sumber ilustrasi asli: pixabay

Riausastra.com – Atan terbangun ketika suara Tek Yung menjerit di luar kamar. Dengan rasa keterkejutannya, Atan melompat dari tempat tidur dan menyibak pintu kayu dengan menimbulkan derit yang panjang, dilihatnya Tek Yung ketakutan sebab seekor tikus yang terjebak di atas kertas yang dilumuri lem oleh Atan tadi malam. Atan teruja sekejap karena perangkap yang ia buat semalam berjaya. Ia mengambil kertas dan tikus itu lalu memasukkan ke kantong plastik dan mengantungkannya di dinding luar rumah untuk umpan ular di ladang sawit milik Pak Long nanti.

Tek Yung menarik napas lega. Ia teguk air minum dari botol yang biasa ia bawa kemana-mana. Setelah itu ia menarik kursi dari meja yang ada di ruang tengah. Satu-satunya meja di rumah Atan. Meja kayu yang bisa diubah menjadi tempat makan, tempat bercerita dan bahkan tempat menangis Omak Atan tengah malam. Omak Atan muncul dari pintu belakang sambil membawa seikat sayur kangkung dari tobek. Tek Yung berdehem dan menyuruh Atan ikut duduk di sebelahnya.

“Kenapa Yung datang pagi-pagi betul ni?” Tanya Omak heran sambil menaruh kangkung ke dalam baskom. Seekor ulat kecil menggeliat sebelum akhirnya Omak membuangnya ke luar. Tek Yung terlihat jijik namun ia kembali berdehem.

“Aku datang sebab ada kabar gembira dari yayasan.”

Atan mengamati sanggul Tek Yung yang menjulang tinggi dengan hiasan bunga. Apa Tek Yung tidak keberatan membawa rambut seperti itu, pikir Atan sambil menahan rasa penasarannya. Ia kecewa karena Tek Yung tidak membawa makanan apapun ke rumahnya.

“Jadi juga perusahaan besar dari kota itu membangun sekolah SMA di kampung kita ini, Kak. Surat izin pemerintah sudah keluar melalui Yayasan Anak Bangsa. Gedung Sekolah berlantai tiga itu akan segera diresmikan minggu depan ni. Aku pastikan semua anak di sini ikut bersekolah di sana.”

Omak dan Atan saling pandang. Atan ingin menyembunyikan gembiranya. Ia akan bersekolah menengah atas. Atan akan memakai pakaian putih abu-abu, begitu pikirannya saat melihat papan pengumuman yang tertanam di sekolah baru itu.

“Nah siapkan saja surat-surat yang akan diperlukan. Ijazah SMP-mu jangan lupe,” Tek Yung menjentikkan tangannya. Atan mengangguk cepat. Terbayang olehnya akan bersekolah gratis di tempat yang disediakan orang-orang yayasan itu. Omak tidak akan bersusah payah mencari uang untuk biaya pendaftaran.

Setelah mengatakan hal itu, Tek Yung pulang dengan dijemput sebuah mobil, katanya ia harus ke kantor pagi sangat. Omak dan Atan tidak punya nomor telepon sehingga ia sendiri yang harus menghampiri keduanya. Omak tersenyum melihat punggung Tek Yung yang masuk ke dalam mobil besar yang mengkilap.

“Masih ingat Yung dengan kita, Nak. Meskipun bapakmu sudah tak ada. Kau, baik-baiklah bersekolah nanti ya. Kau pasti jadi orang besar seperti Yung. Harusnya Mak kasih dia lopek tadi.”

Atan mengangguk. Tak sabar rasanya ia ingin berbagi cerita kepada Midin dan Harun. Saat dilihatnya tudung makanan, Atan menelan air liur. Ada ubi goreng dengan bumbu cabai dan kuah sate pemberian Cik Ela, tetangga sebelah. Atan senang meskipun tidak ada daging tapi aroma kuah itu saja sudah membuatnya menghabiskan dua potong ubi sebelum pergi.

“Omak, Atan mau ke tempat Harun. Siapa tau Harun juga akan bersekolah di tempat baru.”

“Pulanglah sebelum siang.”

“Baik, Mak.”

Atan menyusuri jalan lebar yang menuju ke arah gedung baru. Biasanya jalan itu dipenuhi semak belukar dan di setiap tepi jalan ada ladang jagung yang luas, di susul jalan menuju kebun sawit yang dibatasi pagar duri. Tapi sejak rencana pembangunan sekolah itu muncul, ladang itu perlahan menghilang dan tinggal seng penutup di mana tidak sembarang orang boleh masuk.

Harun menyusul di belakangnya bersama Midin. Mereka bertiga mengamati gedung yang baru saja selesai dibangun sejak setahun lalu itu.

“Betul kita sekolah di sini? Bukan di kampung sebelah?” Tanya Midin.

“Bapak aku cakap sekolah ini akan jadi sekolah panutan. Semua orang bisa belajar apa saja dengan fasilitas lengkap. Mereka nak membantu semua anak di sini supaya bisa lebih maju dan pintar.” Ucap Harun.

Atan makin berbinar matanya mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Ia sudah membayangkan akan berlari di lapangan dan belajar di dalam kelas yang lantainya keramik dan terasa sejuk saat cuaca panas.

“Kau kan pintar Atan. Kau pasti masuk kelas unggulan dan bisa saja dapat beasiswa ke perguruan tinggi nanti.” Midin makin mengambungkan perasaan Atan. “Kau juga harus mengajari kami tau, supaya kita bertiga nanti bisa kerja yang hebat dan memakai jas yang bagus.” Midin dan Harun tertawa.

Atan memperhatikan mobil yang baru saja tiba di halaman gedung. Wajah-wajah orang berdasi dan memakai sepatu pentofel yang mengkilap. Atan ingin memperhatikan mereka lebih seksama tapi Harun malah menariknya menjauh dari tempat itu.

“Jom kita kail ikan di parit!” ajak Harun sambil menyeret lengan Midin dan Atan.

“Tunggu kejap Harun, apa kau tidak bertanya pada bapak engkau, apakah kita memang tidak perlu bayar masuk ke sekolah tu?” Tanya Atan.

“Aku tak tahu. Nanti aku akan tanyakan tu. Jika membayar pun, mungkin itu sesuai fasilitas yang mereka berikan, kan?”

Atan mengangguk-angguk. Tadi pagi Tek Yung tidak mengatakan apapun tentang biaya. Tapi entah kenapa pikiran Atan jadi tidak tenang. Apakah mungkin semua itu akan digratiskan? Apakah itu sebanding dengan megahnya bangunan? Atan teringat perkataan Omak kalau di dunia ini tidak ada yang gratis. Omak tidak punya harta yang berharga selain rumah dan sepetak ladang jagung.

Atan mengikuti langkah Harun sambil memandang ke belakang. Langit tampak berkabut, entah asap yang akan datang seperti tamu tahunan di Pekanbaru atau memang cuaca yang sedang tak bersahabat. Salah satu bapak berjas hitam berdiri di lantai tiga, memandang ke arah mereka. Atan terkejut lalu memalingkan wajah dan lari ke arah pemukiman warga mengikuti kedua temannya.

***

Omak menyusun surat-surat yang diperlukan di atas meja. Atan memperhatikan dengan seksama wajah Omak yang sembab. Omak menoleh dan tersenyum.

“Kau tak tidur? Besok Omak akan mengantar surat ini ke sekolah.”

“Betul ni, Mak?” Tanya Atan tiba-tiba.

“Hah?”

“Haruskah Atan bersekolah di sana?” Tanya  Atan lagi.

“Bukannya kau yang nak sangat sekolah di sana? Sekolah yang bagus dan gratis pula.” Nada bicara Omak mulai gemetar. Ia menarik napas panjang dan menepuk pundak Atan.

“Omak kerja di rumah Tuan Tanah mulai besok. Jadi untuk biaya jajan kau tak usah risau.”

“Atan nak sekolah tapi tidak di sana.”

“Hanya itu sekolah yang bagus di kampung kita, Nak! Setidaknya selepas SMA kau bisa mencari kerja kemana saja kau mau.”

“Apa itu menjamin, Mak? Lalu kenapa pulak ladang kita mesti dijual? Apa Tek Yung dan Omak berdusta pada Atan? Aku tidak bodoh. Omak sendiri yang bilang tidak ada yang gratis di dunia ini.” Atan setengah berteriak. Ia duduk di hadapan Omak dan memandangi kertas ijazahnya.

“Apa yang kau cakap ni? Siapa yang berdusta?”

“Tadi aku menemui bapaknya Harun. Mereka harus bayar uang masuk lima juta dan biaya perbulan ratusan ribu. Itu namanya tak gratis, Mak. Bapak Harun yang bilang kalau ladang Omak sudah dijual kepada Tuan Tanah.  Kenapa Tek Yung dan Omak membohongi Atan?”

Omak tertunduk lemas. “Jika tak begitu kau bersikeras tak nak sekolah karena kasihan pada Omakmu ini.”

“Orang kata negeri kita kaya, Mak. Apa kita harus macam ni susahnya sekolah?”

“Negeri kita yang kaya, tapi kita tidak, Nak. Berhentilah mengkhayal. Di manapun tak akan ada yang peduli nasib orang susah macam kita ini.”

“Atan harus benar-benar mencari sekolah yang gratis. Atan rela hanya punya ijazah SMP, Mak! Dari pada Omak bersusah payah macam ni. Kalau ladang tu dijual kita makan darimana, Mak?”

“Kalau kau memikirkan Omak, kau hanya perlu duduk dan belajar di sekolah. Jika kau berhasil kau baru bisa bantu Omak.” Omak Atan berdiri mendekap surat di dadanya. “Tidurlah, besok kau harus pergi ukur baju ke sekolah.”

Atan diam saja dan Omak masuk ke dalam kamar. Bunyi jangkrik bersahutan dari luar jendela. Atan terkesiap, ia menyadari kalau hendak mencapai sesuatu ia harus mengorbankan hal lain pula. Atan memandangi jendela yang berderit-derit karena angin dan kemudian hening sekali lalu gelap gulita.

Selesai.

***

هراڤن اتن

اتن ترباڠون كتيك سوارا تق يوڠ منجريت د لوار كامر. دڠن راس كتركجوتنڽ، اتن ملومڤت داري تمڤت تيدور دان مڽيبق ڤينتو كايو دڠن منيمبولكن دريت يڠ ڤنجڠ، ديليهتڽ تق يوڠ كتاكوتن سبب سئكور تيكوس يڠ ترجبق د اتس كرتس يڠ ديلوموري لم اوله اتن تادي مالم. اتن تروج سكجڤ كارن ڤرڠكڤ يڠ إي بوات سمالم برجاي. إي مڠمبيل كرتس دان تيكوس إتو لالو مماسوككن ك كنتوڠ ڤلستيك دان مڠڬنتوڠكنڽ د دينديڠ لوار رومه اونتوق اومڤن اولر د لادڠ ساويت ميليك ڤق لوڠ ننتي

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini