Riausastra.com – Baru lewat tengah hari ketika Sumi harus mengakhiri pekerjaannya di tengah kota. Seorang tetangganya menelepon dan mengabarkan kalau Romi, anak semata wayangnya, tengah berada di puskesmas. Anaknya yang duduk di kelas 3 SD itu, pingsan di tengah jalan sepulang sekolah. Sang anak memang telah siuman dan membaik, tetapi Sumi tetap ingin menjumpainya segera, meski ia harus melewatkan kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak.
Cepat-cepat, Sumi meninggalkan perempatan jalan raya dan melangkah ke dalam toilet SPBU. Ia lantas melucuti dasternya yang kumal, kemudian menggantinya dengan setelan karyawan kantoran. Ia lalu membasuh wajahnya yang lusuh dan mengenakan riasan secukupnya. Setelah beres, ia pun bergegas keluar dan lekas menumpang angkot.
Sepanjang perjalanan, Sumi pun memikir-mikirkan penyebab anaknya yang tampak sehat itu, tiba-tiba jatuh pingsan. Pagi tadi, anaknya itu memang tidak sarapan karena Sumi bangun kesiangan dan tidak sempat menyediakan makanan, sedangkan sang anak terburu-buru ke sekolah sebelum terlambat. Tetapi Sumi telah membekalinya dengan uang jajan yang banyak.
Sumi lantas memikirkan dugaan lain yang menyebabkan anaknya kehilangan tenaga. Ia lalu menaksir kalau sang anak mungkin tidak berbelanja untuk melepas lapar dan dahaganya. Barangkali sang anak kehilangan uangnya, sehingga ia tak punya ongkos untuk mengisi perutnya. Atau bisa jadi, sang anak menghabiskan uangnya bukan untuk membeli makanan atau minuman, tetapi untuk hal yang lain.
Namun sesaat kemudian, Sumi mulai berpikir macam-macam. Ia khawatir kalau ada permasalahan serius pada kesehatan anaknya. Ia khawatir kalau sang anak mengidap penyakit yang bisa berakibat fatal, sebagaimana penyakit jantung bawaan yang merenggut nyawa suaminya empat tahun yang lalu. Jikalau begitu, ia akan mengambil tindakan antisipatif agar sang anak terhindar dari bahaya, meski ia harus menanggung biaya yang besar.
Tentu Sumi tak akan sanggup kehilangan anaknya. Apalagi, hanya sang anak yang menjadi teman hidupnya di tempat yang jauh dari keberadaan keluarga besarnya di pulau seberang. Itu terjadi karena pernikahannya dahulu, tidak direstui orang tuanya, sehingga ia dan sang suami kawin lari. Di kota perantauan, mereka pun membangun keluarga dengan bergantung pada penghasilan sang suami sebagai karyawan toko bahan bangunan. Namun setelah sang suami tiada, ia terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi sang anak.
Tetapi untuk sementara waktu, Sumi tak ingin memvonis dugaannya sendiri. Ia tetap berusaha berpikiran positif kalau anaknya mungkin hanya kelelahan mengikuti kegiatan sekolah. Barangkali, tenaga sang anak terkuras cepat karena ia mengikuti upacara bendera pada hari Senin yang terik. Apalagi, tenaga sang anak akan makin terperas karena ia mesti berjalan kaki sekitar dua kilometer untuk pergi dan pulang sekolah.
Setelah sekian lama, Sumi pun tiba di puskesmas. Dengan penuh kecemasan, ia bergegas menghampiri anaknya di dalam bilik perawatan. Dan seketika, ia menjadi tenang setelah menyaksikan kalau keadaan sang anak terlihat sudah baik-baik saja dan hanya tampak sedikit lesu. Ia pun makin tenang setelah seorang perawat menjelaskan kalau sang anak semaput hanya karena kehabisan tenaga akibat lapar dan haus.
Akhirnya, setelah menyelesaikan persoalan administrasi dan pembayaran untuk sejumlah obat karena mereka tak turut asuransi kesehatan, Sumi pun mengiringi sang anak pulang ke rumah mereka. Di tengah perjalanan, ia tak lupa membeli nasi kotak dengan lauk ayam goreng kesukaan sang anak, beserta jus buah dan es krim. Dengan hidangan tersebut, ia berharap sang anak benar-benar bugar kembali.
Sesampainya di rumah, Sumi dan anaknya lantas duduk di meja makan. Sang anak kemudian menyantap hidangan dengan lahap. Dan setelah sang anak kenyang, Sumi pun merasa sudah waktunya untuk menyelisik perihal apa yang menyebabkan sang anak kehilangan tenaga dan jatuh pingsan. Ia ingin memastikan bahwa sang anak tidak akan mengalami kejadian serupa.
“Kok bisa kamu kelaparan sampai pingsan, Nak? Mama kan sudah kasih kamu uang jajan. Kamu tidak membelanjakannya?” tanya Sumi.
Dengan raut segan, Romi mengangguk kecil.
“Kenapa?” sidik Sumi.
Romi membisu.
Merasa cemas melihat kebungkaman sang anak, Sumi pun membujuk sambil mengusap-usap punggungnya, “Jujurlah kepada Mama, Nak. Ceritakan apa yang terjadi. Uang kamu hilang? Atau, kamu dipalak orang?”
Lekas, Romi menggeleng keras. “Tidak, Ma. Bukan karena itu.”
“Terus?” sergah Sumi.
Romi mengembuskan napas yang panjang, lalu bercerita, “Tadi pagi, saat aku ke sekolah, aku kasihan melihat seorang laki-laki di pingir jalan, Ma. Kakinya buntung. Ia hanya duduk di atas kotak beroda. Ia mengaku belum makan sejak kemarin. Jadi, aku kasihkan uang jajanku kepadanya.”
Seketika, Sumi tersentak. Ia jelas tak pernah menyangka kalau itu akan terjadi, bahwa anaknya akan memperturut rasa kasihannya di hadapan pengemis. “Nak, kalau ada pengemis atau peminta-minta seperti itu, tak usah engkau kasihani, apalagi sampai kau beri uang.”
Sibakan Mata Romi pun melebar. Ia tampak heran atas pengajaran baru ibunya. “Kenapa begitu, Ma? Bukankah dahulu Mama bilang kalau membantu orang yang membutuhkan adalah perbuatan yang baik?”
Sumi pun mendengkus. “Tetapi tidak semua pengemis benar-benar orang yang membutuhkan bantuan, Nak,” tuturnya, seiring rasa bersalahnya.
“Lah, bukannya orang mengemis karena mereka memang butuh bantuan?” tanya Romi, bingung.
“Tidak semua, Nak!” tegas Sumi, setengah tega. “Banyak juga orang yang pura-pura jadi pengemis, padahal mereka punya banyak uang. Mereka hanya menipu dengan menggugah rasa kasihan orang lain.”
“Lah, kok begitu, Ma?” selisik Romi, heran.
“Ya, memang begitu, Nak. Tetapi kau memang masih kecil dan belum paham soal itu. Kau masih lugu dan mudah dibohongi. Kau belum bisa membedakan antara pengemis dan penipu,” tanggap Sumi, sembari berharap sang anak membenarkan saja penuturannya.
Romi merenung-renung, seperti masih tak habis pikir.
“Besok-besok, kalau kau melihat pengemis atau gelandangan, tak usah engkau kasih uang lagi, ya, Nak!” pinta Sumi.
Romi mengangguk saja.
Akhirnya, Sumi merasa tenang.
Sesaat kemudian, Sumi lantas menoleh pada jam dinding. Sudah hampir sore. Malam menjelang, dan besok hari libur. Jalan raya akan ramai. Ia pun berencana untuk kembali ke medan kerjanya, di perempatan jalan, di tengah kota. Di sana, ia akan kembali memelas dengan wajah kusut dan daster lusuhnya, agar orang-orang kasihan dan mengisi celengannya dengan uang.
“Nak, sore ini sampai malam nanti, Mama ada jam kerja di mal. Kau tak kenapa-kenapa kalau aku tinggal pergi, kan?” tanya Sumi, seolah meminta izin.
Romi mengangguk tegas.
Sumi pun senang.***