Riak Pasar Kaget
Di atas sana
Wajah petang perlahan menyimpan terang
Sunyi di antara riuh rendah desau angin dan burung-burung yang pulang ke sarang
Sedang di bawah langit yang memerah itu
Ada kemelut merayakan keramaian
Di ambang sore nan kelabu itu
Riak redam gemuruh memanggil dengan gaya masing-masing
“Apo nak cari, Kak?” suara seorang ibu berkalung tas kecil
“Jariang jo jengkol, Diak!! Samo rasonyo!! Indak bali, rugi!! Kamek bana!! Siko, siko!!” teriak seorang bapak berbaju kotak-kotak
Dua tiga perempuan berkerudung menggeleng
Dua tiga perempuan menepi memilih terong ungu dan tomat merah
Dua tiga perempuan berjongkok menunggu ikan patin dibelah banyak
Dua tiga perempuan berjingkat, khawatir kakinya ditelan becek
Dua tiga perempuan…
“Cabe mahal!!!”
“Minyak ndak ingat turun!”
“Makan apa lagi kita ni, Uni?”
“Ndak tontu awak do..!!”
“Lado kutu rebus sama ikan teri, sudah tu kasi petai sikit je. Makanlah pakai nasi panas-panas. Sodap betul. Hahaha”
“Awak bisa, Kak, makan macam tu. Anak awak macam mana pulak?”
Berbagai macam perangai orang di dalam pasar
Saling mengeluh, bercanda, terbahak, bahkan mengelus dada
Sala lauak kuning mengerling di toples kaca
Memaksa mata tak mampu menahan selera
Sebiji, dua biji, sepuluh biji
Aromanya telah sampai ke ujung lidah
Pasar itu diberi nama pasar kaget
Akan muncul bila harinya sudah tiba
Bila tidak, cari saja pedagang-pedagang itu di tempat lain pada hari yang lain
Jangan kaget!
Bila sunyi, hanya ada pondok-pondok kayu darurat yang membisu menunggu hari
Langit semakin merah
Semakin ramai pula pengunjung pasar kecil milik rakyat itu
Riak redam gemuruh memanggil
Berkali-kali sampai senja tak lagi tampak muka
Sayuran hijau, bayam merah, ubi kayu, jeruk nipis, jamur kancing
Semua bahan tercatat rapi di benak ibu-ibu
Banyaknya belanjaan mesti ditakar dengan uang yang tersedia
Bila kurang, tak ada tempat untuk menimbun hutang
“Mari, mari sini, Dek. Belilah sayurku ini! Cantik-cantik kayak adek!”
Ajakan ibu yang disapa dengan Inang itu merayu para pembeli
“Berapa seikat, Inang?”
“Tiga lima ribu, angkutlah, Dek!”
Kantong-kantong kresek turut meramaikan pasar kaget
Azan magrib membelah langit Bumi Bertuah
Segala yang digelar di lapak-lapak beralaskan karung goni segera dikemas
Pedagang, pembeli, semua bersiap untuk pulang
Masing-masing beranjak membawa segenggam harapan
Meskipun cabe merah seratus ribu sekilo,
Biarlah….
Hidup harus terus berjalan!
Sebab, tak seorang pun ingin kehilangan mimpi-mimpi indah yang telah lama dirajut
Bersama anak-anaknya..