Riausastra.com – “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia”, itulah pepatah yang dikatakan oleh Nelson Mandela, seorang revolusioner asal Afrika Selatan yang berhasil menumpaskan politik rasial apartheid. Menurutnya, dengan menempuh pendidikan kita bisa memiliki wawasan seluas dunia. Pendidikan kerap kali digencarkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui pendidikan, setiap insan dapat meningkatkan wawasan, keterampilan, dan kemampuannya entah itu dibidang akademik maupun non akademik.
Penyelenggaraan pendidikan tentu membutuhkan sistem yang berkualitas demi mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri, salah satunya melalui kurikulum. Kurikulum sebagai seperangkat rancangan pembelajaran menduduki posisi penting untuk pedoman eksekusi dalam aktivitas belajar mengajar. Seperti yang kita tau, belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencetuskan sebuah program kurikulum sekolah penggerak. Program sekolah penggerak berpusat pada pengembangan output lulusan secara menyeluruh dengan merepresentasikan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Sekolah penggerak rupanya menjadi program yang mengupayakan terwujudnya pelajar yang nasionalis serta menjunjung tinggi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan negara Indonesia, yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Indonesia dikenal sebagai negara multikultural yang mempunyai aneka warna budaya. Realitas ini sebagai taken for granted yang memperlihatkan bahwa negara Indonesia kaya akan budaya seperti, kesenian, agama, bahasa, sistem mata pencaharian, dan masih banyak lagi. Indonesia dengan jumlah populasi penduduk lebih dari 270 juta jiwa, 1300 suku, serta 700 bahasa daerah mengisyaratkan bahwa negara ini patut dijuluki sebagai negara majemuk.Di samping itu, negara Indonesia mengakui 6 agama yang dianut masyarakat Indonesia meliputi agama Kristen, Konghucu, Hindu, Islam, Budha, dan Katolik, serta penghayat aliran kepercayaan.
Kemajemukan negara Indonesia ini dapat menjadi peluang sekaligus ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia, menjadi peluang apabila bangsa Indonesia mampu menjaga eksistensi keanekaragaman. Namun sebaliknya, apabila bangsa Indonesia tidak dapat mempertahankan eksistensi ragam budaya tersebut maka yang terjadi adalah disharmoni sosial. Sudah menjadi rahasia umum jika seringkali kita jumpai pertentangan karena perbedaan, entah itu di kehidupan nyata maupun dunia maya. Negara yang konon masyarakatnya ramah tamah, nyatanya masih ada saja perpecahan akibat intoleransi perbedaan seperti konflik rasial, primordialisme, rasisme, dan berbagai bentuk disintegrasi lain merebak dimana-mana, seakan dilegalkan. Dari situ kita sedikit berspekulasi jika Indonesia masih darurat kesadaran mengenai kemajemukan.
Oleh karena itu, pengenalan pemahaman multikultural perlu diterapkan sejak dini baik melalui keluarga sebagai agen sosialisasi pertama, sekolah, maupun lingkungan sosial. Terlebih merujuk pada implementasi program sekolah penggerak dengan memberikan pemahaman keberagaman melalui pendidikan multikultural. Pemahaman multikultural ini tentu saja bertujuan untuk membentuk masyarakat dalam konteks ini anak-anak atau pelajar agar memiliki kesadaran untuk saling menghargai antar sesama. Hal tersebut tentu tidak bisa dibentuk secara instan, membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan serta sinergi dari semua pihak. Melalui sekolah penggerak ini tentu pemerintah berharap agar sekolah dapat berkontribusi aktif guna tercapainya pemahaman multikultural yang baik. Lalu apa sebenarnya pemahaman multikultural itu? Mungkin banyak pihak yang bertanya demikian, oleh karena itu disini penulis akan membahas lebih lanjut tentang hal tersebut.
Pemahaman multikultural menjadi sebuah proses mengembangkan potensi dengan mengedepankan konsekuensi pluralisme sebagai landasan ontologis pendidikan. Pendidikan multikultural tampaknya menjadi perspektif dan kajian ilmu baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan multikultural penting diajarkan kepada anak sedini mungkin. Mengapa demikian? Hal tersebut mengingat kita hidup di tengah masyarakat yang beragam. Pandangan multikulturalisme tersebut memberikan pemahaman kepada setiap manusia arti penting menghargai perbedaan yang hadir di sekitar kita. Sadar atau tidak, rupanya keragaman budaya mempengaruhi perilaku, sikap, serta cara berpikir seseorang, sehingga memungkinkan manusia memiliki cara, kebiasaan, aturan, hingga adat istiadat yang berbeda.
Pendidikan multikultural juga merupakan wujud restorasi pendidikan, pasalnya pada era Kolonialisme pendidikan di negara kita ini masih bersifat segregasi yang memisahkan seseorang ke dalam klasifikasi tertentu. Namun dengan adanya reformasi pendidikan sedikit demi sedikit telah merubah sistemnya dengan memberikan kesetaraan hak bagi umat manusia untuk memperoleh pendidikan yang setara. Oleh karena itu, pemahaman multikultural harapannya dapat membangun kesadaran keberagaman serta memperjuangkan persamaan derajat umat manusia dan budayanya. Pendidikan multikultural memberi pemahaman mengenai realitas dan sikap yang tepat ketika kita berada di lingkungan yang multikultural. Dengan demikian, sosialisasi pendidikan multikultural menjadi penting yang dapat diupayakan oleh banyak pihak seperti keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, pemerintah, dan media massa.
Tentu saja sekolah memegang peranan penting dalam penanaman kesadaran kemajemukan pada siswa sedini mungkin. Utamanya sekolah penggerak, dimana sekolah ini mengutamakan proses pengembangan pelajar Pancasilais. Kompetensi holistik (menyeluruh) menjadi visi utama sekolah penggerak dalam menumbuhkan karakter Pancasila pada siswa. Oleh karena itu, sekolah penggerak sebagai sekolah yang menjadi panutan sekolah-sekolah lain diharapkan mampu menumbuhkan multikulturalisme di antara siswanya.
Secara operasional pendidikan multikultural dapat diterapkan melalui gabungan pendekatan sosial dan pembelajaran pendidikan multikultural. Dalam konteks penanaman nilai multikultural, sekolah penggerak hendaknya mampu menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis dengan berpegang teguh terhadap nilai-nilai Pancasila. Seperti halnya pada penggalan semboyan pendidikan Indonesia “Ing Ngarsa Sung Tuladha...” yang memiliki arti “di depan memberi teladan” dalam konteks ini guru dituntut menyamaratakan hak belajar bagi tiap siswa tanpa pandang bulu dengan tujuan memberikan teladan agar tercipta siswa yang toleran terhadap perbedaan. Disamping itu, konsep multikulturalisme dapat direpresentasikan ke dalam model pembelajaran, metode pembelajaran, ice breaking, dan penilaian. Misalnya pada saat pembelajaran berlangsung, sebagai guru penggerak hendaknya dapat mengintegrasikan materi pembelajaran dengan dimensi kultural baik lokal nasional. Seperti penggunaan bahasa daerah, pakaian adat, tarian tradisional, dalam memperingati hari tertentu. Disamping itu, pendidikan multikultural menjadi wacana dalam mata pelajaran baru atau menjadi sub bagian dari mata pelajaran tertentu seperti sosiologi, kewarganegaraan, dan antropologi.
Pendidikan multikultural dalam implementasi sekolah penggerak perlu diberikan sebagai upaya merealisasikan salah satu tujuan program sekolah penggerak yaitu guna mewujudkan profil pelajar yang berwawasan Pancasila. Pelajar Pancasila yang dimaksud yaitu menghasilkan lulusan yang mampu mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila terlebih di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Setidaknya terdapat enam komponen dalam mewujudkan pelajar Pancasila; pertama, mengimani keberadaan Tuhan Yang Maha Esa serta berupaya menaati perintahNya dan menjauhi laranganNya sesuai dengan ajaran masing-masing agama; kedua, memiliki pengetahuan yang luas tentang keanekaragaman budaya serta bagaimana mengetahui bagaimana menjaga eksistensi budaya tersebut; ketiga, mandiri dan penuh tanggung jawab dalam bertindak; keempat, memiliki semangat gotong-royong tinggi; kelima, mampu berpikir secara objektif; dan keenam, kreatif atau mampu menciptakan karya.
Hal yang tak kalah penting, guru sebagai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dituntut dapat menumbuhkan jiwa toleransi pada siswanya. Terlebih dahulu guru memberikan pemahaman bahwa kita hidup di negara yang masyarakatnya majemuk dimana terdiri dari berbagai suku, agama, ras, budaya, dan sebagainya. Baru kemudian guru memberikan pemahaman bagaimana menyikapi kemajemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti menghormati perbedaan peribadatan, pandangan, serta keyakinan.
Tulisan ini berupaya menawarkan solusi guna mewujudkan pelajar yang Pancasilais dalam implementasi kurikulum sekolah penggerak. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa program sekolah penggerak memiliki tujuan untuk menumbuhkan siswa yang berwawasan Pancasila. Berbagai upaya perlu dilakukan sekolah penggerak dalam mewujudkan pelajar Pancasilais. Mengingat kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam, sekolah penggerak dituntut sedini mungkin memberi pemahaman multikulturalisme melalui pendidikan multikultural. Secara sederhana guru sebagai guru penggerak dapat mengenalkan arti penting kemajemukan dan bagaimana menyikapinya dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu dalam hal ini harus tetap berpedoman dengan nilai-nilai Pancasila, mengingat Pancasila sebagai dasar dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Disamping itu, pemahaman multikulturalisme juga dapat direpresentasikan dalam sebuah mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun menjadi sub bagian dari mata pelajaran tertentu yang sesuai. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan sekolah penggerak dalam mewujudkan pelajar Pancasilais di tengah kemajemukan diperlukan modal sumber daya manusia yang baik (guru & kepala sekolah), karena modal yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula.
Daftar Pustaka
- Nurcahyono, O. H. (2018). Pendidikan multikultural di Indonesia: Analisis sinkronis dan diakronis. Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi, & Antropologi, 2(1), 105-115.
- Rahayu, R., Rosita, R., Rahayuningsih, Y. S., Hernawan, A. H., & Prihantini, P. (2022). Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar di Sekolah Penggerak. Jurnal Basicedu, 6(4), 6341-6350.
- Syafi’i, F. F. (2022, January). MERDEKA BELAJAR: SEKOLAH PENGGERAK. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN DASAR.