Riausastra.com – Malam. Hanyalah malam yang terus meninggi dalam terpaan angin dan tarian gerimis. Betapa pinggiran Sungai Siak bagai menyajikan segala bayangan kenangan. Ditambah sayup rekaman dodoi yang diputar, sungguh paripurna rasanya kesendirian yang ditemani segelas kopi.
Tentu saja bagi Ismail Husen, inilah momen yang jarang ia lalui kala bermenung hingga tengah malam di pinggiran sungai penuh sejarah itu. Sebuah momen yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya. Bermula dari letih mengajar seharian, hingga kantuk hebat menyerangnya bakda Isya. Lalu bagai terdampar dari kawah mimpi, hanyalah tiba-tiba Ismail Husen terbangun satu setengah jam sebelum pergantian hari.
Sebagai seorang guru yang gemar menulis, momen malam begini sungguh penuh inspirasi bagi Ismail Husen. Awalnya ia iseng memutar dodoi untuk persiapan istrinya melahirkan anak pertama yang hanya hitungan minggu lagi. Sungguh telah terbayang olehnya rumahnya akan hiruk dengan alunan dodoi. Tidow tidow anakku manjo, tuntutla ilmu ke negi Cino, supayo hidop jadi pelito, dunia akheghat tetap tejago.
Seketika sunyi yang memanjang dirasakan oleh Ismail Husen. Teringat Amak yang telah tiada. Seorang wanita tangguh itu, berpulang persis lima hari sepulang berziarah ke Rempang Galang. Sungguh betapa sedihnya hati Ismail Husen lantaran saat anaknya lahir nanti, tak ada lagi sosok Amak yang ikut mengasuh anaknya yang sangat dinanti-nanti setelah empat tahun pernikahan.
Dalam kepungan kesunyian Sungai Siak, Ismail Husen dengan spontan melihat layar ponsel. Tak lama lagi hari berganti, dan menandakan tanggal genapnya setahun Amak berpulang. O Rempang Galang. O kampung-kampung menghadap lautan dengan musim ikan dingkis bagaikan perburuan emas hidup ketika Imlek datang menjelang.
Ismail Husen serta merta menyadari, bahwa malam itu adalah malam yang penuh arti. Betapa sejurus kemudian, Al fatihah dibacanya sembari membayangkan wajah Amak berkelabat di permukaan sungai dan angkasa luas. Semoga mendapatkan tempat yang terbaik di sana, Amak, pikirnya yang sungguh tak lama-lama mengenang kesedihan. Lalu bagai dalam sebuah kereta malam yang melaju cepat, pikiran Ismail Husen kini justru telah dipenuhi ingatan tentang apa yang ia ceritakan di sekolah tadi siang.
“Setamat kuliah, Bapak dulu pernah berkelana di Rempang Galang. Tanah Melayu yang kampungnya menghadap laut.”
Begitu antusias para siswa yang beranjak dewasa itu memahami jalan cerita Ismail Husen. Terlebih mendengar bahwa ia menyebut Kampung Vietnam yang penuh sejarah di Sijantung, ikan dingkis yang melambung harganya kala Imlek, serta penduduk Pasir Panjang yang menjemur rungkam di pinggir pantai putih menghadap Tanjung Pinang.
“Ini pernah jadi bahan lomba puisi Bapak. Sebelum ada Kampung Vietnam, dulunya ada kebun nenas PT Mantrust. Lalu saat kamp pengungsian itu dibangun, dulunya Presiden Soeharto sempat meninjau pembangunannya pada tahun 1979 yang disambut kibaran bendera dan nyanyian.”
Tentu saja di antara para siswa itu, ada yang mulai memahami pola pikiran Ismail Husen. Ternyata untuk menulis sesuatu, butuh riset dan pengalaman agar tulisan lebih terarah dan tidak mengada-ngada.
“Saksikan video ini, saksikanlah…” Betapa Ismail Husen tidak sekedar bercerita belaka. Tapi ia membuktikan dengan video yang ia dapat di internet, serta mengunjungi kampung-kampung dengan bantuan Google Map.
Dan memang. Memang pada siang itu Ismail Husen begitu emosional menceritakan pengalamannya kala berdakwah di kawasan Rempang Galang. Bahkan ia mengungkapkan kerinduan mendalam untuk bernostalgia dengan orang-orang kampung yang pernah ia temui. Namun begitulah ia memberitahu para siswa, bahwa tema penelitian yang tengah ia hadapi bukanlah tentang pulau yang dihubungkan Jembatan Barelang itu. Justru tentang eksistensi Sungai Siak yang merupakan perairan padat dan wajib pandu bagi orang-orang pelabuhan terutama di Perawang dan Buatan.
“Sekarang Bapak fokus studi pustaka tentang pencemaran di Sungai Siak.” Lalu dijabarkanlah berbagai hasil bacaan. Tapi sejurus kemudian terdengarlah guyon. “Siapa di antara kalian berani terjun dari Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah sana? Bapak beri hadiah…”
Tentu saja seloroh Ismail Husen sambil tersenyum itu disambut dengan sorakan kecil dari para siswa. Sungguh selalu hidup kelas dengan cerita pengalaman dan humor-humor renyah. Suasana kelas yang awalnya sempat mencekam lantaran cerita tentang seorang anak yang diduga diterkam harimau dan ditemukan tanpa kepala, serta merta berubah menjadi cair dengan guyon Ismail Husen yang tak ada matinya.
***
Sungguh dari kegemaran menulis itulah Ismail Husen akhirnya banyak membaca dan meneliti banyak hal. Tak peduli tempatnya jauh asal ia bisa mendapatkan data untuk ia olah dan berpacu dengan waktu agar tak terlindas garis deadline. Suatu ketika, tema tulisan itu tentang angkutan laut dan pelabuhan. Maka ia tak segan-segan mewawancarai orang pelabuhan dan memaknai denyut Sungai Siak memapah perekonomian melalui angkutan penumpang maupun ribuan kontainer yang berasal dari perusahaan-perusahaan besar yang bercokol di Riau.
“Hati-hati saat di pelabuhan. Bisa-bisa nanti jatuh ke sungai.” Begitulah Siti Syarifah, sang istri mengingatkan sebelum berangkat wawancara.
Bagi Ismail Husen, tentu saja pesan itu semakin membuatnya mencintai sang istri yang hamil muda. Betapa di pagi itu, ia sempat melihat kelabat kecemasan yang tergambar dari wajah Siti Syarifah. Apakah ia akan baik-baik saja dan pulang dalam keadaan selamat?
“Tenang, kali ini yang dihadapi bukan hutan dan lebah. Hanya mewawancarai orang-orang di kantor syahbandar.” Ismail Husen menegaskan betul, bahwa ia akan baik-baik saja. Tak ingin seperti kala ia ikut temannya untuk melihat kegiatan menumbai di Pelalawan.
“Wak, apa kita akan aman-aman saja selama di hutan?” Sergah Ismail Husen kala mulai memasuki hutan. Itu terpaksa harus ia lakukan lantaran deadline lomba semakin dekat, dan ia butuh untuk melihat kegiatan menumbai dari dekat.
“Insya Allah tak akan disengat. Lihat dari jauh saja. Jangan dekat betul ke pohon.”
Lalu sejurus kemudian, maka terdengarlah mantra dari juragan tuo. “Dahan jambang jawab salamku, kering bukit dalam tulang sayang oiii.”
Betapa Ismail Husen langsung terkesima dengan untaian-untaian mantra dari salam pembuka hingga penutup.
Meskipun kala itu tak disengat lebah, namun celaka tetap saja menghinggapi Ismail Husen. Kakinya jadi terkilir lantaran terpeleset di antara akar-akar pohon.
Ismail Husen tak ambil pusing dan tak boleh bermanja-manja dengan rasa sakitnya itu. Tapi begitulah. Pulang-pulang dari penelitian, Ismail Husen yang alih-alih berharap tulisannya segera diselesaikan, malah ia menghadapi masalah yang pelik.
Berawal dari sang istri sering muntah-muntah dan harus istirahat total, membuat Ismail Husen kelimpungan untuk mencari obat ini dan itu. Dan itu serta merta berpengaruh terhadap mood menulis Ismail Husen yang sebetulnya butuh suasana tenang untuk menuangkan ide briliannya. Rekaman belum sempat ia dengarkan. Sementara deadline tulisan tinggal dua hari lagi.
“Kerjakanlah, kerjakanlah cepat, Bang. Sayang penelitiannya jauh-jauh dan membuat capek.” Tukas sang istri yang menyuruhnya segera mendengarkan rekaman penelitian itu.
Ismail Husen tentu tak ingin kejadian menit-menit terakhir terulang. Kala itu, meskipun deadline tinggal tiga jam lagi, bagi Ismail Husen adalah pertaruhan hidup dan mati, apakah ia berhasil mengirim karya atau tidak. Dan di saat Ismail Husen masih berjibaku dengan tulisannya di kamar, maka saat itulah kabar buruk bagai hantu gentayangan dan berlari ke rumah jiwanya. Pada malam itu, ia menerima kabar Amak berpulang. Amak benar-benar pergi untuk selamanya saat tertelap tidur setelah shalat Isya.
Sungguh malam yang kelabu bagi Ismail Husen. Ia langsung menuju rumah Amak dan melupakan deadline yang berhadiah belasan juta kala itu.
***
Dan seperti biasanya. Tiap ada perlombaan menulis, Ismail Husen selalu mengabari para siswa untuk ikut berpartisipasi. Tak terkecuali dengan Siti Syarifah, sang istri yang sedikit banyak bisa menulis walau masih sebatas di blog pribadi.
Pada hari itu, lagi-lagi Ismail Husen mengingatkan tenggat deadline perlombaan yang berkaitan dengan pencemaran sungai. Ada satu dua siswa yang mencoba ikut dan mendalami tema yang sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan mereka.
Dalam diskusi di kelas, setelah sempat membahas tentang munculnya harimau yang lagi-lagi menjadi perbincangan hangat dan membuat seisi kelas riuh, maka Ismail Husen kembali mengarahkan pembicaraan tentang Sungai Siak.
“Sama. Sama saja apa kondusi Sungai Siak dan hutan di negeri kita. Hutan yang dijarah hingga membuat habitat harimau semakin sempit hingga mereka muncul ke perkebunan dan pemukiman. Sementara Sungai Siak, banyak yang telah tercemar berdasarkan penelitian dinas terkait, tim ekspedisi, maupun lembaga independen.”
Ismail Husen kali ini serius menjabarkan bentuk-bentuk kerusakan alam kepada para siswanya. Tapi ada suatu ide yang tak kuasa untuk ditahannya. Eco enzyme, cairan yang sebetulnya sering dibuat Siti Syarifah dalam mata rantai ekonomi sirkular, ternyata juga berpengaruh terhadap penjernihan sungai.
Tentu saja berangkat dari data-data valid lainnya, Ismail Husen begitu semangat mengejar deadline. Ismail Husen kali ini sangat yakin tulisannya akan bernas dan bisa mendapatkan prestasi yang memuaskan.
Tapi begitulah, begitulah Ismail Husen harus berjibaku untuk membagi waktu sembari terus mengajar, menulis, dan siaga jika sewaktu-waktu sang istri merasakan sakit dan harus segera dibawa ke bidan atau rumah sakit.
Sebagaimana pada siang itu, betapa hari itu sungguh hari terakhir pengiriman naskah. Telah terbayang oleh Ismail Husen bahwa ia harus berjibaku dari siang hingga malam untuk menuntaskan tulisan yang sebetulnya sering ia tunda-tunda, hingga dijuluki sang istri sebagai ‘Manusia Last Minutes’.
“Di Rempang pecah kericuhan siang ini. Apa kalian telah dengar beritanya?” Ismail Husen sungguh terkejut mendengar kabar kericuhan di Rempang. Siang itu, memang telah berseliweran berita online terkait kericuhan itu. Dan itulah yang serta merta diceritakan Ismail Husen di depan kelas seraya mengajak para siswa berpikir kritis.
Namun siapa pula menyangka, bahwa ia harus pulang lebih duluan pada siang itu. “Bang, segera pulang. Kayaknya anak kita mau lahir,”
Panggilan telepon dari sang istri tersebut, tentu saja membuat Ismail Husen terkesiap. Ia segera minta izin ke atasan, mengemasi buku-buku seraya kericuhan Rempang, kelahiran anak, dan deadline tulisan terus bergelayutan dalam pikirannya. Pekanbaru, 2023
Catatan:
- Kutipan dodoi anak bersumber dari Jurnal KOBA Volume 4, No 1. April 2017. Perubahan Bentuk dan Fungsi Dodoi Anak pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Siak Sri Inderapura Provinsi Riau Karya Idawati.
- Kutipan mantra menumbai bersumber dari artikel Moch. Hafid Arofat, Novi Siti Kussuji Indrastuti dari Universitas Gadjah Mada. Judul karya: Pantun dan Mantra dalam Upacara Menumbai di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau: Kajian Komposisi, Tranmisi, dan Fungsi.
- ***
داري سوڠاي سياق هيڠڬ تانه رمڤڠ
مالم. هڽاله مالم يڠ تروس منيڠڬي دالم ترڤائن اڠين دان تاريان ڬريميس. بتاڤ ڤيڠڬيرن سوڠاي سياق باڬاي مڽاجيكن سڬالا بياڠن كناڠن. ديتمبه سايوڤ ركامن دودوي يڠ ديڤوتر، سوڠڬوه ڤاريڤورن رساڽ كسنديريان يڠ ديتماني سڬلس كوڤي