Riausastra.com – Apakah makna mencintai? Yesa, teman yang aku cintai sejak bangku Sekolah Menengah Atas, selalu marah mendengar jawabanku : Mencintai adalah bahasa sepi yang sayup bersenandung di ruang gelap hatiku ketika bersamamu. Yang selalu aku sediakan selamanya, kapanpun dan dimanapun Kau membutuhkan sandaran dan pelindung.
Yesa, pribadi periang dan penyayang. Namun obsesinya pada pria tampan, taat, dan cerdas, menjadikan aku tersingkir kian jauh. Tidakkah ia merasakan cintaku padanya kian bertumbuh hingga menyesakkan asaku? Namun, kekesalanku padanya tak sedikitpun mengurangi gemuruh cinta kasihku padanya.
***
Wajah ayu bermata coklat abu-abu mengalihkan pandangan mataku padanya. Seorang gadis keturunan melayu jawa, dengan senyumnya yang khas lagi sejuk. Tuhan, sungguh hatiku luluh dengan senyuman indah itu. Andai mampu kupeluk ia sejenak, alangkah dunia dan seisinya sudah tak lagi menarik perhatianku.
Sekolah Menengah Atas, baju putih abu-abu, dunia terindah sepanjang usiaku. Hari masih sejuk pagi itu. Jam merunduk menunjuk angka 6 dan 3. Sudah saatnya kulangkahkan kakiku ke Sekolah. Dengan semangat, dengan penuh harap ia akan menatapku dengan cinta. Tak lupa kupakaikan dasi abu-abu sedikit longgar dihadapannya. Berharap ia akan membenahi dasiku dengan tatap sejuk dan senyum termanisnya. Sungguh inilah yang sengaja aku lakukan setiap berangkat ke sekolah.
“Semangat pagi Yesa.” sapaku dengan senyum terhangat.
“Semangat! Lah, kuq dasimu berantakan begini terus setiap hari, Dip. Sengaja ya.”
“Kagak! Sumpah. Aku emang gak pandai masang dasi loh Sa. Apa kegiatan kita sore ini? Jalan yuk.”
“Maaf ya Dip, aku sibuk. Ada beberapa tugas kelompok yang belum aku kerjakan. Kelompok kami ngumpul nanti di Perpustakaan Daerah. Yuk ikut aku.”
“Okey. Perlu kubelikan cemilan gak?”
“Gak, aku bawa cemilan juga ini.”
Walaupun ia begitu sibuk, namun satu hal yang selalu menyejukkan hariku adalah ketika ia tidak pernah lupa mengajak aku menemaninya menyelesaikan tugas sekolah di Perpustakaan Daerah. Padahal akupun ada jadwal mengerjakan tugas yang sama juga bersama kelompokku di sana.
***
Sepulang sekolah, kami bergegas ke kantin untuk makan siang. Sudah kupesankan makanan kesukaannya. Nasi goreng pedas, telur setengah matang dan segelas teh es manis.
“Thank you boy. Tahu aja makanan kesukaan aku. Siapa ni yang bayar? Aku aja ya.”
“Boleh… Boleh… Sekalian ya bon yang kemarin.” Ucapku santai.
“Apa? Bon? Jadi makan kemarin kamu gak bayar? Bikin malu aja” Iapun berlalu membayar semua bon jajanan pekanan kami.
Tidak ada perhitungan dalam kedekatan kami selama ini. Namun, baginya aku hanya sebatas teman biasa. Tatap wajahnya selalu tertuju pada lelaki tampan, taat dan cerdas di sekolah kami. Walaupun ia sering bertepuk sebelah tangan. Karena yang Tampan, Taat dan Cerdas seringnya mencari yang sekufu dengannya. Sedangkan Yesa, selalu dituding bukan perempuan baik-baik karena bergaul denganku.
Aku hanya mampu terdiam, menyudahi kesedihannya ketika lelaki yang ia suka sejak lama mengabaikannya. Bersamaku, dalam isak tangis haru yang sungguh turut menyiksa batinku, kusadarkan dia akan kenyataan yang aku juga memiliki rasa selama berteman dengannya “Sa, kenapa sih kamu gak ngerti perasaan aku ke kamu.” Sesalku makin memuncak karena ia tak peka akan perasaanku padanya.
“Adip, aku tu gak pernah punya feel ke kamu. Aku tu cuma anggap kamu teman biasa, Dip. Bukan teman rasa. Maaf, Dip. Aku gak bisa memiliki rasa lebih ke kamu.” Yesapun berlalu menyendiri di sudut Kantin menunggu rekan lain berkumpul.
“Okey, Maaf. Aku khilaf.” Ucapku sesak untuk mencairkan suasana.
***
Waktu berlalu sebagaimana biasanya. Ketika lulus sekolah, kamipun putus komunikasi. Ia ke Pekanbaru, sedangkan aku di kirim Ayah kuliah di Sumatera Barat. Tiap libur semester, aku selalu berharap dia pulang. Namun, tahun berganti tak ada lagi kabar darinya, apalagi ia dan seluruh keluarganya juga pindah dari kota Selatpanjang. Ingin aku susul ia ke Pekanbaru, namun jejaknya hilang tak berbekas.
Di suatu ketika aku diajak berkumpul di reuni SMA via Grup Whatsapp. Satu dari ratusan teman yang berkumpul, mengalihkan fokusku seketika itu. “Yesa”. Namanya berada di list terakhir anggota grup Alumni. Dengan berat hati karena rindu, kuberanikan diri menjapri nomornya.
“Ini Yesa?” Jemariku mengetik, jantungku berdebar tak tentu arah.
“Ya, dengan siapa ya?” Balasnya dengan emoticon bingung
“Aku, Adip. Ingat?”
“Adip, sahabat aku yang gak pernah rapi dasinya itu?”
Dalam sekejap tawa kami pecah, mengingat masa lalu. Itulah hari yang begitu bahagia untukku setelah menemukan kembali dia yang telah lama menghilang tanpa kabar.
***
Perkuliahan yang kurasa panjang itu akhirnya selesai sudah. Tak lupa kami berbagi kebahagiaan suasana wisuda di grup Alumni SMA. Kuberharap ucapan semangat darinya yang khas. Namun, disaat aku lulus kuliah justru di waktu bersamaan ia menyebar undangan pernikahannya di grup whatsapp.
Itulah hari dimana harapku berkecai dan tangisku berderai. Belum lagi kusambut ia dengan kelulusanku yang dibanggakan banyak orang, cumlaude. Ia telah makin jauh meninggalkanku dalam dunia barunya.
“Dip, pekan depan aku menikah di Pekanbaru. Datang ya.” Japrian ringkas kubaca di chat whatsappku.
“Semoga kamu berbahagia ya, Sa. Akupun turut bahagia. Aku usahakan hadir ya.” Tidakkah kamu tahu, Sa, betapa aku hancur mendengar berita bahagiamu. Padahal aku telah menaruh harap yang banyak padamu.
Pernikahannya pun berlangsung syahdu. Kududuk termenung di pojok suasana pesta, menatap tawa bahagianya bersama lelaki idamannya, yang tampan, taat dan cerdas. Sungguh apa yang tidak aku punya, telah ia temukan selama ia berpisah jauh dariku.
Pada momen bahagia itu, ia mendekatiku. Turun dari kursi pelaminan, datang tersenyum mendekatiku. Tanpa aku duga, ia datang hanya untuk merapikan dasiku lagi dan lagi.
“Kamu gak berubah ya. Masih saja senang memakai dasi dalam kondisi tidak rapi begini. Kamu tahu gak, kamu itu teman terbaik yang aku punya. Semoga kamu bertemu jodohmu yang lebih perhatian dari aku. Yang terpenting, itu cewek harus bisa merapikan dasimu.”
Tidak kusangka, hari itu aku melihat air matanya jatuh. Entah itu tangis bahagia, entah itu tangis duka.
Hatiku begitu terpukul melihat air matanya. “Sa, andai kau tahu rasanya jadi aku. Aku lebih terpukul, hancur, melihat kau menikahi lelaki pilihanmu. Kenapa kamu tidak memilihku?” ucapku dalam hati.
Bagaimanapun luka ini aku rasakan dalam diam. Kehidupan harus berlanjut. Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Selatpanjang, Kota kenangan masa muda kami. Mengambil pekerjaan di perkantoran di sana, dan selalu berharap cintaku kembali padaku dalam keadaan apapun. Aku tak memiliki apapun yang ia kehendaki, tapi aku memiliki do’a yang dengan sabar aku panjatkan agar ia kembali padaku.
***
Di suatu sore, sepulang kantor, kusempatkan membuka grup Alumni yang sedari tadi mulai menumpuk notifikasi. Sejenak jantungku berdegup kencang membaca berita duka. Yesa dan suaminya mengalami kecelakaan di Pekanbaru. Suaminya meninggal ditempat. Sedangkan Yesa masih koma di Rumah Sakit Pekanbaru.
Bergegas kuberkemas, membawa pakaian seperlunya menuju Pekanbaru lewat jalur darat. Walaupun harus kupacu motor ninjaku menyebrangi pulau-pulau, menyebrangi perbatasan, yang kupikirkan hanya satu, aku harus bertemu Yesa. Sepanjang jalan dadaku terasa amat sesak. Air mata berkali-kali aku seka selama perjalanan. Betapa hati ini takut kehilangan dia yang amat kusayangi sepanjang usiaku.
“Sa, apakah kau mendengarku? Sa, aku datang untukmu. Kembalilah Sa. Demi aku” Tangannya begitu sejuk, wajahnya pucat pasi penuh luka, dan aku hanya mendengar denyut nadinya dalam keheningan ruangan sepi.
“Tuhan, kembalikan dia untukku Tuhan”. Tangisku kian pecah. Betapa rasa kehilangan ini amat menyiksa. Keluarganya pun merangkulku dengan hangat di ruang tunggu, dan berharap Yesa kembali kepada kami dalam keadaan apapun juga.
***
Menanti kabar yang tak kunjung jelas. Setiap akhir pekan, kusempatkan mengunjungi pujaan hatiku. Namun ia tak kunjung sadarkan diri. Betapa keluarga telah begitu lelah. Tak hanya menguras dana yang tidak sedikit. Harapan ia kembalipun kian menipis.
Dengan harapan yang teramat banyak, kupilih harapan terakhir dengan bernazar untuknya. Jika ia sadar kembali, aku akan menemaninya dalam keadaan apapun jika ia mau. Walaupun dokter telah mendiagnosa bahwa ia akan lumpuh dalam waktu yang lama, efek dari benturan benda keras ketika kecelakaan itu terjadi. Namun, itu tidak menyurutkan kasih sayangku padanya. Rasanya tetap sama, dari dulu hingga kapanpun jua.
Silih berganti aku dan keluarganya menunggu ia di Rumah Sakit. Dengan sisa-sisa harapan yang kian melelahkan. Hingga di suatu pagi, ia menggenggam tanganku erat dan sayup memanggil nama suaminya.
“Dimana suamiku?” Ia bertanya dengan air mata yang perlahan tumpah.
Isak tangis kami yang menunggu ia kembalipun pecah berderai. Bagaimana ia akan menghadapi kenyataan bahwa suaminya telah berpulang ke Maha Kuasa.
“Dip, kenapa matamu memerah. Apakah aku terlihat jelek dalam keadaan begini?” Senyum hangat itu merekah di wajah sayunya. Seakan ia ingin mengatakan padaku bahwa ia wanita kuat. Tak sanggup aku melihat keadaannya begitu. Ketika aku dapat merasakan kesedihannya kehilangan pasangan hidup yang selalu ia banggakan. Yang tampan, taat dan cerdas, harus begitu cepat meninggalkannya.
“Sa, kamu kuat, Sa. Kamu masih ada aku, Sa.” Bisikku didekatnya. Air mataku tak mampu aku bendung. Sungguh, ini momen yang teramat haru dalam pertemanan kami.
***
Sore itu pemakaman begitu ramai dikunjungi penziarah. Idul fitri telah di depan mata. Kutemani ia dengan kursi rodanya mengunjungi makam suaminya. Setelah beberapa tahun ia harus berjuang mengobati kelumpuhan kakinya pasca kecelakaan maut itu.
“Kamu yang kuat ya, Sa. Ini takdir Tuhan untukmu.” kulihat dia menangis haru mengunjungi makam suaminya untuk pertama kali.
“Aku tidak menyesali takdirku, Dip. Aku hanya ingin menghapus rinduku padanya sejenak.” Begitu deras tangisannya pecah. Kutinggalkan ia sejenak, agar ia punya momen bersama pusara suaminya.
Tidak ada yang membahagiakan aku dan keluarganya selain kembalinya ia membersamai kami di dunia ini. Walaupun baginya aku hanyalah sahabat, bukan pasangan yang selalu ia dambakan. Lelaki tampan, taat dan cerdas. Karena ia telah memilih, menjadi pelabuhan terakhir bersama satu lelaki seumur hidupnya. Pasangan dunia akhirat untuk suaminya tercinta.
Selatpanjang, Riau, Agustus 2022