Riausastra.com – “Ibu ….”
Bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah dasar pulang dengan isakan tangis dan langsung menghadap Ibunya.
Sang Ibu—Ratih, mendekati putranya. Ia menekuk lutut menyejajari tinggi badan bocah laki-laki itu.
“Kenapa, Nak?” tanyanya dengan lembut, ia memegang kedua bahu putranya yang baru duduk di kelas satu sekolah dasar.
“Kenapa Kakak selalu bilang kalau Rama bukan adiknya, Bu?” ucap Rama dengan sesenggukan.
Meski sudah sering mendengar pertanyaan yang serupa dari putra bungsunya ini, tak ubah membuat Ratih berkali-kali tertegun dan matanya berkaca-kaca ketika mendengar pertanyaan itu lagi. Selama ini Ratih selalu berusaha memberikan jawaban yang mudah dimengerti oleh putranya. Seperti biasa, Ratih menanggapinya dengan senyuman yang sangat ia upayakan.
Tiba-tiba kedua anak Ratih yang lain, yaitu Rosalina dan Dimas muncul di ambang pintu dengan ransel di punggungnya. Ros membesarkan matanya melihat Rama yang selalu mengadu kepada Ibu mereka. Kakak beradik itu bergeming, keduanya masih di ambang pintu. Ros menatap Rama yang bersembunyi di balik tubuh Ratih, tatapannya penuh dengan kebencian.
“Seharusnya yang kamu tanyakan adalah mengapa kamu terlahir ke dunia ini!” seru gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar.
“Keterlaluan kamu, Ros!” bentak Ratih. Ia menatap nanar putri sulungnya, ia sama sekali tidak menduga dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh putrinya. Ratih menggeleng tak percaya, gadis kecil yang belum genap 12 tahun bisa mengucapkan kalimat yang demikian tidak patut.
Ratih segera mendekap Rama yang sedari tadi berlindung di balik tubuhnya dengan ketakutan. Sebenci itukah Ros pada adiknya? Ratih tak kuasa menahan air mata. Kali ini ia biarkan jatuh sembari mendekap putra bungsunya—yang baginya adalah anugerah terbesar di dalam rumah tangga yang ia bangun bersama Bayu.
Ros dan Dimas saling memandang, keduanya tertegun melihat sang Ibu bercucuran air mata.
“Bukankah dahulu Ibu juga tidak menginginkan Rama? Bukankah Ibu dulu pun menangis seperti ini sembari memukul perut besar Ibu? Bukankah Ibu dulu juga sama bencinya kepada Rama seperti halnya aku?” Ros menghujani Ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan fakta dahulu yang pernah ia saksikan.
Ratih mendekap erat-erat tubuh Rama, tampak ia memejamkan kedua matanya sebelum menjawab pertanyaan Ros. Semua pertanyaan Ros membawanya melayang pada peristiwa 7 tahun lalu.
Masih mendekap putranya, Ratih terisak, dadanya sesak, buliran air mata jatuh semakin deras membasahi pipinya.
“Benar, Nak. Dulu Ibu tidak menginginkan Rama, tapi setelahnya kehadiran Rama adalah hal yang sangat Ibu nantikan. Rama adalah anugerah—” kalimatnya terhenti oleh isak tangisnya sendiri.
Setelah memejamkan matanya lagi, Ratih mengulum senyum dengan air mata yang masih mengalir di pippi
“Rama adalah anugerah cinta bagi Ibu dan juga bagi kita semua. Bagi keluarga ini,” ucapnya lembut.
***
“Aku benci! Aku benci!” Ratih meronta-ronta sembari memukul janin di perutnya.
Tanpa sepengetahuan Ratih, Bayu menguntitnya di balik pintu. Melihat Ratih sangat terpukul karena mengandung lagi bayi ketiganya. Tentu sangat disesali olehnya, sebab janin yang saat ini di kandungan Ratih adalah janin yang tidak direncanakan.
“Tapi aku ingin janin itu tetap tumbuh,” desis Bayu yang masih bersembunyi di balik pintu. Usia kandungan Ratih menginjak 4 bulan.
Seiring waktu berjalan, pernikahan yang diawali tanpa dasar cinta ini tak terasa tengah menginjak 7 tahun lamanya. Dan kini telah dikaruniai anak ketiga.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa keduanya menikah karena perjodohan dari orang tuanya. Ratih putri bungsu Witnareja dari lima bersaudara, setelah ibu kandung Ratih wafat, Witnareja menikah dengan wanita bernama Kinanti, seorang janda yang memiliki tiga anak.
Atas nama perdamaian—agar ikatan persaudaraan antara anak-anak Witnareja dan anak-anak Kinanti bisa bersatu dalam satu darah, maka diputuskan untuk menikahkan anak-anak mereka. Perjodohan itu jatuh pada masing-masing anak bungsu, yaitu Ratih dan Bayu.
Perjodohan yang sama sekali tidak bisa ditolak, entah kedamaian seperti apa yang diinginkan oleh kedua orang tuanya sehingga kebahagiaan Ratih dan Bayu dikorbankan. Keduanya pasrah menjalani titah dari orang tuanya. Tidak hanya itu, Witnareja dan Kinanti pun menginginkan keturunan yang di peroleh dari pernikahan putra-putrinya.
Lagi-lagi, mau tak mau Ratih dan Bayu harus menuruti keinginan orang tuanya. Sehingga terjadilah suatu kesepakatan untuk melahirkan dua anak. Setelahnya mereka bebas dari tuntutan apa pun.
Namun, apa yang terjadi kini? Perut Ratih kian membesar karena janin yang tengah tumbuh di dalam perutnya. Bukankah keduanya sepakat untuk tidak akan punya anak lagi?
Setiap hari setelah Ratih menyadari akan benih yang tengah tumbuh di dalam perutnya, ia menangis, meronta dan memukul perutnya seolah benar-benar ingin melenyapkan sesuatu yang sedang tumbuh membesar di rahimnya. Bayu tak tahan menyaksikan Ratih yang setiap hari meronta sedemikian rupa, akhirnya ia memutuskan menemui Witnareja untuk mengadukan permasalahannya.
***
“Witing tresno jalaran soko kulino,” ucap Witnareja setelah mendengar apa yang diceritakan oleh Bayu. Sebuah pepatah dalam Bahasa Jawa yang berarti, “cinta tumbuh karena terbiasa”.
Witnareja tersenyum senang sekaligus merasa lucu atas cerita yang ia dapati dari anak tiri sekaligus menantunya itu. Menurutnya Ratih dan Bayu tidak menyadari bahwa itu adalah bukti dari cinta yang telah tumbuh di antara keduanya.
“Katakanlah pada Ratih bahwa kamu mencintainya. Itu yang dia butuhkan darimu, anakku. Agar ia tak merasa menanggung semuanya sendirian. Sampaikanlah bahwa Bapak pun sangat menanti cucu yang kini dalam kandungannya.” Witnareja tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap Bayu yang kini matanya tengah berbinar bagaikan dijatuhi gugusan bintang.
***
Ratih meringkuk memunggungi Bayu yang berbaring di sebelahnya. Malam sudah mengungkung desa.
Di balik selimut loreng, dalam sebuah kamar dengan lampu yang temaram, Ratih berkali-kali mengerjapkan kedua matanya. Ia tampak begitu gelisah. Tangannya memegangi perut yang kian menggembul.
Ratih terperanjat ketika tangan besar milik Bayu tiba-tiba melingkar melewati pinggangnya, lalu mengusap lembut perut Ratih yang mendadak terasa begitu hangat. Kemudian Ratih merasakan embusan napas yang meniup ceruk lehernya. Seketika ia merasakan jantungnya berdetak tak beraturan. Suara detak jantungnya seperti terdengar begitu nyaring di telinganya.
Ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ratih khawatir Bayu mendengar detak jantungnya yang semakin mengeras. Ia pun bergeser untuk memberi jarak.
Namun, pergerakan Ratih dihalau dengan sigap oleh Bayu, ia tak segan mendekap Ratih agar lebih mendekat lagi dengannya. Lalu Bayu membisik tepat di telinga Ratih, “Kumohon biarkan janin itu tetap tumbuh, janin itu ada karena cinta. Jika kamu mencintaiku juga, tolong biarkan ia lahir ke dunia ini dan hidup di tengah-tengah keluarga kita sebagai anugerah yang selama ini kita nantikan.”
Ratih merasakan darahnya berdesir, jiwanya seketika menghangat setelah mendengar kalimat yang begitu indah menyentuh telinga. Ia merasakan janin itu berdenyut beberapa kali, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang kini bertabur di hati sang Ibu.
***
“Kukira Ibu hanya berpura-pura seperti yang ada di televisi, berpura-pura bahagia dengan adanya adik baru untuk aku dan Dimas.” Ros membuang muka, tangannya dilipat di depan dada.
“Ibu kira anak Ibu yang cantik ini tidak memperhatikan sama sekali, tapi ternyata anak Ibu yang satu ini sangat peduli.” Ratih tersenyum, mencoba menggoda Rosalina yang tampaknya masih malu-malu menerima fakta cerita itu.
Rona merah menjalar di pipi gadis kecil itu. Sang Ibu semakin bahagia karena akhirnya anak-anak mau memahami dan menerima apa yang baru saja ia ceritakan.
Ratih mengambil salah satu tangan Rama dan tangan Dimas, kemudian menarik keduanya ke dalam pelukan. Sengaja Ratih tidak menyertakan Rosalina ke dalam pelukannya, hal itu ia lakukan semata untuk menggoda putri sulungnya.
Ros merasa kesal, dengan malu-malu ia berkata, “Ibu, aku juga ingin dipeluk bersama adikku yang katanya anugerah.”
Ratih sangat gemas melihat ekspresi putri sulungnya, ia mencubit pelan pipi Ros yang sedari tadi merona, lalu menarik Ros ke dalam pelukan. Betapa bahagianya Ratih, memeluk tiga permata yang kini sudah mau menerima satu sama lain. Di balik pintu, Bayu yang baru pulang dari kebun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia tak ingin mengganggu suasana hangat yang sedang berlangsung di dalam keluarga kecilnya. Bayu ikut merasakan hangatnya kebahagiaan yang dirasakan oleh Ratih.