڤسن سيڠكت بلاسن ڤون تركيريم. ڤسن سيڠكت بلاسن ڤون مونچول لاڬي، “چاري الاسن يڠ تڤت ي ڤق اونتوق ممبرهنتيكن بلياو دڠن تيدق هورمت”. بلسن ڤسن سيڠكت إتو تركيريم لاڬي،”اك بو. سالم اوتوق ڤق كاديس

ستله بربالس-بالسن ڤسن سيڠِت انتارا كڤالا سكوله دان إستري كڤالا دينس، ماك دي ڤون برديري لاڬي اونتوق ممبري ڤڠراهن. “بڬيني انق-انق، سائت إني دونيا تله ماجو. مانوسيا ديتونتوت اونتوق تيدق لاڬي بركات ڤنجڠ لبر، چوكوڤ كات اوك، سياڤ، سييڤ. ماك سمواڽ سوده ترسلسايكن. إني بوكن زامنڽ لاڬي اونتوق برڤويسي. برڤويسي سوده كتيڠڬالن زامن. برڤويسي ڤادا زامن ڤرجواڠن برتووان اونتوق مڠوسير ڤنجاجه، برڤويسي د زامن سكرڠ اونتوق سياڤ؟ كات باڤق كڤالا سكوله سمبيل برتاڽ. نامو تق ادا يڠ براني منجاوب

سلنجوتڽ، باڤق كڤالا سكوله بربيچارا تنتڠ تكنولوڬي. تنتڠ كومڤوتر. تنتڠ ڤرتانيان. تنتڠ ڤمباڠونن. تنتڠ ڬاجيڽ يڠ بسر ديتمبه لاڬي دڠن تونجاڠن سرتيفيكاسي ڬورو، تونجاڠن فوڠسيونل، تونجاڠن كڤالا سكوله دان ڬاجيڽ سباڬاي ڤڬاواي ڬولوڠن ٤. تق كتيڠڬالن ڤولا ديا مڠتاكن بهوا ديا تق ڤرنه منوليس ڤويسي، نامون هيدوڤڽ تتڤ سوكسس. موريد-موريد سموا ترديام. كموديان كڤالا سكوله مڽوداهي چلوتهڽ د كلس ستله لونچڠ جم كإوا بربوڽي

دڠن ويباوا كڤالا سكوله منيڠڬلكن رواڠ كلس. ديا برجالن دڬق منوجو كنتورڽ. سئورڠ ڤڬاواي تات اوساه ديسوروهڽ ممڠڬيل ڤق جاميان

“إزين ڤق، بنر باڤق مڽوروه ساي مڠهادڤ”، ساڤ ڤق جاميان كڤادا كڤالا سكوله يڠ كليهاتن تيدق بركنن ممندڠ واجهڽ

“إي. دودوق”، كات كڤالا سكوله

ڤق جاميان دودوق. كڤالا سكوله مڠهلا نافس ڤنجڠ سمبيل مڠوسڤ جڠڬوتڽ يڠ تق سبراڤ لبت، نامون داڤت مواكيلي ڤرتاي يڠ ديق دوكوڠ

“بڬيني، ڤق جاميان. ڤرتام، يڠ إڠين ساي سمڤايكن اداله باڤق تله ملڠڬر ديسيڤلين سكوله. كارن إتو سسواي جباتن ساي، دڠن ساڠت ترڤكس ساي هاروس مڠلواركن سورت ڤريڠاتن ڤرتام اونتوق باڤق. تمبوسننڽ ساي سمڤايكن ك دينس ڤنديديكن”، كات باڤق كڤالا سكوله سمبيل مڽرهكن سلمبر سورت يڠ تربوڠكوس دالم امڤلوڤ

“كدوا، ساي برڤسن كڤادا باڤق، جاڠن اجاري لاڬي موريد-موريد بوات ڤويسي. إڠت، ڤروڬرم ڤمرينته سكرڠ، تيدق ادا ممبين ڤويسي دالم ڤمباڠونن”.

“إي ڤق. تاڤي ماتري د بوكو ڤندوان ڤلجارن بهاس إندونسيا ممڠ ادا تنتڠ ڤويسي”، جاوب ڤق جاميان

“ابايكن ساج. إتو كوريكولوم بواتن ڤمرينته يڠ دولو”، كات كڤالا سكوله

جم ڤلجارن كتيڬ تله ڤولا ماسوق. اڬق لمبت سڤولوه منيت ڤق جاميان ماسوق كك كلس. كتيك إي برديري د دڤن كلس. سئورڠ موريد وانيت بركات، “ڤق، يڠ سلنجوتڽ باچ ڤويسي ساي لاڬي ڤق”. كموديان س موريد لڠسوڠ برديري د موك كلس مڠهادڤ تمن-تمنڽ

سجنق ڤق جاميان ترمنوڠ. تق سمڤت بربيچارا اڤ ڤون ديا اونتوق ممولاي ڤلجارن، سبب تله ديمولاي لبيه داهولو اوله موريدڽ

“سيلهكن نين”، كات ڤق جاميان

نين ڤون مولاي ممبچاكن ڤويسي. سلنجوتڽ ساتو ڤرساتو موريد تمڤيل ك دڤن ممبچاكن انك ڤويسي. ستياڤ ڤمبچائن ڤويسي دياخيري دڠن تڤوق تاڠن

هيڠڬ اخيرڽ، كتيك شهبان اوساي ممباچ ڤويسي، لونچڠ ڤون بروڽي، تندا جم ڤلجارن إتو تله اوساي

شهدن تمڤيل منونجوق جاريڽ. “ڤق، ڬيليرن ساي لاڬي”.

“تق بيس شهدن، لونچڠ تله بربوڽي.”، جاوب ڤق جاميان

“جادي بڬايمان دڠن نيلاي ساي؟”، دسق شهدن

“بسوق كيت سمبوڠ لاڬي. كارن كامو ممباچ ڤويسيڽ بسوق، ساي توڬسكن كامو ممباچ ڤويسي يڠ كامو بوات سنديري”، تڠكيس ڤق جاميان

ڤق جاميان كلوار داري رواڠ كلس. ڤڬاواي تات اوساه يڠ تادي ممڠڬيلڽ، كيني داتڠ لاڬي منجمڤوتڽ اونتوق مڠهادڤ باڤق كڤالا سكوله

“سوده ساي ڤريڠتكن تادي. تاڤي باڤق ماسيه جوڬ مڽوروه انق-انق ممباچ ڤويسي.” كات باڤق كڤالا سكوله

“ساي إڠين مروبه ك ماتري يڠ لاين ڤق. تاڤي انق-انق إتو تله ممولاي ڤولا ڤويسيڽ”، جاوب ڤق جاميان

“د كلس ڬورو يڠ بركواس. بوكن موريد. باڤق تله ملڠڬر ڤراتورن، تيدق تائت دڠن ڤرينته ڤيمڤينن. كارن إتو دڠن برت هاتي س.ڤ ٢ ساي كلواركن. إڠت ڤق جاميان. كالاو سمڤاي س.ڤ ٣ يڠ كلوار. دڠن سنديريڽ باڤق برهنتي منجادي ڬورو د سيني!”، دميكيان باڤق سكوله منڬسكن

ڤق جاميان كمبالي ك رواڠ ماجليس ڬورو. تق باڽق يڠ داڤت ديبواتڽ ڤادا هاري إتو. ديا لبيه باڽق ترمنوڠ

لونچڠ تراخير سكوله بربوڽي كنچڠ. سئيريڠ دڠن إتو سوارا سورق سوراي موريد-موريد داري تياڤ-تياڤ كلس تردڠر دڠن كرس. مرك سموا ڬمبيرا ڤلجارن تله اوساي دان اكن سڬرا ڤولڠ

*

د رومه، ستله ماكن سياڠ إي مڠاجركن زاينب مڠاجي. بڬيتوله كسهاريانڽ. ڤق جاميان اداله سئورڠ للاكي دودا، ديا ديتيڠڬل ماتي اوله إستريڽ سجق كلاهيرن انق مرك زاينب. تله دلاڤن تاهون برلالو ديا ممبسركن انقڽ برسنديريان. ديا منجادي ايه سكاليڬوس إبو باڬي زاينب. منچوسي، مڽتريك، مماسق، ممبرسيهكن رومه دان هلامن، سموا ديلاكوكنڽ سنديري. موجور كيني زاينب تله مولاي بسر، سديكيت دمي سديكيت داڤت جوڬ منولوڠڽ

منجلڠ تيدور مالم، بڬايمان داليه دان اكل اونتوق ممبرهنتيكن ڤمبچائن ڤويسي د كلس تله ديڤيكيركنڽ. ديا برڤرينسيڤ سڤرتي مناريك رمبوت دالم تڤوڠ، رمبوت جاڠن ڤوتوس دان تڤوڠ ڤون تيدق برسرق. دي تله تاهو اڤ يڠ اكن ديلاكوكن بسوق د كلس

فاجر مولاي مڽيڠسيڠ. ڤق جاميان تله سلساي مماسق سراڤن ڤاڬي، سكاليڬوس ماكن سياڠ اونتوق ديا دان زاينب. دياجقڽ انق سمات وايڠ، تيتيڤن بوندا بيداداري سورڬ إتو سراڤن

كموديان مرك بردوا ڤون برڬرق كلوار. ستله مڠنتر زاينب ك سكوله، ڤق جاميان ملنجوتكن ڤولا ڤرجلانن برسڤدا موتور تواڽ منوجو ك سكوله تمڤت ديا مڠاجر

د موك كلس، سلڤس ممبري سالم ڤمبوك، ڤق جاميان ممبوك بوكو ڤندوان مڠاجرڽ. “انق-انق، سكرڠ كيت ماسوق ڤوكوق بهاسن بارو”، كات ڤق جاميان ممولاي ڤلجارن

“ڤق، ڤلجارن سمالم بلوم سلساي. ساي بلوم ممبچاكن ڤويسي”، كات شهدن سمبيل مڠاچوڠكن تلونجوق

“تق اڤ شهدن. نيلاي كامو جوڬ تله بايك،” جاوب ڤق جاميان

“بوكن بڬيتو ڤق. ساي تله ممبوات ڤويسي تربايك اونتوق باڤق. والاو تيدق ديبري نيلاي، ساي موهون كيراڽباڤق سودي مندڠركن ڤويسي ساي،” ڤينت شهدن

ڤق جاميان إب دان ترڤان مندڠر ڤنوتورن صهدن، سڠ جوارا كلس يڠ برچيت-چيت تيڠڬي إڠين جادي سستراون دونيا. انتارا ممڤرتاهنكن ڤكرجائنڽ سباڬاي ڬورو دان انچامن ڤمبرهنتيان داري سكوله برادو د دالم ڤيكيرنڽ. تيب-تيب مولوتڽ كلوار كاليمت، “شهدن، سئلهكن ك دڤڤن. بچاكنله ڤويسي تريندهمو إتو.”

شهدن تمڤيل ك دڤن. دڠن ڤوه سماڠت ديا ممبچاكن ڤويسي. بردچق كاڬوم تمن سكلس مندڠر ڤويسي س “كهليل ڬيبرن” كچيل. رمبسن ائير مات بنيڠ تمڤق برلينڠ د كلوڤق مات ڤق جاميان. ديا مڠهياتي ڤويسي س سستراون چيليك سدالم-دالمڽ

تق برسلڠ لام، سئورڠ ڤڬاواي تات اوساه مونچول د موك كلس. “ڤرميسي ڤق، باڤق ديڤڠڬيل ڤق كڤالا سكوله سكرڠ جوڬ!” كتاڽ دڠن تڬس

ڤق جاميان سڬرا ممبرهنتيكن شهدن يڠ سدڠ ممباچ ڤويسي

شهدن ترهنتي ممباچ ڤويسي، موكاڽ مره ڤادم. لالو ملاكوكن ڤروتس، “تاڤي ڤق، إني تيڠڬل دوا باريس ساج لاڬي.” كتاڽ

“ننتي ديسمبوڠ د لاين كسمڤاتن،” جاوب ڤق جاميان ڤلن

ڤق جاميان ڤون برسڬرا منيڠڬلكن كلس. ڤنداڠن مات موريد-موريد تروس مڠيكوتي لڠكهڽ هيڠڬ ديا تيدق كليهاتن. ڤنداڠن إتو سباڬاي تندا مرك تق رلا ديتيڠڬلكن بڬيتو ساج، دان برهارڤ اڬر ڬوروڽ سڬرا كمبالي ك كلس لاڬي

د رواڠن كڤالا سكوله، دوا اورڠ ڤڬاواي تات اوساه تله دودوق د كورسي تامو. ڤق جاميان ديڤرسيلهكن دودوق

“تله دوا كالي سورت تڬورن ساي سمڤايكن كڤادا ڤق جاميان، نامون تيدق ادا راس هورمت باڤق اونتوق مماتوهيڽ. كارن إتو، دڠن ساڠت ترڤكس ساي مڠلواركن س.ڤ ٣ إني.” دميكيان كڤالا سكوله بروجر سمبيل مڽودوركن سلمبر سورت تڬورن تراخير، سكاليڬوس سورت ڤمبرهنتيان دڠن تيدق هورمت

“سكرڠ جوڬ ڤق جاميان بوله تيڠڬلكن سكوله إني!” كات كڤالا سكوله لاڬي دڠن تڬس

ڤق جاميان تركجوت، راس مارهڽ مونچول، تاڤي إي تتڤ بروساه تنڠ. سئورڠ ڤڬاواي تات اوساه مندكاتي ڤق جاميان. مرك مڽودوركن اواڠ ڬاجي هونور ڤق جاميان اونتوق سبولن تراخير

ڤق جاميان كلوار داري ڤكراڠن سكولهڽ سمبيل مناريك سڤدا موتور بوروق يڠ ديا ڤاكاي ستياڤ هاري. ديا سڠاج تيدق مڠهيدوڤكن مسين سڤدا موتور. ديا تاكوت ادا انق موريد يڠ مليهت كڤرڬيانڽ داري سكوله إتو. جاوه داري هلامن سكوله باروله ديا مڠهيدوڤكن سڤدا موتور، برلالو ڤرڬي دڠن واجه سريبو دوك

ڤق جاميان تيدق لڠسوڠ ك رومه. ديا سيڠڬه د سبواه كداي يڠ منجوال ڤاكايان سكوله. سڤاسڠ باجو ڤراموك ديبليكنڽ اونتوق زاينب. سبب سوده تيڬ تاهون زاينب برسكوله، نامون بلوم ڤرنه مماكاي باجو ڤراموكا يڠ بارو. باجو إتو ديبليكن سباڬاي هادياه اونتوق زاينب كارن تله هافل داس درم ڤراموك

ڤولڠ ك رومه. زاينب تله مڽمبوت ڤق جاميان دڠن سوك چيت دان هاتي بهاڬيا ستله منداڤت سڤاسڠ باجو ڤراموك. تق ادا تمڤق راوت برمساله د واجه ڤق جاميان. للاكي يڠ ديڤڠڬيل ايه اوله زاينب إتو، مڽيمڤن سلوروه كدوكائن كتيك برهداڤن دڠن ڤوتريڽ. ديا مرساكن سڬالا نستاڤ يڠ ديا الامي. ديا تيدق ماوزاينب إكوت برسديه كارن ناسيب سيال يڠ ديا تريم. ديا ممڠ للاكي تابه

*

سڤرتي بياس، كتيك ڤاسڠ نايك د وكتو مالم، ڤق جاميان تق ڤرنه ملواتي اونتوق ڤرڬي ممنچيڠ، كتاڽ كالاو ممنچيڠ د وكتو ائير ڤاسڠ مالم، ماك باڽق إكن يڠ اكن ديداڤت. كالاو ادا رزكي بيس داڤت كوراو، إكن يڠ برهرڬ ساڠت تيڠڬي

دڠن بربكل اوبي ربوس دان سبوتول كوڤي، ديا منوجو ك درماڬ لام بكس كيلڠ ساوميل. بياڠن كتيدكڤواسن واجه شهدن يڠ تق داڤت مڽلسايكن ڤمبچائن ڤويسي تق لوڤوت د ڤلوڤوق متاڽ. سسائت كموديان برڬنتي ڤولا دڠن واجه-واجه يڠ لاين، يڠ تق رلا ديتيڠڬلكن بڬيتو ساج د كلس تادي ڤاڬي. سئكن ساتو ڤرساتو واجه-واجه يڠ تيدق بردوس إتو مونچول دالم سكتيك

مونچولله ڤرسائن سديهد هاتي كارن اسوق تيدق داڤت ممندڠ واجه-واجه چريا إتو لاڬي، سبب ديا سوده ديبرهنتيكن مڠاجر. لالو، مونچول ڤولا راس ريندو يڠ تيادا تارا دڠن تيب-تيب. يڠ لبيه ممببنكن اداله ديا تق سمڤت ممينت مائف دان ممبري ڤسن اخير كڤادا موريد-موريدڽ. “كمناكه مائف دان ريندو إني اكن اكو سمڤايكن؟” كتاڽ ممباتين

ائير ڤاسڠ برتمبه دالم. جارق ائير داري لنتاي جمباتن هاڽ سجڠكل ساج. إي بيس منچوچي تاڠن دڠ ائير لاوت إتو والاو تنڤ تيمب. اروس ڤاسڠ مالم سماكين درس، تندا سوروت اكن سڬرا مونچول

بايڠ واجه زاينب يڠ بسوق اكن مماكاي باجو ڤراموك جوڬ تربايڠ د ڤلوڤوق مات. ڤستي زاينب منوڠڬو ڤوجيان داريڽ. تندا تاڠن كڤالا سكوله لڠكڤ ستمڤل د سورت س.ڤ ٣ جوڬ منجلم

تيب-تيب جورن ڤنچيڠ برڬتر كرس. ڤق جاميان بارو ساج إڠين منچورهكن كوڤي ك چڠكير ڤلستيكڽ سڬرا برلاري منوجو ڤنچيڠ يڠ ديتاجور. جورن ڤنچيڠڽ همڤير جاتوه ك لاوت. ديا سڬرا منڠكڤ جورن ڤنچيڠ إتو. تاڤي نائس باڬيڽ، ديا ترڤلست ستله ترينجق تالي بكس ڤنمبت كاڤل

درس ائير يڠ ڤاسڠ دالم مڽرتڽ دڠن كنچڠ. تاڠنڽ ترڬاڤاي-ڬاڤاي منچاري سسواتو اونتوق ديجاديكن ڤڬاڠن. تتاڤي سمواڽ هاڽوت، سمواڽ إكوت منجاوه. ديا تڠڬلم د لاوت إتو دالم تمارمڽ چهاي بولن د تڠه مالم

سئيريڠ هاڽوت دان تڠڬلمڽ ديا ك داسر لاوت، ديا مندڠر سوارا سسئورڠ ممبچاكن ڤويسي ترينده يڠ ديكوتيڤ داري كيتب سوچي. سواراڽ إتو ڽات، ڽاريڠ دان جلس. سوارا إتو ڤرسيسي دڠن سوارا شهدن يڠ امت شهدو، يڠ ممبچاكن ڤويسي اونتوقڽ تادي ڤاڬي

هاي جيوا يڠ تنڠ
كمباليله كڤادا توهنمو دڠن هاتي يڠ ريض لاڬي ديريضاي-ڽ
ماك ماسوكله ك دالم جمائه همب-همبا-كو
دان ماسوكله ك دالم سورڬا-كو

سكتيك إتو جوڬ ايه زاينب ڤون هيلڠ انته كمان. سبوڠكوس اوبي ربوس دان سبوتول كوڤي يڠ بلوم سمڤت ديسنتڤ منوڠڬوڽ دڠن تنڠ د اتس درماڬ

*

ڤاڬي هاري زاينب منوجو ك درماڬ تمڤت ايهڽ بياس ممنچيڠ. زاينب يڠ تله مڠناكن سراڬم ڤراموك بارو إتو هرن كناڤ ايهڽ تق ڤولڠ سمڤاي ڤاڬي. ڤداهل ڤاڬي إني ديا هاروس ڤرڬي ك سكوله، مڠاجر

ايهڽ تق ادا د درماڬ. زاينب هاڽ مليهت سبوتول كوڤي دان سبوڠكوس اوبي ربوس يڠ بلوم برجامه. كڤادا ببراڤ اورڠ للاكي دواس يڠ ادا د سان، زاينب منڽاكن ڤريهل ايهڽ. ايه، مانوسيا ساتو-ساتوڽ تمڤت ديا برڬنتوڠ ناسيب

“جادي إني كوڤي ايهمو؟ إني اوبي ربوس ايهمو؟” تاڽ ساله ساتو داري مرك

زاينب مڠڠڬوق، تاڤي تق بيچارا. ديا هاڽ مننتي جوابن ديمان ايهڽ

“كامي تيدق مليهت سسياڤ د سيني سجق كامي برادا د سيني سلڤس سوبوه تادي،” جاوب للاكي يڠ لاين ڤولا. جاڠن-جاڠن ايهمو…” للاكي إتو تيدق براني منروسكن ڤركتائنڽ لاڬي

هاري سماكين سياڠ. سماكين راماي اورڠ يڠ داتڠ ك درماڬ. انته دري مان داتڠڽ كابر، تله ترسيار بريت د كوت كچيل إتو بهوا ڤق جاميان تله جاتوه دان تڠڬلم د لاوت

ڤوليسي ائير، تيم سر، دان رلاون سرت كاوم كرابت سيبوق منچاري ڤق جاميان يڠ ديدوڬ ترجاتوه ك لاوت. تاڤي هيڠڬ تڠه هاري بلوم جوڬ ديتموكن جاسدڽ. جم سكوله تله ڤون اوساي. موريد-موريد بردتاڠن ك درماڬ تمڤت جاتوهڽ ڤق جاميان

تتسن ائير مات داري موريد-موريد تق تربندوڠ لاڬي. شهدن برديري د انتارا مرك سموا. سمبيل ممندڠ ك لاوت، ديا ممبچاكن دوا باريس سمبوڠن ڤويسي يڠ بلوم سمڤت ديا اوچڤكن د هداڤن ڬوروڽ إتو سمالم. لنتڠ مولوتڽ ممباچ ڤويسي سئكن ڤق جاميان داڤت مندڠرڽ


تله كامي تريم ڤڠوربانن داريمو
ابادي، اباديله اڠكاو واهاي ڬوروكو..

دميكيان دوا باريس تراخير د بايت ڤنوتوڤ داري ڤويسي شهدن اونتوق ڬورو يڠ ديسنجوڠڽ

*

Puisi ini dialihaksarakan oleh Riausastra.com. Jika terdapat kesalahan pada penulisan aksara Arab Melayu, mohon tunjuk ajarnya ke WA 0895622119785
Artikel sebelumnyaPuisi: Senapelan, Izinkan Aku Memeluk Senja
Artikel berikutnyaPuisi: Anak-Anak Ibu Zamrud
Afrizal Cik
Afrizal Cik, Peminat Karya Sastra. Penulis buku Tanah Jantan yang Melawan, Tempias, Karangan Bunga di Hari Keputraan, Legenda Tasik Putri Pepuyu, Hang Perkasa, Awang Mahmuda, Si Tangguk, Sumpah Kucing. Yung Dolah, Putri Pinang Masak, Hikayat Dewa Syafri, Hikayat Lancang Selemat Hikayat Anak Harimau, Putri Padang Gelenggang, dan sejumlah cerpen serta puisi. Sutradara film Mencari Mustika. Ketua Dewan Pembina Sanggar Sastra Tabir, Selatpanjang. Hingga saat ini masih aktif mengumpulkan referensi dongeng cerita rakyat. Bertempat tinggal di Selat panjang, Kepulauan Meranti, Riau.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini