sumber foto asli: pixabay

Riausastra.com – Pukul satu dini hari. Aku sudah lelah, tetapi kedua mataku enggan tuk terpejam. Kepalaku terasa sangat penuh. Cerita yang kudengar dari seorang kawan di kantor membuatku tak bisa tidur. Sementara itu istriku masih saja sibuk menatap ponsel pintarnya yang menyala.

“Asal kau tahu saja, Kim, perempuan itu pandai sekali bersandiwara. Jadi, kau perlu berhati-hati!” ucap Lepis, kawanku, sewaktu kami berjalan menuju parkiran untuk pulang.

“Istriku sudah dua kali selingkuh. Dua kali kepergok. Dan dua kali juga dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi nyatanya dia masih saja bertukar pesan dengan lelaki yang tidak aku kenal. Aku sudah cape. Untuk apa lagi aku pertahankan hubungan yang penuh pengkhianatan? Perempuan jika sudah lepas di tangan, sulit untuk dirayu lagi, Kim!”

Setelah mendengar itu, kepalaku terasa pusing berputar-putar. Aku mengaitkan cerita Lepis dengan perubahan sikap yang terjadi pada Alin, istriku, setelah minta dibelikan ponsel baru. Aku cukup terkejut saat ia merengek minta dibelikan benda itu.  Padahal ia sendiri yang bilang kalau tidak memerlukannya dengan alasan sibuk mengurus rumah. Aku yang tidak punya pikiran buruk sedikit pun sebelumnya, mendadak goyah saat mendengar cerita Lepis dan istrinya.

“Sekarang aku merasa butuh benda itu, Mas. Aku perlu menanyakanmu saat pulang terlambat, atau memberimu kabar saat aku harus pergi keluar secara mendadak. Ya, sekarang aku memerlukannya.”

Mudah saja aku mengabulkan keinginanya saat itu. Tanpa pernah berpikir bahwa bisa saja ia sedang tertarik dengan lelaki lain. Aku tidak berpikir sejauh itu. Tidak pernah!

Saat pertama kali ia menerima ponsel itu, dikecupnya pipiku hingga basah. Aku juga melihat sorot mata yang lain dari matanya. Tetapi tidak dapat kupastikan dan tidak banyak keberanianku untuk bertanya tentang itu. Segera saja ia memelukku dengan erat. Dalam benak, aku berharap ia bisa menggunakan ponsel itu dengan bijak.

“Terima kasih untuk ponselnya, Mas. Aku tidak akan kesepian lagi.”

Aku mendengus. Lalu melepaskan pelukannya. Apa maksudmu? Bukankah selama ini aku selalu berada di sampingmu? Kenapa kau merasa kesepian? Aku tidak sempat menanyakan hal itu karena Alin lebih dulu manarik tanganku ke kamar. Lalu mematikan lampu.

Lambat laun aku mulai kesal dengan Alin. Ia selalu sibuk denga ponselnya. Ia tidak lagi memberi ucapan selamat pagi atau membuatkan segelas kopi di pagi hari. Aku penasaran. Apa yang membuatnya tidak bisa lepas dari ponsel itu? Bahkan ketika kami sedang duduk berdua di meja makan pun ia tetap asik sendiri. Aku seperti orang asing.

“Apa tidak bisa kau letakkan dulu ponselnya, Lin? Nggak baik nganggurin makanan!” ucapku dengan nada yang mulai geram.

Alin tak menyahut. Ia masih sibuk menatap layar ponsel.

“Apa pentingnya ponselmu itu, Lin. Kau harus segera makan!”

Aku menatapnya di seberang meja. Ia mendengus, lalu meletakkan ponselnya dengan wajah cemberut.

Kami tidak pernah secanggung ini sebelumnya. Semua baik-baik saja sebelum ia punya ponsel. Dan rupa-rupanya, begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Waktu Alin lebih banyak dihabiskan bersama benda itu. Aku kian merasa jengkel. Tak ada lagi kemesraan kami yang seindah purnama. Namun, aku berusaha untuk tidak berpikir buruk terhadapnya. Segala prasangka tidak baik itu kutepis hingga menjauh. Aku berusaha menghibur diri, sambil berpikir bahwa Alin hanya sedang tergila-gila pada ponselnya.

*

Sekarang mungkin sudah waktuya aku mencari kebenaran. Aku perlu menanyakan kepada Alin soal perubahan sikap yang terjadi padanya. Apa benar ia tertarik dengan lelaki lain? Benarkah itu?

“Tidak!” ketus Alin.

Aku bangkit dari posisi tidurku lalu bersandar ke tepi ranjang. Jam dinding sudah menunjukan pukul setengah 2 pagi. Alin masih saja membelakangiku dan menatap layar ponselnya. Aku mengelus bahunya dengan lembut. Berharap ia mau diajak untuk bicara serius.

“Aku curiga kalau kau punya simpanan, Lin,” ucapku dengan nada setengah berbisik. “Semenjak kau punya ponsel, sikapmu sangat berubah. Aku tidak lagi merasakan kehangatan yang dulu sering kau berikan. Aku seperti orang asing bagimu. Aku rindu saat-saat kita melewati hari-hari yang penuh tawa. Kebersamaan yang terjalin di antara kita kini perlahan-lahan kian merenggang. Aku rindu dirimu yang dulu, Lin.”

Seketika itu Alin berbalik ke arahku dengan wajah sedih. Ia melemparkan ponselnya hingga terpelanting menghantam tembok. Lalu ia memelukku dengan tergesa tanpa bisa aku tahan. Aku menerima pelukannya dan berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

“Maafkan aku, Mas,” ujar Alin sesaat setelah air matanya menetes dan menuruni lereng pipinya yang terjal. “Setiap hari rasa bersalahku semakin besar. Aku belum bisa memberimu seorang anak. Aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku dan menghindar darimu. Aku tidak sanggup melihat wajahmu yang begitu tulus mencintaiku sedang aku banyak sekali kekurangan.”

Tetiba air mataku berkubang di sudut mata. Aku merasa bersalah karena telah menuduh Alin yang bukan-bukan. Selama ini aku kurang memahami dirinya. Aku menoleh, dan saat itulah aku melihat wajah Alin yang bersinar. Aku cerminkan kehidupanku yang selama ini tidak pernah Alin ketahui. Diam-diam aku sendiri yang sering bertukar pesan dengan wanita yang kukenal dari media sosial. Kehidupan tanpa seorang anak ini telah membuatku jadi lupa diri.

Aku melepaskan pelukan Alin dengan lembut. Lalu mencari ponselku untuk menghapus nomor wanita itu dan mengakhiri segalanya. Tapi tak lama sebuah panggilan video membuat ponselku berdering. Aku melirik wajah Alin dengan jantung yang berdegup.

“Siapa perempuan itu, Mas?”

Ketika Alin bertanya itu, aku segera saja membanting ponsel ke lantai. Alin menatapku dengan alis yang terangkat. Aku pun membalas tatapannya dengan mulut yang terkunci. [*]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini