Riausastra.com – Kalimat ini mungkin tak lagi terdengar asing di telinga kita. Hampir semua orang pernah merasakan mendapatkan satu kalimat pertanyaan ini, khususnya bagi mereka yang tengah duduk di bangku kelas XII dan bangku kuliah akhir semester. Kalimat ini cukup terlihat menyeramkan bahkan bisa membuat mental dan pikiran jadi berantakan, bagi mereka yang belum siap mengemukakan jawaban. Kurang lebih bunyinya seperti ini “Ketika sudah lulus nanti mau jadi apa?”, “Mau lanjut kuliah atau kerja”, “Atau jangan-jangan mau nikah muda”. Memang tak dapat dipungkiri semakin bertambahnya usia dan pola pikir yang beranjak dewasa suatu hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya akan terjadi. Namun disini konteksnya, kita tidak lagi dituntut untuk menjawab pertanyaan dari kalimat-kalimat tersebut melainkan dihadapkan langsung pada realita kehidupan yang sesungguhnya.
Ketika sudah waktunya tiba tak sedikit dari mereka yang bimbang menentukan arah tujuan. Mau pilih jalan A belum ada pengalaman, mau pilih jalan B belum ada persiapan, mau pilih jalan C meragukan. Yang pada intinya belum ada “pendirian“. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan memilih untuk menikah, bekerja atau kuliah sekalipun itu tergantung pada pendirian dan kesiapan setiap individu. Usia bukanlah menjadi tolok ukur atas penentu keberhasilan hidup seseorang. Memang seperti inilah hakikat hidup, kita akan dihadapkan oleh berbagai macam peluang, rintangan, dan pilihan yang membuat kita harus bisa memutuskan dan menjalani arusnya.
Namun sungguh sangat disayangkan faktanya masih banyak anak muda zaman sekarang yang belum punya pendirian, atau kebanyakan masyarakat menyebutnya sebagai jati diri. Sebenarnya hal tersebut bukan saja hanya berasal dari faktor pribadi melainkan faktor lingkungan juga dapat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu individu. Ringkasnya bisa kita sebut sebagai faktor internal dan eksternal. Yang mana kedua faktor tersebut saling berkesinambungan, jika tidak ada salah satu diantaranya yang bisa menguatkan diri, maka tidak akan terbentuklah suatu jati diri. Berikut dimulai dari faktor internal (dalam diri) contohnya seperti : takut untuk mencoba suatu hal, tidak percaya diri, mudah menyerah, pemalas, suka menunda-nunda, gampang menyepelehkan sesuatu, dan belum siap menerima kegagalan. Selanjutnya yaitu faktor eksternal (luar) biasanya faktor eksternal ini lebih condong pada pengaruh lingkungan sekitar, baik itu lingkungan dari dalam (keluarga) dan lingkungan dari luar (keseharian). Contoh dampak lingkungan eksternal dari dalam seperti: tidak mendapat dukungan dan arahan dari orang tua, cenderung menutup diri (introvert), anak broken home, terlalu sering mendapat tuntutan dan tekanan dari orang tua, terbatas dalam melakukan kebebasan waktu dan ruang sehingga cenderung dapat mengganggu perkembangan anak. Adapun contoh dampak lingkungan eksternal dari luar seperti: tidak memiliki teman yang positif vibes, tidak mendapat dorongan dan arahan dari orang-orang sekitar, tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan, memiliki pola pikir yang sempit, mudah terbawa pergaulan yang negatif, dan cenderung mengikuti gaya hidup konsumtif.
Lalu jika hal seperti ini sudah terjadi lantas bagaimana dengan solusianya? Yap, solusinya ada pada “diri kita sendiri”. Sebab, mau sebepengaruh apapun faktor lingkungan baik itu secara internal atau pun eksternal, yang dapat mampu mengontrol diri menentukan baik buruknya sesuatu hanyalah diri kita sendiri. Meski sebanyak apa pun motivator yang kita dengarkan setiap hari atau dipertemukan dengan orang-orang aktif dan lingkungan yang positif tentu semua itu tidak akan bisa membawa pengaruh apa pun dalam diri kita, kecuali dari segi pola pikir kita yang dapat menjangkau seperti cara hidup mereka, memiliki tujuan hidup yang jelas dan terus menggapai impian yang diinginkan, serta tak terlepas juga faktor lingkungan sebagai pendukung keberlangsungan hidup kita kedepanya.