sumber foto asli: pinterest/akhmadmaxi.com

Riausastra.com – Ara berlari menyusuri tepian Sungai Jantan yang airnya sedang tidak tenang sore ini. Gadis yang mengenakan gamis berwarna merah jambu dan kerudung abu-abu itu, terus berlari hingga matanya menemukan lelaki berseragam cokelat menunggunya di Turap Tinggi.

Ara menatap ke dalam manik mata lelaki yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya. Ridwan. Ara menunduk, tak sanggup membalas tatap penuh harap yang terpancar jelas dari bola mata berwarna cokelat muda milik kekasihnya.

Ridwan bersandar di pagar pembatas antara Sungai Jantan dan Turap Tinggi. Angin sore bertiup kencang. Menerbangkan dedaunan kering yang rontok dari dahannya. Pun menyebabkan riak air di sungai. Sedang Ara sibuk merapikan kerudungnya yang rusak terkena embusan bayu.

“Lalu, kita akan berakhir seperti ini saja, Ra?” Ridwan bertanya dengan suara yang menyimpan luka mendalam.

“Aku tidak tahu, Kak. Aku ….” Ara menangis. Kedua tangannya menutupi wajah.

Ridwan merasa air mata Ara serupa pisau tajam yang mengiris hatinya. Lelaki itu mendekap tubuh Ara yang terasa rapuh dalam pelukannya.

Matahari tergelincir di ufuk barat. Menyisakan gurat kemerahan di langit yang mulai gelap. Ara dan Ridwan masih menangis berpelukan di hari terakhir kebersamaan mereka.

*

Ibu memaksa Ara memakai Kebaya Labuh yang menurut Ara sangat tidak pantas dikenakannya. Selain modelnya terlalu tua, kulit cokelat Ara tidak sesuai dengan kebaya ungu tua itu.

“Ara pakai baju kurung biasa saja, Bu.” Dia berusaha menolak.

“Usah banyak cakap, Ra. Keluarga Abdul kejab lagi sampai.”

Ibu membuka ritsleting baju Ara, lalu memakaikan Kebaya Labuh itu dengan setengah memaksa. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu menatap anak gadisnya dengan rasa puas. Kebaya Labuh itu adalah pakaian yang digunakannya dua puluh lima tahun lalu, saat sang suami melamarnya. Sekarang, Ara tampak sangat pantas mengenakannya.

Ara tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Terlebih saat Ibu memulas wajahnya dengan sangat berlebihan. Belum pernah bibir Ara semerah itu. Ara menatap jijik bayangan dirinya di kaca. Bukannya seperti gadis yang hendak dilamar pemuda, dia lebih mirip Tante Mala, tetangga sebelah rumah yang bekerja sebagai pemandu karaoke.

“Kau harus bersyukur, Ra. Keluarga Tengku Asnawi itu bukan orang sembarang. Abdul anak sulung mereka, kerjanya elok, kelakuan pun tak ada cela. Masya Allah, betuah betul kau, Nak.” Ibu memeluk Ara erat. Hatinya bahagia karena putri sulungnya akan dilamar oleh keluarga terpandang.

Setelah Ibu keluar dari kamar, Ara duduk di sisi tempat tidurnya. Dia teringat pertemuan terakhir dengan Ridwan. Betapa duka mendalam itu belum pergi hingga sekarang. Bahkan setelah Ayah berhasil memaksanya menerima Abdul, anak sulung Tengku Asnawi, kepala dinas Badan Pendapatan Daerah kota Pekanbaru. Abdul seorang pengusaha yang juga bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Tampak indah di mata orang, tetapi pahit bagi Ara yang menjalaninya.

Ara tak pernah menyangka Abdul menyukainya sejak mereka SMA—begitu pengakuan Abdul pada ayahnya—sebab hati Ara tak pernah berpaling dari Ridwan. Dia tak bisa memandang lelaki lain seperti dia memandang Ridwan.

Ridwan adalah satu-satunya lelaki yang mengisi hatinya sejak dia belum mengerti cinta. Lelaki itu yang mengusap lukanya saat jatuh dari sepeda, dia pula yang mengajari Ara mengaji. Ridwan adalah tempat Ara mencurahkan segala rasa sebab ibu dan ayahnya sangat sibuk bekerja di luar. Ridwan selalu membantu Ara belajar saat ujian, hingga dia berhasil lulus kuliah dengan nilai tertinggi di jurusan. Ridwan pula yang menemaninya saat dirawat di rumah sakit ketika terkena DBD. Menceritakan kenangan seumur hidupnya tentang Ridwan itu seperti menuliskan kisah novel yang tak akan pernah berakhir. Bagi Ara, Ridwan adalah segalanya.

Ibu yang sibuk bekerja pun memercayakan Ridwan untuk mengambil rapor Ara, menghadiri rapat sekolah Ara, bahkan menemani Ara studi tur. Bagaimana Ara bisa menghapus Ridwan begitu saja dari dalam hatinya, jika lelaki itu melekat kuat di setiap sel yang ada di tubuhnya.

Tanpa Ara ketahui, Ayah dengan semena-mena, menerima lamaran Tengku Asnawi. Memutus harapannya untuk bisa bersama Ridwan, meskipun Ridwan adalah kemustahilan yang selalu dia bawa dalam tiap doa. Namun harap di dalam hati Ara untuk bersama Ridwan tak pernah pupus, bahkan hingga detik ini.

Ara tak bisa menahan gejolak perasaannya. Setetes air mata jatuh membasahi Kebaya Labuh berwarna ungu yang dia kenakan.

*

“Saya terima nikahnya Khumaira Azhar binti Firdaus Azhar dengan mas kawin tersebut, tunaaai.”

Ara menahan air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mata. Ijab kabul yang dia harap gagal, ternyata berlangsung lancar tanpa kendala. Abdul mengucapkan ijab kabul dengan lantang dalam satu napas.

Perempuan itu menatap pantulan dirinya di cermin.  Baju pengantin Melayu berwarna kuning dan tenun Siak yang khusus dipesan Ibu untuk hari pernikahannya, melekat indah di tubuhnya. Namun, mendung di wajah yang tertutup riasan tebal itu tak dapat disembunyikan. Ara memang sedang berduka, berduka di hari pernikahannya.

“Tampan betul Abdul,” bisik Makcik Juna, Mak Andam yang dipercaya Ibu untuk merias Ara. Perempuan itu mengintip prosesi ijab kabul di luar dengan wajah berbinar-binar.

“Agaknye, dia tak cocok dengan Ara, Makcik.” Ara menjawab sekenanya. “Ara tak cantik, hitam legam pula.”

“Ih, kau cakap apalah.” Makcik menyusul Ara yang sedang duduk di depan meja rias. “Kau pun cantik sangatlah, Ra. Lawo. Kulit kau bukan hitam legam, kuning langsat.”

Ara mendecih. Jika bisa lari, dia pasti sudah melompati jendela kamar dan kabur entah ke mana. Tentu saja bersama Ridwan, siapa lagi lelaki yang ingin dijadikannya tumpuan harapan.

“Eh, pengantin, jangan banyak menung. Engkau dah dipanggil. Ayolah kita keluar. Jangan lupa senyum. Masa pula pengantin berwajah masam.” Makcik Juna menggoda Ara.

Makcik Juna membimbing Ara menuju meja akad. Perempuan itu berjalan dengan pikiran kosong. Kakinya melangkah tetapi isi otaknya berada di negeri antah berantah. Benaknya dipenuhi oleh bayangan Ridwan. Dia sibuk memikirkan perasaan lelaki itu. Mereka sudah bersama sangat lama, terlepas takdir yang tak berpihak pada mereka, perasaan Ara masih tertuju padanya.

Prosesi adat berjalan lancar. Ara melakukan semua seperti robot. Perempuan itu mencium tangan Abdul, mengangkat buku nikah untuk keperluan foto, menerima mahar dengan wajah tanpa senyuman. Namun, tidak seorang pun sadar akan hal itu kecuali Ridwan, yang berdiri di sudut ruangan. Dia tampak gagah dengan teluk belanga hijau lengkap dengan tanjak warna senada.

Sebagai penutup sebelum resepsi yang akan diadakan selepas Zuhur, prosesi tepuk tepung tawar akan diadakan. Tepung tawar adalah prosesi wajib dalam pernikahan Melayu. Tradisi ini dilakukan untuk mencurahkan kegembiraan, rasa syukur, dan juga perlambang doa restu dari tetua kepada pengantin.

“Lempuk durian sedap rasanya. Diolah oleh orang Melayu. Tepuk tepung tawar perlambang doa, agar pengantin bahagia selalu.”

Pembawa acara—yang juga sepupu Ara—memulai prosesi dengan membacakan pantun. Ara dan Abdul dibawa menuju pelaminan yang didominasi warna kuning.

Lalu, satu per satu tetua dipanggil untuk memberikan doa selamat dan melakukan tepung tawar kepada pengantin. Ara tak kuasa mengangkat wajah ketika seluruh orang tua dari keluarga ayah sudah dipanggil. Sekarang giliran keluarga ibu.

Jantung Ara berdetak semakin cepat saat nama Ridwan dipanggil. Suara pembawa acara yang berusaha menghidupkan suasana dengan celetukan jenaka, di telinganya tak ubah tiupan sangkakala.

Ridwan mendekat. Meskipun Ara menunduk, dia hafal aroma tubuh kekasihnya—dulu. Dia hafal suara langkahnya. Dia hafal semua hal yang melekat di diri Ridwan.

“Ha, Pakcik Ridwan. Apolah lagi yang ditunggu, kemenakan dah duluan dah, pamannya bilo lagi?”

Suara tawa menggema menyambut kelakar yang dilempar pembawa acara itu.

Ara tak sanggup mengangkat wajahnya ketika Ridwan memercikkan air mawar kemudian menaburkan bunga rampai, beras merah, serta putih ke arahnya dan Abdul. Air mata jatuh membasahi kain songketnya saat Ridwan mengecup dahinya sambil membisikkan doa-doa baik. [*]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini