Riausastra.comProvinsi Risau merupakan himpunan karya sastra berbentuk puisi dan cerpen yang terikat kuat dengan budayanya. Kehadiran karya sastra ini tersusun atas tanda-tanda yang bermakna dan tidak dapat dipungkiri bahwa Buku Provinsi Risau terikat dengan lingkungan sosialnya. Teeuw (1980:11) menyampaikan bahwa karya sastra merupakan struktur tanda-tanda bermakna. Dia tidak lahir dari kekosongan budaya.

Provinsi Risau lahir dari buah pikir seorang pengarang bernama Donal Devi Amdanata dengan melalui proses kreatif yang panjang. Pengarang merupakan masyarakat Riau sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa karya-karyanya pada buku ini merupakan cermin kehidupan masyarakat setempat. Damono (1978) menegaskan bahwa karya sastra menampilkan gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri merupakan realitas sosial.

Terdapat satu kata menarik yang menjadi bagian tidak terlepaskan dari konteks sosial kehidupan pengarang dan masyarakat dalam kumpulan puisi dan cerpen dalam Provinsi Risau. Kata tersebut adalah “risau”. Secara definisi, “risau” berarti gelisah, rusuh hati: hatinya merasa bercampur cemas. Dalam hal ini, timbul pertanyaan bahwa (1) siapa yang risau?; (2) mengapa risau?; dan bagaimana makna risau pada Buku Provinsi Risau?

Pengarang dan Masyarakat Risau

Pengarang Buku Provinsi Risau memiliki latar belakang seorang Akuntan dengan jenjang pendidikan doktoral. Keseharian pengarang bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta. Secara konteks sosial, mata pencaharian pengarang tidak linear dengan kemampuannya meramu karya imajinatif. Akan tetapi, lahir dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat Melayu serantau, menjadikan pengarang memiliki kesadaran mencipta dan terdapat kepuasan batin ketika menulis karya-karya sastra. Fenomena sosial menggelitik perasaan pengarang untuk ikut risau melihat cermin kehidupan masyarakat yang juga tengah merasa risau. Atas dasar itu, pengarang menuangkan ide menjadi sebuah Buku Provinsi Risau.

Alasan Risau

Munculnya risau dalam diri pengarang melihat kerisauan masyarakat menjadikan pengarang ingin memberikan solusi lewat buah pikir yang disajikannya dalam Buku Provinsi Risau. Sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki prinsip adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, pengarang sepertinya mencoba memberikan solusi lewat karya agar dirinya dan masyarakat tidak lagi dirundung risau berkepanjangan.

Makna Risau

Buku Provinsi Risau terdapat delapan belas puisi dan tujuh cerpen. Keseluruhan karya mengandung kerisauan yang disajikan dalam diksi yang menarik dan estetis sehingga ditemukan berbagai makna risau, seperti: tanggung jawab, kesantunan berbahasa, kritik sosial, etika menjaga ekologi, cermin feminisme, bingkai amarah, refleksi cinta, dan kejutan tak terduga.

Risau pada kumpulan puisi dan cerpen dalam Buku Provinsi Risau karya Donal Devi, sesungguhnya menyuarakan arti sebuah tanggung jawab besar. Penulis memiliki rasa tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual yang harus diekspresikan melalui bahasa berkias sebagai wujud kepedulian pada semesta. Risau dalam makna tanggung jawab ini sejalan dengan prinsip Melayu jati seperti dalam Tunjuk Ajar Melayu (Al Azhar, 2008:24) yang berbunyi:

Apa tanda Melayu terbilang
Bertanggung jawab muka belakang
Apa tanda Melayu terbilang
Melepaskan tanggung jawab ia pantang

Risau juga bermakna sebagai kesantunan berbahasa dengan penggunaan bahasa berkias berupa gaya bahasa. Sudah pasti bahasa berkias menunjukkan kualitas karya sastra itu sendiri. Adanya bahasa berkias menghidupkan imaji atau citraan (relasi antara pikiran dan perasaan) dan mengantarkan pembaca pada pesan dan pengalaman indrawi. Pradopo (1991:79) menyebutkan bahwa imaji adalah gambaran angan yang jelas untuk menimbulkan suasana yang khusus.  Bahasa berkias di dalam kumpulan puisi dan cerpen Provinsi Risau secara utuh menciptakan ketidaklangsungan ekspresi pengarang. Hal ini dapat dilihat pada susunan kata-kata berkias dalam bentuk paradoks,  berikut ini:

Manakan aku tahu manisnya tebu,
Kalau kau selalu saja memberiku empedu
Manakan aku tahu merdunya kicauan burung,
Kalau kau selalu saja berkata murung

(Amdanata, 2020, “Entahkan Tahu Entahkan Tidak”)

Selanjutnya, terdapat kata berkias berupa gaya bahasa personifikasi. Pada kutipan di bawah ini, pengarang menunjukkan bahwa hujan menyerupai aktivitas manusia, yaitu kemampuan menangis.

Akhirnya hujan itu pun turun, aku tak jadi menitikkan air mata, sepertinya alam pun tahu kesengsaraan yang dialami olehku, sehingga mereka menggantikan aku untuk menangis. (Amdanata, 2005, “Dua Muka”).

Terdapat juga gaya bahasa hiperbola, yaitu ungkapan yang melebih-lebihkan makna. Hal ini terdapat pada kutipan berikut:

Klik. Aku menekan tombol merah, aku menamatkan panggilan. Rasanya aku sekarang sedang menari di awan. (Amdanata, 2005, Akhir tanpa Awal)

Risau adalah kritik sosial. Melalui buku Provinsi Risau, pengarang memberikan cerminan masyarakat yang tertinggal secara pendidikan dan ekonomi, biasanya dipandang dengan sebelah mata. Seperti halnya tokoh aku pada cerita “Malam Pertama” yang dijadikan sebagai “tumbal” agar menjaga “muka” orang terpandang yang merupakan Ongah-nya sendiri.

Pernikahan berlangsung di rumah Ongah, di ibukota propinsi, jauh dari tempat aku biasa menarik becak, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aku tak sempat sekolah sampai SMA, keadaan yang susah yang membuat aku memilih kerja ini, mana ada perusahaan yang mau menerima aku yang hanya tamat SMP, walaupun itu perusahaan berada di lingkungan kabupaten. Biarpun Ongah-ku orang yang berada, tapi keluarga kami tak pernah mau ia bantu, kami pun tak ingin mengemis padanya. Biasalah, kalau hidup sudah senang, saudara pun tak ingat, tetapi kalau sudah susah, orang susah pun dimintai tolong. Aku pun baru ini kenal sama keluarga Ongah, sebulan menjelang nikah, nikah pura-pura (Amdanata, 2005,“Malam Pertama”).

Risau adalah etika menjaga ekologi. Kehadiran buku ini menjadi sebuah pengingat bagi masyarakat tentang kondisi alam yang butuh perhatian khusus. Keberlangsungan alam menjadi masa depan kehidupan berkelanjutan. Sebaliknya, kerusakan alam akan membawa petaka bagi seluruh ekosistem. Putra dan Sugiarti (2019:114-115) menyampaikan bahwa dunia modern yang menempatkan rasionalitas pada hierarki lebih tinggi telah melahirkan eksplorasi dan eksploitasi alam, kolonialisasi, perbedaan kelas masyarakat hingga pelabelan-pelabelan terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Sebagai masyarakat dengan kearifan lokal “alam terkembang menjadi guru”, maka pesan risau yang disampaikan pengarang lewat karyanya menjadi petuah bagi masyarakat secara luas bahwa tradisi menundukkan manusia pada alam, sebaliknya, eksploitasi menundukkan alam pada manusia. Pesan ekologi terdapat pada kutipan berikut:

Kau tumbangkan seluruh pepohonan kami
Tidak masalah
Kau keringkan mata air dan rawa kami
Tidak masalah
Kau panggil teman-teman rakusmu menyedot minyak kami
Tidak masalah

(Amdanata, 2005, “Puisi Kemerdekaan Kami”)

Risau adalah cermin ekofeminis. Ketersediaan alam sebagai sumber kekayaan hayati sekaligus sumber mata pencaharian memberikan peran penting bagi kebudayaan masyarakat setempat dan dapat digunakan oleh kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, sebagian masyarakat mulai beranggapan bahwa perempuan harus memiliki penghasilan sendiri dan tidak lagi bergantung seutuhnya kepada alam. Hal ini terjadi karena kebutuhan hidup semakin meningkat, pendidikan mahal, penghasilan suami rendah, sehingga perempuan memilih untuk meninggalkan perannya sebagai ibu untuk memenuhi kebutuhan. Shiva dkk. (1993)  menyoroti upaya gerakan Chipko terkait perusakan hutan. Bagi Chipko, “Gerakan perempuan pedesaan untuk melindungi hutan atau sungai selalu berakar dalam melindungi pertanian mereka. Pertanian bagi perempuan untuk sumber makanan bagi dirinya dan keluarganya.

Adanya ekofeminis terlihat pada tokoh ibu pada cerita “Dua Muka” .  Peran ibu seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Pada realitasnya, ibu pergi ke luar negeri dan bekerja menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Aku jadi teringat ketika Ibu masih di sini, ketika akan turun hujan ia akan berteriak memanggilku untuk mengangkat jemuran. Tapi sekarang aku tak perlu ikut berlomba, Ibuku sudah tiada lagi, ia telah pergi meninggalkan kami dua tahun yang lalu, menjadi TKI di Arab Saudi dan sekarang aku tak tahu kabarnya. Aku pun tak perlu ikut lomba karena aku tak punya pakaian lagi, selain yang ada di badan. (Amdanata, 2005,“Dua Muka”)

Risau yang membingkai amarah lewat kata-kata estetis. Kemarahan sebagai wujud kerisauan mendalam terlihat pada kutipan berikut ini:

“Iya ni, dua orang anak diperkirakan berumur delapan dan lima tahun ditemukan telah tidak bernyawa lagi di emperan masjid yang megah. Penyebab kematian diperkirakan karena kelaparan dan kedinginan. Keduanya saling berpelukan…”.

“Kok berhenti, lanjutlah”.

“Bersambung ke halaman enam belas”.

“Koran tanggal berapa? Kayaknya aku pernah baca”.

“Tanggalnya gak jelas, tapi kayaknya bulan Maret 2005”.

“Ooo….bulan lalu”.

“Ada lagi ni berita bagus, akhirnya Anggota Dewan yang terhormat mengesahkan kenaikan gaji, tunjangan, dan mobil dinas bagi anggota Dewan…”

Risau adalah cinta. Buku Provinsi Risau tidak terlepas dari tema cinta karena cinta adalah bagian dari kehidupan. Cinta menunjukkan keintiman hubungan antara orang tua dengan anak, teman dengan teman, bahkan antara manusia dengan alam. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

Berkasih….. jangan sampai tanpa cinta..

Risau memberikan kejutan-kejutan tidak terduga di akhir cerita. Pada dasarnya, cerita-cerita pendek dalam Buku Provinsi Risau mengangkat persoalan-persoalan yang sangat dekat dengan masyarakat. Konfliknya cukup sederhana. Tentang sekolah, tentang rumah tangga, tentang cinta, tentang alam, dan tentang pekerjaan. Tetapi, penulis bisa mengemas tulisan dengan menantang sehingga pembaca penasaran dengan akhir cerita. Bahkan, selalu ada kejutan-kejutan yang ditunggu-tunggu saat membaca buku ini. Seperti pada kutipan berikut ini:

“Hendak ke mane, Yah?”.

Aku menghentikan langkahku. Tanpa berbalik aku menjawab.

“Zul……….”.

“Zul, ayah nak membakar gedung DPRD”.

(Amdanata, 2005, “Zul Ingin Sekolah”)

Provinsi Risau menjadi sebuah bacaan inspiratif dan kaya akan makna. Karya bertemakan kehidupan sehari-hari tersebut layak dibaca dan bisa diperoleh pesan-pesan moral yang dikandungnya. Pada akhirnya, terjawab sudah bahwa pengarang dan masyarakat memiliki kerisauan dan sebab-sebab kerisauan itu hadir.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini