Riausastra.com – “Aku cemburu pada pantai,” ujar Lautan mengadu pada Angin.
Tubuhnya memancarkan keindahan yang teramat cantik, hingga penghuni daratan berduyun-duyun menikmati terik matahari bersamanya.
Angin yang lembut membelai lautan itu membalas “Kenapa kau masih saja cemburu pada pantai yang diam?” tanyanya.
Lautan semakin memperkuat alunan ombaknya, bila ia membayangkannya selalu saja, Lautan akan merasa cemburu dan kesal secara bersamaan. Perasaan itu selalu saja menggerogotinya, menyuruhnya mengeluarkan tarian ombak yang menghempas kuat ke arah Pantai sebagai bentuk ketidakterimaannya pada kenyataan yang kian hari kian memilukan hatinya.
“Manusia, mereka pilih kasih. Mereka hanya memperdulikan Pantai tanpa memikirkan aku. Padahal, tanpa ombakku yang kugiring perlahan, Pantai hanyalah pinggiran yang merenggut nyawa anak cucu keturunan mereka.” Lautan mencoba menunjukkan ketidakpuasannya pada pilihan manusia. Perasaan amarah yang kian memuncak itu menjadikannya ombak dari Lautan semakin kuat dan membuat makhluk yang sedang dibicarakannya lari ketakutan ke tengah daratan menjauhi bibir Pantai yang biasanya damai lagi sejuk.
Angin sejenak terdiam, menunggu kelanjutan pembicaraan sang raja perairan. Sejujurnya Angin juga kesal dengan manusia. Makhluk yang mempunyai otak namun bagaikan binatang ternak yang enggan menggunakan akal pemberian Tuhan untuk memaksimalkan potensi alam yang ada. Bahkan menurut Angin, binatang ternak lebih baik daripada manusia, ketika akal manusia tidak dipakai, dan nafsu mereka membuncah membuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana ketika mereka menyukai sesama jenis, sedangkan binatang ternak tidak.
“Mereka memperlakukan Pantai dengan semena-mena, bahkan hewan dan tumbuhan di sekitaran Pantaipun juga mereka rusak. Aku tak bisa menerimanya, Aku ingin sekali berhenti mengalunkan ombak ke arah mereka, namun tak bisa sudah tugasku untuk terus beralun baik perlahan maupun bergelora agar mereka dapat berlayar dan menjemput rezeki dari seisi Lautan, berpindah dari pulau yang satu ke pulau lainnya untuk saling bersilaturrahmi. Namun, di Pantai mereka berbuat maksiat dengan terang-terangan. Berbusana sesukanya tanpa memikirkan pantang larang perintah Tuhannya. Aku sangat kesal Angin!” Lagi dan lagi Lautan menghempas ombak yang kian keras ke arah daratan.
Dalam diamnya, Angin setuju dengan apa yang dikatakan Lautan tentang manusia. Manusia memang makhluk hidup yang kemaruk dan perusak, mereka tak bersyukur dengan nikmat yang diberikan Sang Pencipta. Bukan menjaga malah merusaknya. Dan setelah kerusakan kian merata, manusia tidak memiliki inovasi untuk memperbaiki kerusakan itu, malah meninggalkannya seakan tidak pernah terjadi sesuatu apapun, tanpa rasa bersalah sedikitpun di benak mereka.
Lautan kembali melanjutkan curahan hatinya setelah jeda yang teramat lama, mungkin penguasa perairan ini tengah berusaha bijaksana dalam menahan kemarahan dalam dirinya “Di lain sisi, Aku sedih melihat Pantai yang semakin laris dijadikan tempat maksiat itu merusak pandangan mata karena ulah manusia. Kenapa Dunia ini harus dihuni oleh makhluk egois dan arogan layaknya serigala berbulu domba?” Ombak Lautan perlahan kembali tenang.
“Aku tak sanggup menyaksikannya Angin, Kau dan Pantai terkena dampak dari ulah makhluk pembuat kerusakan itu. Sebagai penguasa perairan, Aku menyaksikan semuanya. Ombakku yang bergelora keras ini terhempas ke Pantai dikarenakan begitu banyak sampah yang menyelimutiku. Membuatku kian gerah, kian ternodai. Aku tak bisa menghentikannya.”
“Efek rumah kaca, global warming, pembakaran hutan, pembabatan bakau di pinggir Pantai tanpa usaha reboisasi dan lainnya itu adalah ulah manusia. Mereka sering kali berulah tanpa memikirkan bagaimana Pantai di masa depan nantinya. Abrasi kian mengancam mengikis daratan. Dan Aku kian merendam daratan dan menghabisi anak keturunan mereka tanpa aku sengaja. Bahkan dari efek rumah kaca itu, lapisan es di benua arktik akan berkurang 2,7% per dekade. Hingga menambah volume Lautan di merata tempat. Ulah mereka, menjadikan aku dipandang buas oleh anak keturunan mereka.” Lautan sesekali menghempas keras ke bibir pantai untuk meredakan amarahnya.
“Angin, bukan cuma Pantai yang terkena dampaknya. Kau juga akan disalahkan oleh mereka. Suhumu tidak lagi menentramkan, imbas dari menurunnya kelembaban di udara. Padahal itu ulah mereka, si perusak ulung. Asap-asap kendaraan, pembakaran yang tidak ramah lingkungan, cerobong industri yang berkumpul menusuk jantungmu. Udara, tanah, air semuanya ikut tercemar. Aku yakin, manusia juga terkena imbasnya atas perbuatan mereka sendiri. Tetapi, Aku heran dengan makhluk yang memiliki akal tapi tak menggunakan akal itu, kenapa mereka tetap mengulangi kegiatan pengrusakan alam berulang kali tanpa henti, padahal mereka tahu akibat yang mereka rasakan nantinya? tanya Lautan dan tentunya tak mendapat balasan dari Angin yang sedari tadi mendengarkan dengan cermat.
Segerombolan awan hitam mengganggu tatapan Lautan ke Pantai. “Sudah waktunya kita bersenandung Angin. Terimakasih telah bersedia dengan setia mendengar caci makiku tentang manusia. Mari kita menari di antara badai gelap gulita berpetir ini Angin.” Lautanpun kian bersemangat dalam tarian ombaknya bersama Angin yang kian dingin mengusik kehangatan pelayar di Lautan.
Angin tetap membersamai Lautan dengan tarian ombaknya yang kian kembali tenang. Namun, setelah mengingat curahan hati Lautan tentang Manusia, Angin tak bisa lagi menahan amarahnya. Seketika tumbuhan sekitar Pantai pontang panting diterpa badai. Menerbangkan atap-atap daun milik manusia yang bermukim di sana. Merusak apa yang bisa dirusak dengan mudah. Menghadirkan rasa takut di hati anak cucu keturunan manusia.
“Lautan, Aku juga merasakan hal serupa denganmu. Bedanya, Kau menghardik keegoisan mereka dengan ombakmu yang keras sebatas bibir pantai saja. Sedangkan, Aku akan menghempaskan badaiku hingga ke daratan luas tempat mereka tinggal. Badai bisa membuat pemukiman mereka rusak parah. Tanpa kita sadari, kita memiliki kemampuan membalas mereka. Namun tanpa air, manusia, hewan dan tumbuhan akan kesulitan hidup. Begitupun dengan luasnya air yang bernaung di bawah singgasanamu. Tanpa air lautan, awan tidak akan terbentuk, hujan tidak akan turun, dan mereka di daratan tidak akan menemukan setitis airpun untuk mengusir dahaga dan meredam terik. Tanpa air, mereka semua akan sengsara dan mati.”
“Setiap hal pasti ada dampak dan manfaatnya masing-masing. Tanpa Lautan, manusia akan kesulitan menemukan kebutuhan mereka akan nutrisi dan air bersih. Tapi, makhluk egois itu seringkali menyalahkan Lautan juga ombak yang kian mengganas yang menimpa daratan mereka. Mereka tidak berpikir bahwa setiap hal pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,” Angin berkata panjang lebar membalas curahan hati Lautan tadi, tanpa peduli sedikitpun bahwa Lautan telah tertidur pulas dengan tenang.
Angin tetap berhempus sepoi-sepoi sambil berujar “Aku bosan dengan cuaca dan suhu udara yang kian memanas belakangan ini. Saat siang aku mulai gerah, begitupun ketika malam berulang. Sampai kapan dunia ini mengalami cuaca ekstrim seperti ini, Lautan?”
Angin pasti bisa menebak cuaca yang terjadi di daratan dan perairan, sangat mudah baginya untuk menebak itu semua. Terik matahari dibersamai efek rumah kaca menjadikan Lautan bergemuruh, penguapan melebihi batas biasanya. Siklus terjadinya hujan seakan tidak pernah absen. Evaporasi, Kondensasi, Transpirasi, juga Presipitasi setiap harinya selalu hadir. Namun dengan batas ekstrim yang membuat kacau balau.
Setelah puas meluapkan emosinya, Angin memanggil Lautan menyuruhnya untuk segera menari indah karena sebentar lagi Matahari akan bertukar posisi dengan Bulan. Manusia akan kembali berlayar ke Lautan menemukan rezeki titipan Tuhan, mulai dari ikan yang beraneka ragam, hingga hasil Lautan lainnya berupa sumber makanan mewah, mahal dan langka. Langit sekarang berwarna jingga bercampur merah pertanda senja telah tiba. Mereka yang sejak sore duduk santai di pinggir Pantai sejenak melihat sunset dan kembali ke daratan menuju peraduan yang damai.
“Hi, Pantai! Kita akan berjumpa lagi di lain kesempatan,” Sapa Lautan. Meskipun Lautan dan Angin selalu bersama, datang dan pergi bersama, Pantai tetap saja bisa mendengar kehadiran mereka baik siang maupun malam.
“Aku baik-baik saja, terimakasih karena telah menjadi teman yang selalu ada untukku, walaupun Manusia memperlakukanku dengan semena-mena tanpa aku mampu membalasnya.” Ujar Pantai meredakan kesedihannya selama ini.
Angin dan Lautan malas mendengar jawaban dari Pantai yang selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja padahal nyatanya kondisinya tidak sedang baik-baik saja. “Berhenti bilang bahwa Kau baik-baik saja Pantai! Kami tahu Kau tidak dalam kondisi selayaknya, jadi tak ada gunanya membohongi Kami.”
“Aku tahu Kalian marah atas perbuatan yang telah diperbuat Manusia. Tapi, Aku senang bisa menjadi tempat yang paling mereka cari ketika mereka memiliki waktu senggang, walau sejenak bersantai melepas lelah bekerja. Jangan khawatir kan Aku. Aku bahagia bisa bermanfaat bagi makhluk lain.” Pantai tersenyum tulus. Angin tak paham dengan maksud kata ‘Bahagia” yang dituturkan Pantai. “Apa maksud kata Bahagia yang Kau tuturkan itu Pantai?” Ia bertanya.
Pantai tetap tersenyum “Bahagia itu sederhana, kalimat itu sering dilontarkan oleh para manusia. Memang benar bahwa Bahagia itu sederhana. Kita bisa menemukan kebahagiaan itu sendiri tanpa perlu meniru bahagia yang lain. Seperti bulan yang bisa bahagia dengan cahayanya sendiri walaupun berada di tengah gelap gulitanya malam. Seperti akar yang bahagia memberi manfaat bagi tumbuhan hidup walaupun ia tersembunyi dalam tanah, begitupun karang laut yang tetap bahagia dihantam ombak berkali-kali tanpa henti. Sedangkan Aku tetap bahagia meski dirusak terus menerus. Sedangkan kalian, Aku yakin kalianpun bisa menikmati makna bahagia versi terbaik kalian. Berbahagialah.”
“Lautan, Kau tetap bahagia meski harus tetap menari dalam tarian ombak dikala makhluk hidup masih di alam mimpi. Semua perkataan yang Kau ucapkan tadi hanya bentuk kekesalanmu pada Manusia. Angin, Kau bahagia walaupun hanya bisa mengitari dunia semau yang engkau mampu, berpindah dari Lautan ke Daratan maupun sebaliknya.”
“Sejujurnya Aku juga kesal dengan tingkah manusia. Aku juga marah seperti yang kalian rasa saat ini. Tapi Aku sadar bahwa Manusia ada beragam-ragam sifatnya. Tidak semua Manusia melakukan perbuatan merusak, ada yang malah berusaha memperbaiki alam seperti sediakala walau terasa sangat sulit. Maafkanlah mereka itu. Ikhlaskanlah karena tidak ada gunanya kita menyimpan dendam. Biarkan saja Tuhan yang memberi mereka balasan yang setimpal atas perbuatan buruk mereka,” sambungnya seperti biasa diakhiri dengan senyuman tulus.
Lautan juga Angin sama-sama merenung, memikirkan semua perkataan Pantai. Mereka akui bahwa semua yang diucapkan Pantai ada benarnya. Mereka tenggelam dalam lamunan hingga tak sadar bumi semakin gelap saja.
“Benar yang Kau katakan Pantai. Aku melupakan hal itu, Terimakasih telah mengingatkan hal penting ini kembali. Aku salut denganmu Pantai, walaupun keperawananmu telah dirusak oleh mereka, Kau tetap bisa tersenyum dan memberikan manfaat bagi makhluk yang sudah merusakmu. Aku juga kagum denganmu Angin, Kau tetap tegar meski Kau selalu disalahkan. Sampai jumpa kembali, Kawan!” Lautanpun kembali menari ombak menjauhi daratan.